Dunia ini aneh. Ada yang bilang juga berputar. Tapi, memang benar demikian. Tak selamanya nasib kita hari ini akan sama dengan besok, lusa atau dua tahun mendatang. Hari ini boleh saja kita hina, tapi dua atau tiga tahun ke depan, kita akan menjadi orang yang sangat mulia.
Dulu, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar punya kawan terbatas, termasuk yang mendukung cita-cita perjuangannya. Mereka hanya punya kawan dari kalangan mereka sendiri. Sementara orang lain, katakanlah, para pejabat atau pegawai, memandang rendah perjuangan yang mereka lakukan, sebagai tindakan bodoh.
Pokoknya, bisa diibaratkan, orang-orang yang se-ideologi dengan mereka mengidap penyakit kusta. Orang-orang tak mau bergaul atau dekat. Keberadaan mereka menjijikkan. Kondisi seperti ini juga terlibat saat masa kampanye Pilkada dulu. Tak banyak pejabat yang menyokong mereka berdua, karena dinilai tak punya peluang untuk menang. Malah, pejabat sebuah Bank saat diminta membantu pasangan yang naik lewat jalur independen ini berkali-kali angkat tangan, diselilingi janji: pasti kita bantu. Sampai Pilkada selesai bantuan tersebut tak pernah datang.
Hanya saja, begitu dipastikan memenangi Pilkada, si Pejabat Bank ini menurut cerita kawan-kawan dari SINAR (tim sukses Irwandi-Nazar) menawarkan diri membantu melunasi utang-utang kampanye. Hah…begitu cepat sebuah dukungan berbalik.
Saya sering ditanya kawan-kawan, kenapa Irwandi-Nazar terkesan melupakan tim kampanye-nya? Saya tak tahu harus menjawab apa. Mereka bahkan menantang saya dengan pertanyaan: siapa yang bisa menjamin, bahwa kawan Irwandi dan Nazar sekarang adalah teman-teman yang dulu berjuang bersamanya? Kawan mereka sekarang banyak abu-abu. Tak hanya itu, mereka juga mempertanyakan sikap lunak para pejabat yang sekarang tak memandang rendah mereka berdua. Saya hanya bisa mengatakan bahwa Irwandi-Nazar sekarang sudah menjadi pemimpin bagi mereka.
Sekali lagi, dunia ini memang aneh. Dulu tak hampir tidak ada (kecuali beberapa orang saja para pejabat yang mendukung perjuangan mereka) pejabat yang memuliakan mereka. Malah, mereka berdua (termasuk ideologi perjuangan yang mereka anut) dikecam sebagai virus yang merusak kemapanan posisi para pajabat dan pegawai. Saban hari, ideologi yang mereka perjuangkan dituding sebagai racun yang bisa membunuh.
Apa yang terjadi sekarang? Keduanya diperlakukan bak raja: disembah, dihormat, dan dimuliakan. Kemana saja mereka pergi selalui diikuti. Di berbagai kesempatan, orang-orang berdesak-desakan ingin berfoto untuk kenangan dipajang di rumah, agar menambah power (kekuatan), atau dipandang sebagai orang dekatnya.
Saya sering melihat, bagaimana ‘tabiat budak’ melekat pada para pejabat, PNS atau orang-orang yang berharap mendapat keuntungan dari hubungan pertemanan dengan mereka (Irwandi-Nazar). Kalau ada suatu acara, dan kebetulan kedua orang ini suka, para pejabat lain ikut-ikutan menikmati acara tersebut, walau dalam hati sering ngomel, “Kalau bukan karena pimpinanku nonton, aku ga bakalan nonton. Dari dulu, aku paling ga suka acara seperti ini.” omelnya.
Jangan tanya soal kawan baru Gubernur dan Wakil Gubernur? Setiap hari ratusan kawan baru bertambah. Karena berteman dengan seorang pejabat tinggi seperti Gubernur atau Wakil Gubernur punya nilai tersendiri: marwah terangkat, status sosial semakin tinggi, kesejahteraan meningkat, dan punya kesempatan diajak kemana-mana. Pokoknya, serba wah.
Lalu, apa modal bergaul dengan pejabat? Modalnya mudah saja: buang rasa malu, gunakan perangai budak. Selain itu, jangan suka membantah, harus selalu nurut. Kalau si pejabat bilang ‘taik’ sebagai makanan, anda sebagai bawahan harus bilang itu sebagai ‘makanan’. Pue na rencana bantah? (HA 020608)
Dulu, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar punya kawan terbatas, termasuk yang mendukung cita-cita perjuangannya. Mereka hanya punya kawan dari kalangan mereka sendiri. Sementara orang lain, katakanlah, para pejabat atau pegawai, memandang rendah perjuangan yang mereka lakukan, sebagai tindakan bodoh.
Pokoknya, bisa diibaratkan, orang-orang yang se-ideologi dengan mereka mengidap penyakit kusta. Orang-orang tak mau bergaul atau dekat. Keberadaan mereka menjijikkan. Kondisi seperti ini juga terlibat saat masa kampanye Pilkada dulu. Tak banyak pejabat yang menyokong mereka berdua, karena dinilai tak punya peluang untuk menang. Malah, pejabat sebuah Bank saat diminta membantu pasangan yang naik lewat jalur independen ini berkali-kali angkat tangan, diselilingi janji: pasti kita bantu. Sampai Pilkada selesai bantuan tersebut tak pernah datang.
Hanya saja, begitu dipastikan memenangi Pilkada, si Pejabat Bank ini menurut cerita kawan-kawan dari SINAR (tim sukses Irwandi-Nazar) menawarkan diri membantu melunasi utang-utang kampanye. Hah…begitu cepat sebuah dukungan berbalik.
Saya sering ditanya kawan-kawan, kenapa Irwandi-Nazar terkesan melupakan tim kampanye-nya? Saya tak tahu harus menjawab apa. Mereka bahkan menantang saya dengan pertanyaan: siapa yang bisa menjamin, bahwa kawan Irwandi dan Nazar sekarang adalah teman-teman yang dulu berjuang bersamanya? Kawan mereka sekarang banyak abu-abu. Tak hanya itu, mereka juga mempertanyakan sikap lunak para pejabat yang sekarang tak memandang rendah mereka berdua. Saya hanya bisa mengatakan bahwa Irwandi-Nazar sekarang sudah menjadi pemimpin bagi mereka.
Sekali lagi, dunia ini memang aneh. Dulu tak hampir tidak ada (kecuali beberapa orang saja para pejabat yang mendukung perjuangan mereka) pejabat yang memuliakan mereka. Malah, mereka berdua (termasuk ideologi perjuangan yang mereka anut) dikecam sebagai virus yang merusak kemapanan posisi para pajabat dan pegawai. Saban hari, ideologi yang mereka perjuangkan dituding sebagai racun yang bisa membunuh.
Apa yang terjadi sekarang? Keduanya diperlakukan bak raja: disembah, dihormat, dan dimuliakan. Kemana saja mereka pergi selalui diikuti. Di berbagai kesempatan, orang-orang berdesak-desakan ingin berfoto untuk kenangan dipajang di rumah, agar menambah power (kekuatan), atau dipandang sebagai orang dekatnya.
Saya sering melihat, bagaimana ‘tabiat budak’ melekat pada para pejabat, PNS atau orang-orang yang berharap mendapat keuntungan dari hubungan pertemanan dengan mereka (Irwandi-Nazar). Kalau ada suatu acara, dan kebetulan kedua orang ini suka, para pejabat lain ikut-ikutan menikmati acara tersebut, walau dalam hati sering ngomel, “Kalau bukan karena pimpinanku nonton, aku ga bakalan nonton. Dari dulu, aku paling ga suka acara seperti ini.” omelnya.
Jangan tanya soal kawan baru Gubernur dan Wakil Gubernur? Setiap hari ratusan kawan baru bertambah. Karena berteman dengan seorang pejabat tinggi seperti Gubernur atau Wakil Gubernur punya nilai tersendiri: marwah terangkat, status sosial semakin tinggi, kesejahteraan meningkat, dan punya kesempatan diajak kemana-mana. Pokoknya, serba wah.
Lalu, apa modal bergaul dengan pejabat? Modalnya mudah saja: buang rasa malu, gunakan perangai budak. Selain itu, jangan suka membantah, harus selalu nurut. Kalau si pejabat bilang ‘taik’ sebagai makanan, anda sebagai bawahan harus bilang itu sebagai ‘makanan’. Pue na rencana bantah? (HA 020608)
Tags:
pojok