Dulu, seorang kawan saya dari Subang, Jawa Barat melontarkan sebuah pernyataan yang menurut saya cukup menohok: Orang Aceh tidak pandai berterima kasih ya? Orang Aceh cepat sekali melupakan bantuan orang! Saya tentu saja kaget. Soalnya, selama ini dia tidak pernah menampakkan sikap tidak suka untuk orang Aceh. Malah, selama kami dalam safety house, dia termasuk banyak membantu.
Saat saya tanya, kenapa bisa membuat kesimpulan secepat itu? Lalu dia cerita, saat awal-awal Darurat Militer, rumahnya di kawasan Ciputat jadi tempat persembunyiaan aktivis Aceh sebelum diungsikan ke tempat yang aman. Ada aktivis Aceh, menurut cerita dia, tinggal di rumahnya selama 2 Minggu. Makan di sana, minum di sana, termasuk mandi dan tidur.
Tetapi, setelah beberapa bulan berpisah, dan bertemu lagi dalam suatu kesempatan, si aktivis Aceh ini sama sekali tidak mengenal lagi nama orang yang sudah menampungnya selama ini. Si aktivis Aceh, cerita kawan saya ini, ketika bertemu dengan dia hanya mampu memanggil dengan sebutan aneh: Eh…Pak Bos! dengan suara terputus-putus sambil mengingat nama yang sebenarnya. Meski, kemudian tak juga berhasil.
Tak hanya itu, katanya, semenjak aktivis Aceh kembali pulang ke Aceh pascadamai, jarang kawan-kawan yang dulu akrab dengannya mengirim SMS atau mengabarinya tentang kondisi di Aceh. Aktivis Aceh, kata dia lupa, bahwa mereka pernah jadi kawan berdiskusi dulunya.
Cerita tersebut saya ingat kembali, dalam perjalanan pulang dari Sabang ke Banda Aceh dengan kapal cepat yang baru diresmikan, Ekspress Bahari, kemarin. Kebetulan di sebelah saya duduk seorang kawan, yang sekarang memimpin sebuah Partai Lokal di Sabang. Dari ceritanya, terlihat bahwa dia cukup kecewa terhadap kawan-kawan yang pernah dibantu dulunya. Saat mendengar cerita dia, saya hanya terpikir satu kata saja: Lupa.
Dia sampai bercerita kepada saya, bahwa dirinya pernah mengirim sms untuk seorang kawan agar disampaikan kepada seorang pejabat yang pernah didukungnya: Neutulong pugah siat bak gobnyan, lon hana perle keu gobnyan, tapi misue ukue gobnyan perle suara lom dari Sabang, lon siap bantu.
Ya…saya jadi terfikir kemana-mana, bahwa benar orang Aceh cepat sekali lupa. Malah, seratus kali perbuatan jahat bisa dilupakan hanya dengan sekali janji manis. Orang yang dulu begitu dibenci, sekarang menjadi orang yang sangat dipuja. Kawan-kawan yang dulu satu perjuangan, kini malah dicurigai macam-macam, dan diperlakukan sebagai musuh.
Berapa banyak kasus pelanggaran HAM terjadi di Aceh, tapi siapa yang masih mengingatnya sekarang, dan memusuhi pelakunya? Sangat sedikit sekali. Kita orang Aceh, selalu lupa, termasuk lupa mencatat orang yang pernah berbuat jahat kepada kita. (HA 070608)
Saat saya tanya, kenapa bisa membuat kesimpulan secepat itu? Lalu dia cerita, saat awal-awal Darurat Militer, rumahnya di kawasan Ciputat jadi tempat persembunyiaan aktivis Aceh sebelum diungsikan ke tempat yang aman. Ada aktivis Aceh, menurut cerita dia, tinggal di rumahnya selama 2 Minggu. Makan di sana, minum di sana, termasuk mandi dan tidur.
Tetapi, setelah beberapa bulan berpisah, dan bertemu lagi dalam suatu kesempatan, si aktivis Aceh ini sama sekali tidak mengenal lagi nama orang yang sudah menampungnya selama ini. Si aktivis Aceh, cerita kawan saya ini, ketika bertemu dengan dia hanya mampu memanggil dengan sebutan aneh: Eh…Pak Bos! dengan suara terputus-putus sambil mengingat nama yang sebenarnya. Meski, kemudian tak juga berhasil.
Tak hanya itu, katanya, semenjak aktivis Aceh kembali pulang ke Aceh pascadamai, jarang kawan-kawan yang dulu akrab dengannya mengirim SMS atau mengabarinya tentang kondisi di Aceh. Aktivis Aceh, kata dia lupa, bahwa mereka pernah jadi kawan berdiskusi dulunya.
Cerita tersebut saya ingat kembali, dalam perjalanan pulang dari Sabang ke Banda Aceh dengan kapal cepat yang baru diresmikan, Ekspress Bahari, kemarin. Kebetulan di sebelah saya duduk seorang kawan, yang sekarang memimpin sebuah Partai Lokal di Sabang. Dari ceritanya, terlihat bahwa dia cukup kecewa terhadap kawan-kawan yang pernah dibantu dulunya. Saat mendengar cerita dia, saya hanya terpikir satu kata saja: Lupa.
Dia sampai bercerita kepada saya, bahwa dirinya pernah mengirim sms untuk seorang kawan agar disampaikan kepada seorang pejabat yang pernah didukungnya: Neutulong pugah siat bak gobnyan, lon hana perle keu gobnyan, tapi misue ukue gobnyan perle suara lom dari Sabang, lon siap bantu.
Ya…saya jadi terfikir kemana-mana, bahwa benar orang Aceh cepat sekali lupa. Malah, seratus kali perbuatan jahat bisa dilupakan hanya dengan sekali janji manis. Orang yang dulu begitu dibenci, sekarang menjadi orang yang sangat dipuja. Kawan-kawan yang dulu satu perjuangan, kini malah dicurigai macam-macam, dan diperlakukan sebagai musuh.
Berapa banyak kasus pelanggaran HAM terjadi di Aceh, tapi siapa yang masih mengingatnya sekarang, dan memusuhi pelakunya? Sangat sedikit sekali. Kita orang Aceh, selalu lupa, termasuk lupa mencatat orang yang pernah berbuat jahat kepada kita. (HA 070608)
Tags:
pojok