Plin-plan atau sigo sapue sama artinya dengan tidak konsisten dan suka berubah-ubah pendirian. Sikap seperti ini, tidak layak dimiliki, karena tidak terpuji. Memang, di dunia politik, sikap seperti ini lumrah saja. Membaca peluang itu penting dalam politik seperti halnya di dunia bisnis. Kemampuan membaca peluang, jadi isyarat, suatu bisnis (juga karir politik) akan sukses.
Tidak selamanya sikap plin-plan itu dapat diterima. Orang yang punya sikap plin-plan sering tidak dapat dipercaya. Hari ini bilang begini, besok bilang begitu. Antara kemarin, hari ini dan besok selalu berubah-ubah. Jika ada pemimpin seperti ini jelas tidak layak jadi panutan.
Sikap plin-plan sangat akrab dengan politisi. Hari ini bergabung dengan partai ini. Ketika kepentingannya tak terjamin di partai tersebut, besok dia pasti mencari partai lain yang menurutnya lebih punya peluang memuluskan kepentingannya. Makanya, seorang politisi tak perlu didengar omongannya, melainkan lihat saja perilakunya. Erich Fromm memberi nasehat bagi kita bagaimana cara memahami orang plin-plan.
Menurutnya, kita tidak perlu selamanya mendengar orang plin-plan ini, atau tidak perlu percaya padanya setiap dia berbicara. Kita bisa langsung mengambil kesimpulan dengan cara melihat pengalaman atau pembicaraan dia sebelumnya. Oleh Erich Fromm, teori seperti ini disebut dengan pendekatan behavoristik murni: perilaku masa mendatang bisa disimpulkan dari perilaku masa lalu
Lalu, apa sebenarnya sikap plin-plan itu? Orang Aceh biasanya sering menyebut mereka dengan, “Ureung tujoh go luho si uroe.” (Orang tujuh kali shalat dhuhur dalam sehari)
Sementara jika secara teori, sikap plin-plan disebut juga dengan indecisiveness, atau suatu ketidakmampuan menentukan keputusan atau bersikap dengan alasan-alasan yang sangat tidak kuat.
Orang plin-plan itu adalah orang yang gampang melakukan bongkar-pasang rencana, keputusan atau penyikapan atau suka gonta-ganti pasangan bagi orang yang pacaran. Karena itu, plin-plan sering diperlawankan dengan self-confidence (kepercayaan diri).
Misal, dalam hal pendirian partai politik. Jauh-jauh hari sudah berkomitmen memberi nama partai dengan nama partai X. Nama partai X itu harga mati, dan akan diperjuangkan habis-habisan. Malah, jika ada kekuatan yang mencoba mengubah nama partai X akan dilawan dengan sekuat tenaga. Tapi, belakangan karena satu dan lain hal, nama parti X itu harus diubah menjadi partai Y, dengan alasan yang dibuat-buat. Anehnya, setelah berubah satu kali, besok berubah lagi, entah sampai kapan.
“Nan partai droe mantong han ek diperjuangkan, kiban dijak perjuang naseb geutanyoe,” (Nama partai sendiri saja tidak sanggup diperjuangkan, bagaimana mereka mau memperjuangkan nasib kita) ujar apa Mat Nu di kampung saya. Capek dech!(HA 230508)
Tidak selamanya sikap plin-plan itu dapat diterima. Orang yang punya sikap plin-plan sering tidak dapat dipercaya. Hari ini bilang begini, besok bilang begitu. Antara kemarin, hari ini dan besok selalu berubah-ubah. Jika ada pemimpin seperti ini jelas tidak layak jadi panutan.
Sikap plin-plan sangat akrab dengan politisi. Hari ini bergabung dengan partai ini. Ketika kepentingannya tak terjamin di partai tersebut, besok dia pasti mencari partai lain yang menurutnya lebih punya peluang memuluskan kepentingannya. Makanya, seorang politisi tak perlu didengar omongannya, melainkan lihat saja perilakunya. Erich Fromm memberi nasehat bagi kita bagaimana cara memahami orang plin-plan.
Menurutnya, kita tidak perlu selamanya mendengar orang plin-plan ini, atau tidak perlu percaya padanya setiap dia berbicara. Kita bisa langsung mengambil kesimpulan dengan cara melihat pengalaman atau pembicaraan dia sebelumnya. Oleh Erich Fromm, teori seperti ini disebut dengan pendekatan behavoristik murni: perilaku masa mendatang bisa disimpulkan dari perilaku masa lalu
Lalu, apa sebenarnya sikap plin-plan itu? Orang Aceh biasanya sering menyebut mereka dengan, “Ureung tujoh go luho si uroe.” (Orang tujuh kali shalat dhuhur dalam sehari)
Sementara jika secara teori, sikap plin-plan disebut juga dengan indecisiveness, atau suatu ketidakmampuan menentukan keputusan atau bersikap dengan alasan-alasan yang sangat tidak kuat.
Orang plin-plan itu adalah orang yang gampang melakukan bongkar-pasang rencana, keputusan atau penyikapan atau suka gonta-ganti pasangan bagi orang yang pacaran. Karena itu, plin-plan sering diperlawankan dengan self-confidence (kepercayaan diri).
Misal, dalam hal pendirian partai politik. Jauh-jauh hari sudah berkomitmen memberi nama partai dengan nama partai X. Nama partai X itu harga mati, dan akan diperjuangkan habis-habisan. Malah, jika ada kekuatan yang mencoba mengubah nama partai X akan dilawan dengan sekuat tenaga. Tapi, belakangan karena satu dan lain hal, nama parti X itu harus diubah menjadi partai Y, dengan alasan yang dibuat-buat. Anehnya, setelah berubah satu kali, besok berubah lagi, entah sampai kapan.
“Nan partai droe mantong han ek diperjuangkan, kiban dijak perjuang naseb geutanyoe,” (Nama partai sendiri saja tidak sanggup diperjuangkan, bagaimana mereka mau memperjuangkan nasib kita) ujar apa Mat Nu di kampung saya. Capek dech!(HA 230508)
Tags:
pojok