Jika kita pernah melewati jalan Sigli-Kembang Tanjong, Pidie atau persis di kawasan Simpang Tiga, ada pemandangan menarik yang bisa kita lihat, lebih-lebih di malam hari. Bukan pemandangan hutan yang hijau, atau warna-warni lampu seperti di kota-kota metropolitan. Sama sekali bukan. Kita justru melihat pemandangan unik, dan bisa jadi menjengkelkan. Soalnya, di sepanjang jalan, atau di beberapa bagian dari jalan tersebut mirip dengan kandang lembu. Mereka (kalau boleh disebut “mereka) seperti hendak merazia (sweeping) setiap pengguna jalan.
Jika tak hati-hati, apalagi jika kita membawa kendaraan dengan kencang, pasti berakibat fatal. Bukan ditilang karena melanggar undang-undang para lembu, melainkan kecelakaan. Akibat paling ringan ya…harus mencium aspal atau mobil yang mengkilap jadi penyot. Atau cuma patah kaki, luka-luka ringan, dan tak jarang meninggal.
Kita sebagai pengguna jalan boleh saja kecewa, soalnya para pemimpin lembu tidak mengeluarkan amaran yang meminta para lembu tidak melakukan sweeping pada malam hari. Atau bisa jadi, para pemimpin lembu tidak begitu peduli dengan hal itu, toh mereka hanya menggunakan jalan tersebut pada malam saja, soalnya siang sudah digunakan oleh masyarakat.
Jika masyarakat kecewa, seharusnya memasang iklan atau spanduk di sepanjang jalan, bahwa kandang lembu/sapi tidak seluas dan sepanjang jalan raya. Mudah-mudahan para lembu membaca iklan tersebut. Atau iklan tersebut bisa juga semacam masukan kepada para pemimpin lembu agar menertibkan anggotanya untuk tidak keluyuran malam, apalagi dengan cara bergerombolan karena mengganggu ketertiban umum.
Yang aneh sebenarnya bukan soal lembu merazia pengguna jalan, melainkan kenapa para pengguna jalan atau katakanlah para pencuri lembu tidak beraksi. Atau jangan-jangan para pencuri tidak melihat keberadaan gerombolan lembu sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Padahal, satu ekor lembu sekarang laku dijual dengan harga Rp6 juta. Jumlah itu lebih besar dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang hanya Rp300 ribu.
Jika pencuri lembu professional, mereka bisa membawa pulang setiap malamnya minimal 10 ekor lembu. Tapi, jarang kita mendengar lembu-lembu di jalan raya tersebut dicuri. Para pencuri malah lebih senang mencuri lembu di kandangnya dengan risiko yang jauh lebih besar. Soalnya, jika kedapatan oleh pemilik bisa diboh parang.
Bagi saya itu aneh, soalnya lembu yang bergerombol di jalan yang seperti tak ada pemiliknya, dan tidak pernah dicuri, melainkan hanya lembu di kandang yang dicuri. Atau jangan-jangan, sudah ada statuta umum, bahwa hanya koruptor yang boleh mencuri dalam jumlah yang besar, sementara pencuri lembu hanya boleh mencuri dalam jumlah yang sedikit. Entahlah!(HA 260508)
Jika tak hati-hati, apalagi jika kita membawa kendaraan dengan kencang, pasti berakibat fatal. Bukan ditilang karena melanggar undang-undang para lembu, melainkan kecelakaan. Akibat paling ringan ya…harus mencium aspal atau mobil yang mengkilap jadi penyot. Atau cuma patah kaki, luka-luka ringan, dan tak jarang meninggal.
Kita sebagai pengguna jalan boleh saja kecewa, soalnya para pemimpin lembu tidak mengeluarkan amaran yang meminta para lembu tidak melakukan sweeping pada malam hari. Atau bisa jadi, para pemimpin lembu tidak begitu peduli dengan hal itu, toh mereka hanya menggunakan jalan tersebut pada malam saja, soalnya siang sudah digunakan oleh masyarakat.
Jika masyarakat kecewa, seharusnya memasang iklan atau spanduk di sepanjang jalan, bahwa kandang lembu/sapi tidak seluas dan sepanjang jalan raya. Mudah-mudahan para lembu membaca iklan tersebut. Atau iklan tersebut bisa juga semacam masukan kepada para pemimpin lembu agar menertibkan anggotanya untuk tidak keluyuran malam, apalagi dengan cara bergerombolan karena mengganggu ketertiban umum.
Yang aneh sebenarnya bukan soal lembu merazia pengguna jalan, melainkan kenapa para pengguna jalan atau katakanlah para pencuri lembu tidak beraksi. Atau jangan-jangan para pencuri tidak melihat keberadaan gerombolan lembu sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Padahal, satu ekor lembu sekarang laku dijual dengan harga Rp6 juta. Jumlah itu lebih besar dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang hanya Rp300 ribu.
Jika pencuri lembu professional, mereka bisa membawa pulang setiap malamnya minimal 10 ekor lembu. Tapi, jarang kita mendengar lembu-lembu di jalan raya tersebut dicuri. Para pencuri malah lebih senang mencuri lembu di kandangnya dengan risiko yang jauh lebih besar. Soalnya, jika kedapatan oleh pemilik bisa diboh parang.
Bagi saya itu aneh, soalnya lembu yang bergerombol di jalan yang seperti tak ada pemiliknya, dan tidak pernah dicuri, melainkan hanya lembu di kandang yang dicuri. Atau jangan-jangan, sudah ada statuta umum, bahwa hanya koruptor yang boleh mencuri dalam jumlah yang besar, sementara pencuri lembu hanya boleh mencuri dalam jumlah yang sedikit. Entahlah!(HA 260508)
Tags:
pojok