Bungkam tak hanya dilakukan pemerintah. Kalangan swasta atau orang berduit juga sering melakukannya. Ada yang melakukannya secara kasar, seperti menggunakan tangan besi, ada juga yang menempuh cara halus. Dan pihak media, diakui atau tidak sering menjadi objek yang dibungkam.
Tulisan atau berita yang dimuat di sebuah media, sering berakhir dengan persidangan di pengadilan, dan lalu di Penjara. Meski banyak juga sebuah berita menjadi ter-ralat dengan sendirinya, setelah si wartawan dipanggil untuk menghadap.
Ya…mereka punya banyak uang, sementara si wartawan tidak. Tapi, meskipun tidak punya banyak duit, kita masih punya nurani. Itu yang penting. Sebab, tanpa nurani, kita tak pantas menyebut diri manusia. Karenanya, jangan sampai nurani yang ada sama kita, lalu kita gadaikan. Wartawan yang bisa dibeli sering tak punya harga diri, dan lalu tak bermartabat.
Saat tak lagi punya martabat, kita bisa mengkritisi apa saja, dan menulis tentang semua hal. Tetapi, tulisan kita tetap sudah bisa diukur dengan nilai mata uang. Tulisan yang begini, jika dikasih duit Rp200 ribu pasti tidak lagi seperti itu. Akibatnya, martabat sebuah tulisan menjadi hilang. Dia kehilangan daya kritisnya, dan lalu tak memberi pengaruh apa-apa.
Sering juga ketika sebuah media memberitakan tentang kebobrokan suatu lembaga, kantor atau malah sebuah Bank, mereka langsung mempersiapkan jurus maut agar si wartawan tidak lagi menulis berita tentang kebobrokan bank tersebut. Semua orang tahu, keuangan sebuah bank tidak terbatas, meski uang tersebut milik nasabah. Tetapi, bunga atau keuntungan dari simpanan nasabah cukup untuk membayari seorang wartawan untuk membungkamnya.
Saya mendengar dari seorang kawan, bagaimana takutnya beberapa pimpinan Bank, saat kasus raibnya uang Pemda Aceh Utara terpampang di halaman media ini. Berbagai upaya shock therapy disiapkan seperti menyediakan penasehat hukum untuk mensomasi media ini, meski kemudian upaya tersebut tidak jadi dilakukan, karena polisi berhasil membongkar kasus tersebut.
Tapi, upaya Bank ternyata tak hanya berhenti di situ. Karena beberapa hari kemudian, dengan perantara seseorang, pimpinan Bank mencoba menawarkan kerjasama, baik berupa pariwara atau sesuatu yang bisa membuat media ini tidak lagi menulis tentang kasus Bank tersebut. Beruntung, upaya ini belum berhasil.
Para wartawan di lapangan saya kira juga menghadapi dilema seperti ini. Sering si wartawan menulis suatu penyelewengan di sebuah kantor, dinas atau kantor pemerintahan, tetapi besoknya, berita tersebut langsung diralat oleh si wartawan yang bersangkutan. Upaya ralat tersebut, meski dalam dunia jurnalistik, ada aturannya, tetapi sering terasa janggal. Bisa jadi si wartawan sudah dibungkam dengan sejumlah uang (memang tidak terlalu banyak).
Jika dulu, saat pers dikontrol oleh penguasa, ketika sebuah media menulis berita yang buruk-buruk tentang penguasa, si penguasa cukup hanya duduk di kantor dan menelepon si pemilik media. Besoknya, pasti media tersebut akan lebih hati-hati dan menulis yang baik-baik saja. Si wartawan akan melawan istilah yang sering dikenal di dunia jurnalistik: bad news is good news dan cenderung setuju dengan good news is news. Jika pihak media membandel, dan tetap bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, yakinlah usia media tersebut tidak bakal lama, karena pasti dibredel.
Beruntung sekarang, hukum rimba berupa main bredel tidak dikenal lagi. Tetapi, jangan salah, pihak media pun menghadapi tantangan yang tak kalah berat, yaitu upaya suap agar si wartawan dan media tidak bebas menulis. Makanya, jika si wartawan sudah bisa di-jengkal isi perutnya, apapun berita yang ditulisnya tidak punya pengaruh lagi. “kasih duit Rp50 ribu, dia pasti tidak akan menulis lagi,” begitu ucapan yang sering kita dengar dari mulut si pemilik kuasa. (HA 250608)
Tulisan atau berita yang dimuat di sebuah media, sering berakhir dengan persidangan di pengadilan, dan lalu di Penjara. Meski banyak juga sebuah berita menjadi ter-ralat dengan sendirinya, setelah si wartawan dipanggil untuk menghadap.
Ya…mereka punya banyak uang, sementara si wartawan tidak. Tapi, meskipun tidak punya banyak duit, kita masih punya nurani. Itu yang penting. Sebab, tanpa nurani, kita tak pantas menyebut diri manusia. Karenanya, jangan sampai nurani yang ada sama kita, lalu kita gadaikan. Wartawan yang bisa dibeli sering tak punya harga diri, dan lalu tak bermartabat.
Saat tak lagi punya martabat, kita bisa mengkritisi apa saja, dan menulis tentang semua hal. Tetapi, tulisan kita tetap sudah bisa diukur dengan nilai mata uang. Tulisan yang begini, jika dikasih duit Rp200 ribu pasti tidak lagi seperti itu. Akibatnya, martabat sebuah tulisan menjadi hilang. Dia kehilangan daya kritisnya, dan lalu tak memberi pengaruh apa-apa.
Sering juga ketika sebuah media memberitakan tentang kebobrokan suatu lembaga, kantor atau malah sebuah Bank, mereka langsung mempersiapkan jurus maut agar si wartawan tidak lagi menulis berita tentang kebobrokan bank tersebut. Semua orang tahu, keuangan sebuah bank tidak terbatas, meski uang tersebut milik nasabah. Tetapi, bunga atau keuntungan dari simpanan nasabah cukup untuk membayari seorang wartawan untuk membungkamnya.
Saya mendengar dari seorang kawan, bagaimana takutnya beberapa pimpinan Bank, saat kasus raibnya uang Pemda Aceh Utara terpampang di halaman media ini. Berbagai upaya shock therapy disiapkan seperti menyediakan penasehat hukum untuk mensomasi media ini, meski kemudian upaya tersebut tidak jadi dilakukan, karena polisi berhasil membongkar kasus tersebut.
Tapi, upaya Bank ternyata tak hanya berhenti di situ. Karena beberapa hari kemudian, dengan perantara seseorang, pimpinan Bank mencoba menawarkan kerjasama, baik berupa pariwara atau sesuatu yang bisa membuat media ini tidak lagi menulis tentang kasus Bank tersebut. Beruntung, upaya ini belum berhasil.
Para wartawan di lapangan saya kira juga menghadapi dilema seperti ini. Sering si wartawan menulis suatu penyelewengan di sebuah kantor, dinas atau kantor pemerintahan, tetapi besoknya, berita tersebut langsung diralat oleh si wartawan yang bersangkutan. Upaya ralat tersebut, meski dalam dunia jurnalistik, ada aturannya, tetapi sering terasa janggal. Bisa jadi si wartawan sudah dibungkam dengan sejumlah uang (memang tidak terlalu banyak).
Jika dulu, saat pers dikontrol oleh penguasa, ketika sebuah media menulis berita yang buruk-buruk tentang penguasa, si penguasa cukup hanya duduk di kantor dan menelepon si pemilik media. Besoknya, pasti media tersebut akan lebih hati-hati dan menulis yang baik-baik saja. Si wartawan akan melawan istilah yang sering dikenal di dunia jurnalistik: bad news is good news dan cenderung setuju dengan good news is news. Jika pihak media membandel, dan tetap bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, yakinlah usia media tersebut tidak bakal lama, karena pasti dibredel.
Beruntung sekarang, hukum rimba berupa main bredel tidak dikenal lagi. Tetapi, jangan salah, pihak media pun menghadapi tantangan yang tak kalah berat, yaitu upaya suap agar si wartawan dan media tidak bebas menulis. Makanya, jika si wartawan sudah bisa di-jengkal isi perutnya, apapun berita yang ditulisnya tidak punya pengaruh lagi. “kasih duit Rp50 ribu, dia pasti tidak akan menulis lagi,” begitu ucapan yang sering kita dengar dari mulut si pemilik kuasa. (HA 250608)
Tags:
pojok