Nasib rakyat Aceh saban tahun terkatung-katung. Mayoritas seperti kehilangan induk semangnya. Pencerahan baru terlihat ketika Pilkada 2006 lalu, rakyat serentak memberi kepercayaan kepada pasangan Irwandi-Nazar untuk berkuasa. Berjuta harapan digantungkan kepada pasangan yang naik melalui jalur independen ini.
Tapi, berangsur-angsur, ekspektasi rakyat terhadap pasangan ini pun berkurang. Popularitas yang sempat melejit pascamenang, mulai terkikis, dan muncul kekhawatiran: jangan-jangan pemimpin dari barisan perjuangan ini sedang membawa rakyat ke jurang kemiskinan dan kehancuran.
Namun, baik Irwandi maupun Nazar seperti paham, bahwa rakyat tak cukup hanya makan janji-janji manis. Rakyat butuh hasil nyata. Rakyat tidak akan menjadi kenyang oleh tawaran utopia demi utopia. Rakyat butuh bukti. Karena, ketika rakyat memilih kedua pasangan ini, rakyat terhipnotis oleh pesan kampanye: tapuwoe keulayi maruwah bansa nyang dilee meugah ban sigom donya.
Tersadar, bahwa di pundak keduanya rakyat sedang menggantung harapan, pemerintah Irwandi-Nazar meluncurkan program kredit Peumakmu Nanggroe. Melalui program ini, keduanya bertekad mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tapi, seiring perjalanan waktu, program tersebut menjadi tidak jelas, karena toh, belum muncul juga kesejahteraan seperti diharapkan. Malah, di sana-sini mulai muncul kekecewaan, sebab tidak semua rakyat kecil memiliki akses mendapatkan program kredit tersebut.
Belum lagi masalah itu terpecahkan, pemerintah plus DPRA kembali melakukan hal tidak populis: memperlambat APBA yang menjadi hajat hidup orang banyak. Rakyat Aceh hanya mendengar saja bahwa banyak uang sedang berkeliaran di Aceh, tapi tak sedikitpun bisa dinikmati. Padahal, dengan pengesahan APBA, banyak hal bisa dilakukan, minimal program kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur yang bermanfaat bagi publik.
Jika pun dalam bulan ini APBA disahkan, toh diyakini tak semua anggaran terserap karena sempitnya waktu. Diyakini, banyak uang yang harus dikembalikan lagi ke Pusat. Akhirnya, uang yang banyak itu, konon sampai 8 triliun hanya menjadi perbincangan saja. Lalu, ketika kondisi ini muncul, bisakah pemerintah dan DPRA mengklaim sudah bekerja maksimal, atau minimal pemerintahan mereka sukses? Padahal, perdebatan tentang RAPBA masih terus berjalan, karena masing-masing pihak (eksekutif dan legislatif ) memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Kondisi ini persis seperti disampaikan Brian Tracy, seorang pakar motivasi: Orang yang sukses selalu mencari kesempatan untuk menolong orang lain, sedangkan seorang pecundang akan selalu berkata, "Apakah itu untuk saya?" Entahlah.(HA 160508)
Tapi, berangsur-angsur, ekspektasi rakyat terhadap pasangan ini pun berkurang. Popularitas yang sempat melejit pascamenang, mulai terkikis, dan muncul kekhawatiran: jangan-jangan pemimpin dari barisan perjuangan ini sedang membawa rakyat ke jurang kemiskinan dan kehancuran.
Namun, baik Irwandi maupun Nazar seperti paham, bahwa rakyat tak cukup hanya makan janji-janji manis. Rakyat butuh hasil nyata. Rakyat tidak akan menjadi kenyang oleh tawaran utopia demi utopia. Rakyat butuh bukti. Karena, ketika rakyat memilih kedua pasangan ini, rakyat terhipnotis oleh pesan kampanye: tapuwoe keulayi maruwah bansa nyang dilee meugah ban sigom donya.
Tersadar, bahwa di pundak keduanya rakyat sedang menggantung harapan, pemerintah Irwandi-Nazar meluncurkan program kredit Peumakmu Nanggroe. Melalui program ini, keduanya bertekad mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tapi, seiring perjalanan waktu, program tersebut menjadi tidak jelas, karena toh, belum muncul juga kesejahteraan seperti diharapkan. Malah, di sana-sini mulai muncul kekecewaan, sebab tidak semua rakyat kecil memiliki akses mendapatkan program kredit tersebut.
Belum lagi masalah itu terpecahkan, pemerintah plus DPRA kembali melakukan hal tidak populis: memperlambat APBA yang menjadi hajat hidup orang banyak. Rakyat Aceh hanya mendengar saja bahwa banyak uang sedang berkeliaran di Aceh, tapi tak sedikitpun bisa dinikmati. Padahal, dengan pengesahan APBA, banyak hal bisa dilakukan, minimal program kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur yang bermanfaat bagi publik.
Jika pun dalam bulan ini APBA disahkan, toh diyakini tak semua anggaran terserap karena sempitnya waktu. Diyakini, banyak uang yang harus dikembalikan lagi ke Pusat. Akhirnya, uang yang banyak itu, konon sampai 8 triliun hanya menjadi perbincangan saja. Lalu, ketika kondisi ini muncul, bisakah pemerintah dan DPRA mengklaim sudah bekerja maksimal, atau minimal pemerintahan mereka sukses? Padahal, perdebatan tentang RAPBA masih terus berjalan, karena masing-masing pihak (eksekutif dan legislatif ) memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Kondisi ini persis seperti disampaikan Brian Tracy, seorang pakar motivasi: Orang yang sukses selalu mencari kesempatan untuk menolong orang lain, sedangkan seorang pecundang akan selalu berkata, "Apakah itu untuk saya?" Entahlah.(HA 160508)
Tags:
pojok