Oleh Taufik Al Mubarak
Diam-diam, pemerintah Aceh mempersiapkan lembaga yang akan menggantikan kerja BRR di Aceh. Lembaga tersebut diberinama yang tak jauh berbeda dengan BRR, hanya saja ada tambahan kata koordinasi dan kesinambungan: Badan Koordinasi Kesinambungan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh disingkat BKKRR.
Dalam pemaparan tentang kesiapan Pemerintah Aceh melanjutkan tugas rehab-rekons, pada Mei lalu memandang keberadaan BKRR sangat strategis sebagai kelanjutan dari secretariat bersama Pemerintah Aceh dan BRR. Pemerintah Aceh melihat, dengan adanya BKRR yang tugasnya bakal diserahkan kepada masing-masing departemen terkait akan memudahkan melakukan monitoring, serta mudah mengendalikan proses kegiatan rehab-rekons, sehingga lebih terjamin, efisien dan efektif.
Selain itu, kehadiran BKRR yang langsung dibentuk oleh Pemerintah Aceh memudahkan koordinasi dan fasilitasi dengan lembaga donor dan NGO internasional yang masih mempunyai komitmen membantu rehab-rekons Aceh.
Menurut Pemerintah Aceh, kehadiran lembaga pengganti BRR juga menjadikan program rehabilitasi dan rekonstruksi bersinergi dan terintegrasi dengan Program Pemerintah Aceh. Hal tersebut tidak akan terjadi seandainya tanggung jawab rehab-rekons Aceh tersebar di beberapa kementrian/lembaga.
Alasan lainnya, karena secara kultural dan emosional, Pemerintah Aceh lebih dekat dan diterima oleh masyarakat sehingga memungkinkan tingkat keberhasilan program lebih tinggi, selain karena Pemerintah Aceh secara formal dan tradisional memiliki jaringan komunikasi dua arah yang baik sampai ke pedesaan sehingga pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi akan lebih efektif, efisien dan tepat sasaran
Nilai strategis lainnya adalah karena Gubernur sebagai Kepala Pemerintahan Aceh saat ini merupakan hasil pilihan rakyat Aceh yang dilakukan secara langsung, demokratis dan transparan. Pemerintah Aceh memiliki legitimasi dan kepercayaan rakyat, karena didukung oleh dan dunia International, sehingga BKKRR Aceh yang dipimpin langsung oleh Gubernur mempunyai landasan politik yang kuat.
BRR dan Masalah
Seperti diketahui, kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) akan berakhir pada tanggal 16 April 2009 tahun depan. Setelah masa tugas berakhir, tak ada lagi lembaga yang menangani rehabilitasi dan rekonstruksi, kecuali lembaga donor internasional. Lembaga-lembaga tersebut juga bekerjasama atau memberi dana untuk BRR melaksanakan programnya.
Begitu pentingnya sebuah lembaga yang akan mengurusi rehab-rekons Aceh, mau tidak mau, pemerintah pusat plus pemerintah Aceh harus memikirkan kelanjutan kerja tersebut. Apalagi dalam UU No.10/2005 pasal 26 ayat 4 disebutkan bahwa “dengan berakhirnya masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, segala kekayaannya menjadi kekayaan milik negera yang selanjutnya dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah.“ Secara otomatis, kegiatan rehab-rekons menjadi tanggung-jawab pemerintah pusat dan pemerintah Aceh.
Kita berharap, pascaberakhirnya tugas BRR di Aceh, hadir sebuah lembaga yang cukup kuat dan dipercaya donor melanjutkan kerja-kerja BRR. Karena tanpa dukungan Negara atau lembaga donor, mustahil program rehab-rekons bisa berjalan sebagaimana harapan. Untuk itu, tim yang menggodok tersebut benar-benar memperhatikan berbagai aspek fundamental, sehingga benar-benar dirasakan manfaatnya, atau minimal ada perubahan yang signifikan.
Pemerintah Aceh, melalui tim yang menggodok atau mempersiapkan pengalihan kerja BBR, melihat bahwa keberadaan BRR tidak bisa dipertahankan, karena banyak tugas BRR yang tidak kelar serta bermasalah. Otomatis, berbagai kelemahan tersebut harus dipikul oleh Pemerintah Aceh.
Hasil analisa tim yang ditugaskan mempercepat pengalihan BRR ke pemerintah Aceh memiliki alasan kuat mengapa BRR tidak perlu dipertahankan. Pertama, sesuai dengan UU No.10/2005 pasal 26 ayat 1 dinyatakan bahwa “BRR melaksanakan tugas selama 4 tahun dan dapat diperpanjang apabila diperlukan.”
Menurut analisa tim, berdasarkan pasal tersebut, perpanjang BRR bisa saja dimungkinan, namun istilah “apabila diperlukan” tidak memberikan definisi secara jelas sehingga menimbulkan bermacam persepsi. Di antara persepsi itu, misalnya, sasaran rencana induk belum tercapai, atau fungsi Pemda belum pulih atau belum berjalan normal.
Alasan lainnya, kenapa BRR tidak perlu dipertahankan, karena Rencana Induk seperti diamanatkan dalam Perpres No/30/2005 tidak dilaksanakan secara konsisten. Banyak tugas-tugas BRR yang keluar dari rencana induk, sehingga mengundang kecaman dari berbagai pihak. Sebagai upaya membeli diri, BRR malah mengusulkan revisi atas Perpres No.30/2005 tersebut.
Wacana ini ditentang oleh sejumlah LSM di Aceh, diantaranya LSM GeRAK. Menurut Gerak, upaya revisi yang dilakukan oleh pihak Bapel BRR NAD-Nias merupakan bentuk lepas tangan atas kegagalan dalam melakukan rangkaian kerja-kerja yang diamanahkan dalam peraturan tersebut. ”Ini sebagai bukti bagi masyarakat korban bencana di Aceh bahwa BRR NAD-Nias telah gagal dalam menjalankan amanah Perpres No. 30/2005 tersebut,” kecam Gerak dalam siaran pers yang ditandatangani oleh Askhalani, manager program, dan Nasruddin MD, Koordinator Gerak Aceh Besar yang dikirim ke redaksi Harian Aceh.
GeRAK menuding, upaya revisi atas peraturan presiden tersebut merupakan langkah mundur yang dilakukan oleh BRR dalam melakukan rehabilitasi di Aceh terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar korban bencana tsunami. Tugas-tugas BRR, kata GeRAK, harus diselesaikan sampai akhir masa tugas seperti diamanahkan dalam Perpres Nomor 30 Tahun 2005. ”Itu seperti pada juklak yang tertuang dalam Draf Ringkasan Eksekutif Rencana Aksi Rehabilitasi-Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD-Nias tahun 2007-2009,” ujar aktivis Gerak.
Twk Mirza Kumala, Juru Bicara BRR yang dihubungi Harian Aceh Minggu (16/3) per telepon terkait tudingan Gerak ini mengatakan, bahwa BRR menghargai usul, apresiasi dan aspirasi yang disampaikan Gerak. Menurut Mirza, membangun Aceh merupakan sebuah kerja yang besar yang tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh BRR, karena membangun Aceh tidaklah cukup dengan waktu 4 tahun. Padahal, mandat BRR hanya 4 tahun.
Mirza memberi contoh tentang pembangunan rel kereta api yang tidak akan cukup dikerjakan dengan waktu 4 tahun. Untuk itu, sebut Mirza Perpres butuh revisi, untuk keberlanjutan proses rehab dan rekons di Aceh. ”Karena itu kita dorong Departemen Perhubungan untuk meneruskan pekerjaan itu, sekarang Dephub sedang melakukan itu,” ujarnya.
Begitu juga dalam hal cetak sawah baru. Padahal, sebut Mirza, dalam blueprint tidak ada cetak sawah baru. ”Tapi kita tetap cetak sawah. Ini kan butuh revisi,” tambahnya.
Ruang Lingkup Kerja BKRR
PENGALAMAN sebelumnya, hampir setiap hari kantor yang beralamat di Lueng Bata tersebut (begitu juga dengan keberadaan kantor BRR di daerah) didemo oleh masyarakat korban. Belum lagi kekecewaan publik yang teramat besar kepada BRR, seperti banyak janji rehab-rekons yang meleset, penggunaan anggaran banyak untuk operasional, serta membangun bangunan yang tidak begitu mendesak. Artinya, menurut sikap umum masyarakat Aceh, BRR sudah bekerja tidak sesuai mandatnya lagi.
Padahal, misi pembentukan BRR sebagaimana tercantum dalam Perpu adalah: Pertama, membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, baik kehidupan individu maupun sosialnya. Kedua, membangun kembali infrastruktur fisik dan infrastruktur kelembagaan. Ketiga, membangun kembali perekonomian masyarakat sehingga dapat berusaha sebagaimana sebelumnya, serta Keempat membangun kembali pemerintahan sebagai sarana pelayanan masyarakat.
Sebenarnya, suara-suara kekecewaan terhadap kerja BRR di Aceh sudah lama dimunculkan, termasuk pernyataan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar ketika awal-awal terpilih sebagai Kepala dan Wakil Kepala Pemerintah Aceh. Tetapi, saat itu, BRR begitu kuat dan tak mungkin diganti oleh pernyataan seorang gubernur atau wakil gubernur. Karena, Kuntoro Mangkusubroto merupakan orang kepercayaan SBY.
Posisi Kuntoro juga sudah pernah dipersoalkan ketika posisi seorang kader Golkar, Ir Mustafa Abubakar belum memiliki jabatan begitu tidak lagi menjabat sebagai Pjs Gubernur. Saat itu, banyak pihak ribut-ribut soal penggantian posisi Kuntoro. Sejumlah nama dimunculkan seperti Humam Hamid, Bakhtiar Abdullah, Mustafa Abu Bakar sampai Fuad Zakaria. Tetapi, begitu Ir. Mustafa Abubakar memperoleh posisi sebagai Kepala Bulog, wacana pergantian Kuntoro pun mereda.
Sebagian masyarakat ada yang berpendapat (pendapat ini berkembang ketika awal-awal terpilihnya Irwandi-Nazar), bahwa keberadaan BRR layak ditinjau ulang. Soalnya, dasar pembentukan BRR saat awal-awal tsunami karena pemerintahan Aceh vakum karena roda pemerintahan Aceh lumpuh. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk BRR sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
Logikanya, seharusnya begitu pemerintahan Aceh terbentuk, apalagi pemerintahan yang legitimite karena dipilih langsung oleh rakyat, keberadaan BRR harus dibubarkan. Banyak kerja-kerja BRR maupun sebaliknya kerja-kerja pemerintah Aceh terjadi tumpang tindih. Belum lagi lemahnya koordinasi antara BRR dan pemerintah Aceh. Hal itu yang memicu usulan agar BRR dibubarkan saja.
Baru kini, wacana pembubaran BRR menjadi nyata. Hal itu tak lain karena mandat BRR secara hukum memang sudah berakhir. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2005, keberadaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias akan segera berakhir pada tanggal 16 April 2009. Saat mandat BRR berakhir, program rehab-rekons harus tetap berlanjut. Karena itu pula perlu dibentuk lembaga yang akan melanjutkan kerja-kerja BRR tersebut. Informasi yang berhasil dihimpun Harian Aceh, tim persiapan pembentukan BKRR sudah bekerja sejak April lalu sudah menggodok format struktur lembaga yang akan menggantikan tugas BRR. (lihat table)
Dari draf akademik tentang pembentukan BKRR, terlihat bahwa lembaga BKRR akan mengambil peran sebagai lembaga perencanaan, koordinasi dan pengendalian, yang memiliki tugas pokok seperti: pertama, menyusun perencanaan program dan penganggaran pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang berasal dari dana APBN. Kedua, Membangun kerjasama dan dukungan dari lembaga donor nasional dan Internasional untuk kesinambungan proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Ketiga, melakukan sinergisasi dan integrasi program Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan program pembangunan daerah. Keempat, mengkoordinasi dan memfasilitasi pelaksanaan program-program off budget. Kelima, melakukan pengendalian dan monitoring pelaksanaan program-program Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang dikerjakan oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA).
Sementara wewenang yang dimiliki oleh BKRR juga sangat besar, seperti menetapkan program-program Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca BRR NAD-Nias; menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk melaksanakan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang bersumber dari anggaran non APBN; mengkoordinasikan dan bekerjasama dengan pihak negara donor dalam melakukan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang dibiayai langsung oleh negara donor; mewakili Pemerintah dalam membangun hubungan dengan negara donor dan berbagai lembaga yang menjalankan program Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca BRR NAD-Nias;
Selanjutnya, melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Pemerintah dalam rangka kesinambungan Rehabilitasi dan Rekonstruksi; mengelola Sumber Daya Manusia, keuangan, dan teknologi untuk melaksanakan kesinambungan Rehabilitasi dan Rekonstruksi; memberikan arahan dan konsultasi kepada SKPA berkaitan program Rehabilitasi dan Rekonstruksi di wilayah pasca bencana; dan mendapatkan informasi dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya dari Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pihak lain yang terkait.
Urgensi Pembentukan BKRR
Pemerintah Aceh, seperti tercantum dalam draf Akademik yang disusun oleh Tim yang bentuk Pemerintah Aceh melihat banyak program BRR harus lebih dipertajam lagi di masa mendatang. Program-program tersebut meliputi Infrastruktur dan Perumahan; Ekonomi; Penguatan Kelembagaan.
Untuk itu, sebagai lembaga yang meneruskan kesinambungan program yang telah dimulai BRR NAD-Nias, dalam penyusunan program BKKRR Aceh harus juga mempertimbangkan enam kategori program seperti program dalam Rencana Induk yang belum dimulai; program yang sedang berjalan diprediksikan tidak akan selesai; program negara donor/NGO yang sedang berjalan; program yang terhenti/terbengkalai; program yang sudah diserahkan ke masyarakat dan terus berlanjut; program baru yang bersumber dari negara donor.
Selain itu, urgensi kehadiran BKRR juga karena masih banyak infrastruktur utama seperti jalan provinsi dan kabupaten (jalan dari Banda Aceh-Meulaboh, perbaikan jalan dari Banda Aceh ke Aceh-Sumut) yang belum selesai. Begitu juga dengan program pemberdayaan masyarakat korban bencana yang belum maksimal. Hal yang sama juga terlihat dari kualitas pelayanan public, seperti pendidikan, transportasi, kesehatan dan peran perempuan yang masih rendah.
Masalah tata ruang wilayah sebagai dasar kebijakan pembangunan, baik level provinsi maupun kabupaten belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, dan beberapa hal lainnya yang membuat kehadiran BKRR semakin mendesak seperti masalah anggaran.
Seperti tersebut dalam draf akademik, sampai berakhirnya masa tugas BRR NAD-Nias pada pertengahan April tahun depan, sasaran Rehabilitasi dan Rekonstruksi dalam Rencana Induk tidak semuanya terlaksana. Demikian juga dengan dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang sudah masuk ke dalam dokumen anggaran (DIPA) sampai tahun anggaran 2008 yang telah mencapai Rp32 Trilyun (Sumber Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) BRR NAD-Nias). Dana tersebut diprediksikan tidak akan terserap seluruhnya hingga akhir Desember 2008. Berdasarkan pengalaman rata-rata kemampuan daya serap BRR NAD-Nias sekitar 60-70% setiap tahun, maka diperkirakan sisa anggaran APBN yang tidak terserap sekitar Rp16 Trilyun. (HA 310508)
Diam-diam, pemerintah Aceh mempersiapkan lembaga yang akan menggantikan kerja BRR di Aceh. Lembaga tersebut diberinama yang tak jauh berbeda dengan BRR, hanya saja ada tambahan kata koordinasi dan kesinambungan: Badan Koordinasi Kesinambungan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh disingkat BKKRR.
Dalam pemaparan tentang kesiapan Pemerintah Aceh melanjutkan tugas rehab-rekons, pada Mei lalu memandang keberadaan BKRR sangat strategis sebagai kelanjutan dari secretariat bersama Pemerintah Aceh dan BRR. Pemerintah Aceh melihat, dengan adanya BKRR yang tugasnya bakal diserahkan kepada masing-masing departemen terkait akan memudahkan melakukan monitoring, serta mudah mengendalikan proses kegiatan rehab-rekons, sehingga lebih terjamin, efisien dan efektif.
Selain itu, kehadiran BKRR yang langsung dibentuk oleh Pemerintah Aceh memudahkan koordinasi dan fasilitasi dengan lembaga donor dan NGO internasional yang masih mempunyai komitmen membantu rehab-rekons Aceh.
Menurut Pemerintah Aceh, kehadiran lembaga pengganti BRR juga menjadikan program rehabilitasi dan rekonstruksi bersinergi dan terintegrasi dengan Program Pemerintah Aceh. Hal tersebut tidak akan terjadi seandainya tanggung jawab rehab-rekons Aceh tersebar di beberapa kementrian/lembaga.
Alasan lainnya, karena secara kultural dan emosional, Pemerintah Aceh lebih dekat dan diterima oleh masyarakat sehingga memungkinkan tingkat keberhasilan program lebih tinggi, selain karena Pemerintah Aceh secara formal dan tradisional memiliki jaringan komunikasi dua arah yang baik sampai ke pedesaan sehingga pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi akan lebih efektif, efisien dan tepat sasaran
Nilai strategis lainnya adalah karena Gubernur sebagai Kepala Pemerintahan Aceh saat ini merupakan hasil pilihan rakyat Aceh yang dilakukan secara langsung, demokratis dan transparan. Pemerintah Aceh memiliki legitimasi dan kepercayaan rakyat, karena didukung oleh dan dunia International, sehingga BKKRR Aceh yang dipimpin langsung oleh Gubernur mempunyai landasan politik yang kuat.
BRR dan Masalah
Seperti diketahui, kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) akan berakhir pada tanggal 16 April 2009 tahun depan. Setelah masa tugas berakhir, tak ada lagi lembaga yang menangani rehabilitasi dan rekonstruksi, kecuali lembaga donor internasional. Lembaga-lembaga tersebut juga bekerjasama atau memberi dana untuk BRR melaksanakan programnya.
Begitu pentingnya sebuah lembaga yang akan mengurusi rehab-rekons Aceh, mau tidak mau, pemerintah pusat plus pemerintah Aceh harus memikirkan kelanjutan kerja tersebut. Apalagi dalam UU No.10/2005 pasal 26 ayat 4 disebutkan bahwa “dengan berakhirnya masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, segala kekayaannya menjadi kekayaan milik negera yang selanjutnya dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah.“ Secara otomatis, kegiatan rehab-rekons menjadi tanggung-jawab pemerintah pusat dan pemerintah Aceh.
Kita berharap, pascaberakhirnya tugas BRR di Aceh, hadir sebuah lembaga yang cukup kuat dan dipercaya donor melanjutkan kerja-kerja BRR. Karena tanpa dukungan Negara atau lembaga donor, mustahil program rehab-rekons bisa berjalan sebagaimana harapan. Untuk itu, tim yang menggodok tersebut benar-benar memperhatikan berbagai aspek fundamental, sehingga benar-benar dirasakan manfaatnya, atau minimal ada perubahan yang signifikan.
Pemerintah Aceh, melalui tim yang menggodok atau mempersiapkan pengalihan kerja BBR, melihat bahwa keberadaan BRR tidak bisa dipertahankan, karena banyak tugas BRR yang tidak kelar serta bermasalah. Otomatis, berbagai kelemahan tersebut harus dipikul oleh Pemerintah Aceh.
Hasil analisa tim yang ditugaskan mempercepat pengalihan BRR ke pemerintah Aceh memiliki alasan kuat mengapa BRR tidak perlu dipertahankan. Pertama, sesuai dengan UU No.10/2005 pasal 26 ayat 1 dinyatakan bahwa “BRR melaksanakan tugas selama 4 tahun dan dapat diperpanjang apabila diperlukan.”
Menurut analisa tim, berdasarkan pasal tersebut, perpanjang BRR bisa saja dimungkinan, namun istilah “apabila diperlukan” tidak memberikan definisi secara jelas sehingga menimbulkan bermacam persepsi. Di antara persepsi itu, misalnya, sasaran rencana induk belum tercapai, atau fungsi Pemda belum pulih atau belum berjalan normal.
Alasan lainnya, kenapa BRR tidak perlu dipertahankan, karena Rencana Induk seperti diamanatkan dalam Perpres No/30/2005 tidak dilaksanakan secara konsisten. Banyak tugas-tugas BRR yang keluar dari rencana induk, sehingga mengundang kecaman dari berbagai pihak. Sebagai upaya membeli diri, BRR malah mengusulkan revisi atas Perpres No.30/2005 tersebut.
Wacana ini ditentang oleh sejumlah LSM di Aceh, diantaranya LSM GeRAK. Menurut Gerak, upaya revisi yang dilakukan oleh pihak Bapel BRR NAD-Nias merupakan bentuk lepas tangan atas kegagalan dalam melakukan rangkaian kerja-kerja yang diamanahkan dalam peraturan tersebut. ”Ini sebagai bukti bagi masyarakat korban bencana di Aceh bahwa BRR NAD-Nias telah gagal dalam menjalankan amanah Perpres No. 30/2005 tersebut,” kecam Gerak dalam siaran pers yang ditandatangani oleh Askhalani, manager program, dan Nasruddin MD, Koordinator Gerak Aceh Besar yang dikirim ke redaksi Harian Aceh.
GeRAK menuding, upaya revisi atas peraturan presiden tersebut merupakan langkah mundur yang dilakukan oleh BRR dalam melakukan rehabilitasi di Aceh terutama dalam pemenuhan hak-hak dasar korban bencana tsunami. Tugas-tugas BRR, kata GeRAK, harus diselesaikan sampai akhir masa tugas seperti diamanahkan dalam Perpres Nomor 30 Tahun 2005. ”Itu seperti pada juklak yang tertuang dalam Draf Ringkasan Eksekutif Rencana Aksi Rehabilitasi-Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat NAD-Nias tahun 2007-2009,” ujar aktivis Gerak.
Twk Mirza Kumala, Juru Bicara BRR yang dihubungi Harian Aceh Minggu (16/3) per telepon terkait tudingan Gerak ini mengatakan, bahwa BRR menghargai usul, apresiasi dan aspirasi yang disampaikan Gerak. Menurut Mirza, membangun Aceh merupakan sebuah kerja yang besar yang tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh BRR, karena membangun Aceh tidaklah cukup dengan waktu 4 tahun. Padahal, mandat BRR hanya 4 tahun.
Mirza memberi contoh tentang pembangunan rel kereta api yang tidak akan cukup dikerjakan dengan waktu 4 tahun. Untuk itu, sebut Mirza Perpres butuh revisi, untuk keberlanjutan proses rehab dan rekons di Aceh. ”Karena itu kita dorong Departemen Perhubungan untuk meneruskan pekerjaan itu, sekarang Dephub sedang melakukan itu,” ujarnya.
Begitu juga dalam hal cetak sawah baru. Padahal, sebut Mirza, dalam blueprint tidak ada cetak sawah baru. ”Tapi kita tetap cetak sawah. Ini kan butuh revisi,” tambahnya.
Ruang Lingkup Kerja BKRR
PENGALAMAN sebelumnya, hampir setiap hari kantor yang beralamat di Lueng Bata tersebut (begitu juga dengan keberadaan kantor BRR di daerah) didemo oleh masyarakat korban. Belum lagi kekecewaan publik yang teramat besar kepada BRR, seperti banyak janji rehab-rekons yang meleset, penggunaan anggaran banyak untuk operasional, serta membangun bangunan yang tidak begitu mendesak. Artinya, menurut sikap umum masyarakat Aceh, BRR sudah bekerja tidak sesuai mandatnya lagi.
Padahal, misi pembentukan BRR sebagaimana tercantum dalam Perpu adalah: Pertama, membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, baik kehidupan individu maupun sosialnya. Kedua, membangun kembali infrastruktur fisik dan infrastruktur kelembagaan. Ketiga, membangun kembali perekonomian masyarakat sehingga dapat berusaha sebagaimana sebelumnya, serta Keempat membangun kembali pemerintahan sebagai sarana pelayanan masyarakat.
Sebenarnya, suara-suara kekecewaan terhadap kerja BRR di Aceh sudah lama dimunculkan, termasuk pernyataan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar ketika awal-awal terpilih sebagai Kepala dan Wakil Kepala Pemerintah Aceh. Tetapi, saat itu, BRR begitu kuat dan tak mungkin diganti oleh pernyataan seorang gubernur atau wakil gubernur. Karena, Kuntoro Mangkusubroto merupakan orang kepercayaan SBY.
Posisi Kuntoro juga sudah pernah dipersoalkan ketika posisi seorang kader Golkar, Ir Mustafa Abubakar belum memiliki jabatan begitu tidak lagi menjabat sebagai Pjs Gubernur. Saat itu, banyak pihak ribut-ribut soal penggantian posisi Kuntoro. Sejumlah nama dimunculkan seperti Humam Hamid, Bakhtiar Abdullah, Mustafa Abu Bakar sampai Fuad Zakaria. Tetapi, begitu Ir. Mustafa Abubakar memperoleh posisi sebagai Kepala Bulog, wacana pergantian Kuntoro pun mereda.
Sebagian masyarakat ada yang berpendapat (pendapat ini berkembang ketika awal-awal terpilihnya Irwandi-Nazar), bahwa keberadaan BRR layak ditinjau ulang. Soalnya, dasar pembentukan BRR saat awal-awal tsunami karena pemerintahan Aceh vakum karena roda pemerintahan Aceh lumpuh. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk BRR sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.
Logikanya, seharusnya begitu pemerintahan Aceh terbentuk, apalagi pemerintahan yang legitimite karena dipilih langsung oleh rakyat, keberadaan BRR harus dibubarkan. Banyak kerja-kerja BRR maupun sebaliknya kerja-kerja pemerintah Aceh terjadi tumpang tindih. Belum lagi lemahnya koordinasi antara BRR dan pemerintah Aceh. Hal itu yang memicu usulan agar BRR dibubarkan saja.
Baru kini, wacana pembubaran BRR menjadi nyata. Hal itu tak lain karena mandat BRR secara hukum memang sudah berakhir. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2005, keberadaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias akan segera berakhir pada tanggal 16 April 2009. Saat mandat BRR berakhir, program rehab-rekons harus tetap berlanjut. Karena itu pula perlu dibentuk lembaga yang akan melanjutkan kerja-kerja BRR tersebut. Informasi yang berhasil dihimpun Harian Aceh, tim persiapan pembentukan BKRR sudah bekerja sejak April lalu sudah menggodok format struktur lembaga yang akan menggantikan tugas BRR. (lihat table)
Dari draf akademik tentang pembentukan BKRR, terlihat bahwa lembaga BKRR akan mengambil peran sebagai lembaga perencanaan, koordinasi dan pengendalian, yang memiliki tugas pokok seperti: pertama, menyusun perencanaan program dan penganggaran pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang berasal dari dana APBN. Kedua, Membangun kerjasama dan dukungan dari lembaga donor nasional dan Internasional untuk kesinambungan proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Ketiga, melakukan sinergisasi dan integrasi program Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan program pembangunan daerah. Keempat, mengkoordinasi dan memfasilitasi pelaksanaan program-program off budget. Kelima, melakukan pengendalian dan monitoring pelaksanaan program-program Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang dikerjakan oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA).
Sementara wewenang yang dimiliki oleh BKRR juga sangat besar, seperti menetapkan program-program Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca BRR NAD-Nias; menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk melaksanakan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang bersumber dari anggaran non APBN; mengkoordinasikan dan bekerjasama dengan pihak negara donor dalam melakukan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang dibiayai langsung oleh negara donor; mewakili Pemerintah dalam membangun hubungan dengan negara donor dan berbagai lembaga yang menjalankan program Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca BRR NAD-Nias;
Selanjutnya, melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Pemerintah dalam rangka kesinambungan Rehabilitasi dan Rekonstruksi; mengelola Sumber Daya Manusia, keuangan, dan teknologi untuk melaksanakan kesinambungan Rehabilitasi dan Rekonstruksi; memberikan arahan dan konsultasi kepada SKPA berkaitan program Rehabilitasi dan Rekonstruksi di wilayah pasca bencana; dan mendapatkan informasi dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya dari Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pihak lain yang terkait.
Urgensi Pembentukan BKRR
Pemerintah Aceh, seperti tercantum dalam draf Akademik yang disusun oleh Tim yang bentuk Pemerintah Aceh melihat banyak program BRR harus lebih dipertajam lagi di masa mendatang. Program-program tersebut meliputi Infrastruktur dan Perumahan; Ekonomi; Penguatan Kelembagaan.
Untuk itu, sebagai lembaga yang meneruskan kesinambungan program yang telah dimulai BRR NAD-Nias, dalam penyusunan program BKKRR Aceh harus juga mempertimbangkan enam kategori program seperti program dalam Rencana Induk yang belum dimulai; program yang sedang berjalan diprediksikan tidak akan selesai; program negara donor/NGO yang sedang berjalan; program yang terhenti/terbengkalai; program yang sudah diserahkan ke masyarakat dan terus berlanjut; program baru yang bersumber dari negara donor.
Selain itu, urgensi kehadiran BKRR juga karena masih banyak infrastruktur utama seperti jalan provinsi dan kabupaten (jalan dari Banda Aceh-Meulaboh, perbaikan jalan dari Banda Aceh ke Aceh-Sumut) yang belum selesai. Begitu juga dengan program pemberdayaan masyarakat korban bencana yang belum maksimal. Hal yang sama juga terlihat dari kualitas pelayanan public, seperti pendidikan, transportasi, kesehatan dan peran perempuan yang masih rendah.
Masalah tata ruang wilayah sebagai dasar kebijakan pembangunan, baik level provinsi maupun kabupaten belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, dan beberapa hal lainnya yang membuat kehadiran BKRR semakin mendesak seperti masalah anggaran.
Seperti tersebut dalam draf akademik, sampai berakhirnya masa tugas BRR NAD-Nias pada pertengahan April tahun depan, sasaran Rehabilitasi dan Rekonstruksi dalam Rencana Induk tidak semuanya terlaksana. Demikian juga dengan dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang sudah masuk ke dalam dokumen anggaran (DIPA) sampai tahun anggaran 2008 yang telah mencapai Rp32 Trilyun (Sumber Pusdatin (Pusat Data dan Informasi) BRR NAD-Nias). Dana tersebut diprediksikan tidak akan terserap seluruhnya hingga akhir Desember 2008. Berdasarkan pengalaman rata-rata kemampuan daya serap BRR NAD-Nias sekitar 60-70% setiap tahun, maka diperkirakan sisa anggaran APBN yang tidak terserap sekitar Rp16 Trilyun. (HA 310508)
Tags:
fokus