Kita sering mendengar ucapan dalam masyarakat Aceh, yang sebenarnya berisi sindiran atau menyindir dirinya sendiri. “Ureung Aceh sabe untong, hantom rugoe meusigo. Sementara ureung China sabee rugoe.” (Orang Aceh selalu untung, tidak pernah rugi sekalipun, sementara orang China selalu rugi). Kenyataannya, orang China jarang rugi, malahan orang Aceh yang rugi terus.
Orang Aceh selalu mensyukuri segala pemberian Tuhan berupa cobaan, termasuk terhadap musibah dahsyat seperti tsunami sekalipun. “Untong cuman tsunami, kon kiamat.” (Untuk cuma tsunami, bukan kiamat). Demikian orang Aceh berucap atas musibah yang terjadi.
Dulu, saat Aceh masih konflik, seorang ibu ketika mendengar anaknya tewas tertembak, tapi mayatnya ditemukan, masih mampu berucap. “Untung meupat manyet, munyoe hana sang han ditheun jantong keuh.” (Untung ada mayat, andai tidak ditemukan mayatnya , saya bisa jantungan), Begitu lirih seorang ibu. Meski dia tetap sedih.
Demikian juga ketika Ia mendengar anaknya tertimpa musibah, seperti kecelakaan yang membuat salah satu kakinya patah. Sang ibu, sambil menangis akan berucap, “Untong cuma siblah gaki aneuk lon yang patah, munyoe dua blah aleh kiban jeut aneuk lon nyan.” (Untung cuma sebelah kaki yang patah, coba kalau kedua kaki yang patah, bagaimana jadinya anak saya).
Di sini menunjukkan, orang Aceh sangat tegar ketika menghadapi setiap masalah. Hal ini sudah diakui, bukan hanya oleh orang Aceh sendiri melainkan oleh dunia internasional. Orang Aceh masih tetap establish meski dirundung konflik puluhan tahun. Daya resistensi orang Aceh sangat kuat.
Bukti lainnya yang menunjukkan daya tahan orang Aceh cukup kuat, seperti saat Tsunami tiga tahun lalu. Musibah tersebut sama sekali tidak mambuat orang Aceh terpuruk. Malah, pascamusibah, orang Aceh seperti tidak merasakan apa-apa, hanya saja banyak di antara mereka dibuat terlena oleh janji bantuan, di mana kadang-kadang bantuan tersebut tidak datang-datang.
Untuk para korban tsunami yang belum mendapatkan rumah, mereka juga jarang mengeluh, meski kadang-kadang ketika tidak tahan mendemo kantor BRR. Tapi, bagi orang Aceh punya tempat tinggal meski di barak sudah cukup, yang penting kebutuhan untuk makan sehari-hari mencukupi.
Saya masih ingat, sebuah buku humor yang diterbitkan Garba Budaya, Jakarta yang berjudul: Geer Aceh Merdeka. Di buku yang berisi humor tersebut, menggambarkan orang Aceh sosok yang tegar. Artinya, konflik sama sekali tidak mempengaruhi kehidupan orang Aceh. Malah, orang Aceh masih mampu menciptakan berbagai humor yang sebenarnya lirih. Orang Aceh, seperti ditulis dalam buku humor tersebut hendak menyindir perilaku para tentara yang jarang tersenyum. Bahwa ada dua jenis orang yang tidak bisa ketawa, yaitu kalau tidak “sedang sakit” ya “pasti sedang punya niat jahat.”
Jadi, tak heran jika ada yang mengatakan untuk orang Aceh: “Orang Aceh masih bisa bercanda meski sedang berduka.” (HA 220508)
Dulu, saat Aceh masih konflik, seorang ibu ketika mendengar anaknya tewas tertembak, tapi mayatnya ditemukan, masih mampu berucap. “Untung meupat manyet, munyoe hana sang han ditheun jantong keuh.” (Untung ada mayat, andai tidak ditemukan mayatnya , saya bisa jantungan), Begitu lirih seorang ibu. Meski dia tetap sedih.
Demikian juga ketika Ia mendengar anaknya tertimpa musibah, seperti kecelakaan yang membuat salah satu kakinya patah. Sang ibu, sambil menangis akan berucap, “Untong cuma siblah gaki aneuk lon yang patah, munyoe dua blah aleh kiban jeut aneuk lon nyan.” (Untung cuma sebelah kaki yang patah, coba kalau kedua kaki yang patah, bagaimana jadinya anak saya).
Di sini menunjukkan, orang Aceh sangat tegar ketika menghadapi setiap masalah. Hal ini sudah diakui, bukan hanya oleh orang Aceh sendiri melainkan oleh dunia internasional. Orang Aceh masih tetap establish meski dirundung konflik puluhan tahun. Daya resistensi orang Aceh sangat kuat.
Bukti lainnya yang menunjukkan daya tahan orang Aceh cukup kuat, seperti saat Tsunami tiga tahun lalu. Musibah tersebut sama sekali tidak mambuat orang Aceh terpuruk. Malah, pascamusibah, orang Aceh seperti tidak merasakan apa-apa, hanya saja banyak di antara mereka dibuat terlena oleh janji bantuan, di mana kadang-kadang bantuan tersebut tidak datang-datang.
Untuk para korban tsunami yang belum mendapatkan rumah, mereka juga jarang mengeluh, meski kadang-kadang ketika tidak tahan mendemo kantor BRR. Tapi, bagi orang Aceh punya tempat tinggal meski di barak sudah cukup, yang penting kebutuhan untuk makan sehari-hari mencukupi.
Saya masih ingat, sebuah buku humor yang diterbitkan Garba Budaya, Jakarta yang berjudul: Geer Aceh Merdeka. Di buku yang berisi humor tersebut, menggambarkan orang Aceh sosok yang tegar. Artinya, konflik sama sekali tidak mempengaruhi kehidupan orang Aceh. Malah, orang Aceh masih mampu menciptakan berbagai humor yang sebenarnya lirih. Orang Aceh, seperti ditulis dalam buku humor tersebut hendak menyindir perilaku para tentara yang jarang tersenyum. Bahwa ada dua jenis orang yang tidak bisa ketawa, yaitu kalau tidak “sedang sakit” ya “pasti sedang punya niat jahat.”
Jadi, tak heran jika ada yang mengatakan untuk orang Aceh: “Orang Aceh masih bisa bercanda meski sedang berduka.” (HA 220508)
Tags:
pojok