“Sekarang lagi musim partai bos!” Begitu ucap seorang kawan menyadarkan saya. “Semua kebaikan yang dilakukan, ujung-ujungnya untuk kepentingan 2009,” sambungnya lagi. Lalu, dia bercerita panjang lebar, tentang sepak terjang seorang mantan pejabat, menampilkan citra positif seolah-olah peduli dengan nasib tahanan yang masih mendekam di penjara-penjara di pulau Jawa.
Karena sekarang lagi musim politik, semua orang kemudian jadi sibuk. Mendekati pemilu 2009, citra masih terlalu ampuh menarik massa. Tanpa citra yang baik, sulit mendapatkan suara. Meski ada yang bilang uang masih sangat ampuh, tetapi untuk kondisi sekarang tidak lagi menentukan. Apalagi orang Aceh sudah punya resep mujarab, “Di peukhem takhem, tatem yang bek. Dijok tacok, taculok nyang bek.”
Ya…rakyat Aceh sudah sangat berpengalaman. Mereka jarang yang mau diperlakukan sebagai massa, apalagi massa mengambang. Lalu, apakah berbeda antara rakyat dan massa? Menjawab ini, saya harus merujuk Eep Saifullah Fattah (2001). Eep membedakan secara nyata dan jelas antara rakyat dan massa. Menurutnya, jika rakyat percaya diri di atas kesepakatan tentang hak dan kewajiban, massa biasanya membangun surplus percaya diri atas nama jumlahnya, dan dengan itu, menularkan virus ketakutan sambil menuntut kepatuhan, bahkan sikap tunduk tekuk lutut.
“Jika rakyat adalah pendesak yang sehat, massa adalah kerumunan besar yang suka bertabiat buruk: meletupkan kekecewaan dan kemarahan lewat terror,” tulisnya.
Tetapi, apakah di Aceh ada massa yang suka bertabiat buruk? Dan lalu suka menebar kemarahan lewat teror? Kita menyangsikannya, meski ke depan hal seperti itu bukan mustahil terjadi. Belum lagi jika gesekan antar massa tak bisa dibendung, karena beberapa partai pasti memperebutkan basis massa yang sama. Kita pasti akan menonton parade politik yang berdarah-darah. Politik, jadinya tak lagi dipahami seperti sering dikatakan oleh Mao Tse Tung, sebagai perang yang tidak menumpahkan darah. Politik penuh darah bakal berlangsung di Aceh.
Saya begitu terkejut ketika membaca statemen juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) di harian ini beberapa waktu lalu, bahwa tidak boleh satu partai pun mengklaim diri sebagai partai eks awak GAM. Menurutnya, partai eks awak GAM hanya satu: Partai Aceh. Sementara kita tahu, banyak awak GAM sekarang tersebar di berbagai partai seperti Partai Gabthat, Partai SIRA, PAAS, dan lain-lain.
Saya jadi bertanya-tanya, jika Partai Aceh tampil begitu eksklusif, apakah bisa menjadi partai yang memberikan banyak harapan untuk orang Aceh? Apalagi, banyak rakyat Aceh sekarang begitu antipasti dengan GAM. Jika hanya mengandalkan awak GAM, bagaimana Partai Aceh bisa menjadi pemenang di Aceh? Padahal, suara rakyat Aceh (awak nanggroe), cukup besar, dan diperebutkan oleh banyak partai: Lokal dan Nasional.
Ekspektasi rakyat Aceh untuk ikut pemilu juga diyakini bakal berkurang. Karena, rakyat semakin sadar bahwa Pemilu tak banyak memberikan perubahan bagi rakyat Aceh. Pemilu hanya mampu mengganti kulitnya saja, sementara isinya sama. Orang-orang yang duduk di Parlemen boleh saja berbeda, tetapi kebijakannya tetap sama, bahkan lebih buruk. Lalu, kita harus bertanya, untuk apa rakyat ikut Pemilu?
Bukankah, setiap Pemilu, rakyat selalu disuguhi tampilnya politisi-politisi munafik, yang hanya pandai berjanji? Rakyat boleh saja terpana sesaat mendengarkan kemampuan para jurkam berkampanye, dengan retorika memukau, tetapi, begitu pulang ke rumah, rakyat pasti sadar, bahwa retorika tak bisa mengubah apapun. Hanya sebuah baju sareng kopi yang sempat mereka terima saat dilempar dari atas panggung kampanye, lainnya tidak. (HA 270608)
Karena sekarang lagi musim politik, semua orang kemudian jadi sibuk. Mendekati pemilu 2009, citra masih terlalu ampuh menarik massa. Tanpa citra yang baik, sulit mendapatkan suara. Meski ada yang bilang uang masih sangat ampuh, tetapi untuk kondisi sekarang tidak lagi menentukan. Apalagi orang Aceh sudah punya resep mujarab, “Di peukhem takhem, tatem yang bek. Dijok tacok, taculok nyang bek.”
Ya…rakyat Aceh sudah sangat berpengalaman. Mereka jarang yang mau diperlakukan sebagai massa, apalagi massa mengambang. Lalu, apakah berbeda antara rakyat dan massa? Menjawab ini, saya harus merujuk Eep Saifullah Fattah (2001). Eep membedakan secara nyata dan jelas antara rakyat dan massa. Menurutnya, jika rakyat percaya diri di atas kesepakatan tentang hak dan kewajiban, massa biasanya membangun surplus percaya diri atas nama jumlahnya, dan dengan itu, menularkan virus ketakutan sambil menuntut kepatuhan, bahkan sikap tunduk tekuk lutut.
“Jika rakyat adalah pendesak yang sehat, massa adalah kerumunan besar yang suka bertabiat buruk: meletupkan kekecewaan dan kemarahan lewat terror,” tulisnya.
Tetapi, apakah di Aceh ada massa yang suka bertabiat buruk? Dan lalu suka menebar kemarahan lewat teror? Kita menyangsikannya, meski ke depan hal seperti itu bukan mustahil terjadi. Belum lagi jika gesekan antar massa tak bisa dibendung, karena beberapa partai pasti memperebutkan basis massa yang sama. Kita pasti akan menonton parade politik yang berdarah-darah. Politik, jadinya tak lagi dipahami seperti sering dikatakan oleh Mao Tse Tung, sebagai perang yang tidak menumpahkan darah. Politik penuh darah bakal berlangsung di Aceh.
Saya begitu terkejut ketika membaca statemen juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) di harian ini beberapa waktu lalu, bahwa tidak boleh satu partai pun mengklaim diri sebagai partai eks awak GAM. Menurutnya, partai eks awak GAM hanya satu: Partai Aceh. Sementara kita tahu, banyak awak GAM sekarang tersebar di berbagai partai seperti Partai Gabthat, Partai SIRA, PAAS, dan lain-lain.
Saya jadi bertanya-tanya, jika Partai Aceh tampil begitu eksklusif, apakah bisa menjadi partai yang memberikan banyak harapan untuk orang Aceh? Apalagi, banyak rakyat Aceh sekarang begitu antipasti dengan GAM. Jika hanya mengandalkan awak GAM, bagaimana Partai Aceh bisa menjadi pemenang di Aceh? Padahal, suara rakyat Aceh (awak nanggroe), cukup besar, dan diperebutkan oleh banyak partai: Lokal dan Nasional.
Ekspektasi rakyat Aceh untuk ikut pemilu juga diyakini bakal berkurang. Karena, rakyat semakin sadar bahwa Pemilu tak banyak memberikan perubahan bagi rakyat Aceh. Pemilu hanya mampu mengganti kulitnya saja, sementara isinya sama. Orang-orang yang duduk di Parlemen boleh saja berbeda, tetapi kebijakannya tetap sama, bahkan lebih buruk. Lalu, kita harus bertanya, untuk apa rakyat ikut Pemilu?
Bukankah, setiap Pemilu, rakyat selalu disuguhi tampilnya politisi-politisi munafik, yang hanya pandai berjanji? Rakyat boleh saja terpana sesaat mendengarkan kemampuan para jurkam berkampanye, dengan retorika memukau, tetapi, begitu pulang ke rumah, rakyat pasti sadar, bahwa retorika tak bisa mengubah apapun. Hanya sebuah baju sareng kopi yang sempat mereka terima saat dilempar dari atas panggung kampanye, lainnya tidak. (HA 270608)
Tags:
pojok