NAD. Ya…sebuah singkatan yang sepatutnya kita benci, tidak hanya sekarang, tetapi seharusnya sejak dulu. Kalau kita tidak mengetahui kepanjangan dari “NAD”, sungguh kita tidak tahu bahwa singkatan tersebut merupakan nama yang diberikan kepada Aceh sesuai dengan UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus.
Saya yakin, banyak orang asing juga tidak tahu bahwa NAD sebenarnya adalah Aceh, jika tak ditulis kepanjangannya secara lengkap. Misal, ada sebutan ‘masyarakat NAD’, ‘rakyat NAD’, ‘penduduk di NAD’, dsb. Sama sekali kita tidak tahu bahwa sebutan itu semua merujuk untuk rakyat Aceh.
Saya yakin, banyak orang asing juga tidak tahu bahwa NAD sebenarnya adalah Aceh, jika tak ditulis kepanjangannya secara lengkap. Misal, ada sebutan ‘masyarakat NAD’, ‘rakyat NAD’, ‘penduduk di NAD’, dsb. Sama sekali kita tidak tahu bahwa sebutan itu semua merujuk untuk rakyat Aceh.
Istilah “NAD” sama sekali tidak mencerminkan khas Aceh. Pemberian nama “NAD” untuk Aceh lebih terkait dengan kepentingan politis, mengaburkan sesuatu yang berbau Aceh. Dengan adanya istilah “NAD”, dengan sendirinya sebutan Aceh menghilang, kecuali kalau istilah NAD tersebut ditulis menggunakan kepanjangan. Tapi, yang sering terjadi, penyebutan untuk istilah tersebut hanya singkatan saja, sementara kata Aceh tenggelam di dalam istilah NAD.
Yang lebih aneh lagi, istilah tersebut masih dipergunakan sampai sekarang. Penggunaan tersebut tidak hanya monopoli media nasional, karena media lokal juga sering menggunakannya. Lebih parah lagi, kop surat kantor Gubernur sampai sekarang (saat tulisan ini ditulis, ed) masih menggunakan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam ucapan-ucapan selamat di media, juga masih ditulis dengan sebutan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Padahal, begitu Undang-undang Pemerintah Aceh (UU PA) disahkan, secara de jure seharusnya penyebutan Aceh dikembalikan menjadi Provinsi Aceh atau Pemerintah Aceh. Sebutan ini bukan mengada-ada, karena begitulah yang tertulis di UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang dibuat bukan untuk berlaku enam tahun lagi, melainkan sudah berlaku sejak diundangkan atau ditetapkan.
Sudah dua tahun (kalau saya tidak salah), Undang-undang tersebut berlaku. Tapi, kok masih ada orang-orang di Aceh menyebut Aceh dengan NAD. Padahal, sudah sejak dulu (khususnya elemen perjuangan) menolak UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus, di mana nama NAD mulai dipergunakan. Bagi elemen perjuangan, pemberian UU tersebut untuk Aceh lebih karena faktor politis meredam perjuangan GAM saat itu. Jadi, hanya sebagian kecil saja orang menerima UU tersebut, sementara sebagian besar rakyat Aceh saat itu menolak.
Sementara UU PA, meski masih banyak kekurangan di sana-sini, tapi itulah produk hukum yang sah untuk Aceh sekarang sebagai provinsi yang memiliki kekhasan dibanding provinsi lain di Indonesia. UU PA juga merupakan produk politik yang diperjuangkan bersama-sama. Karena itu, sudah sepatutnya UU tersebut digunakan, lebih-lebih pada penyebutan Aceh. Kita orang Aceh harus melawan sekuat tenaga terhadap pihak-pihak yang mencoba menghilangkan sebutan Aceh.
Jadi, sekali lagi, khususnya untuk kalangan pemerintah Aceh, berhentilah menggunakan istilah NAD. Sudah saatnya istilah Pemerintah Aceh dipopulerkan, karena di samping sesuai dengan UU, juga sudah mencerminkan kharakteristik ke-Aceh. Kiban, na pakat? (HA 060608)
Yang lebih aneh lagi, istilah tersebut masih dipergunakan sampai sekarang. Penggunaan tersebut tidak hanya monopoli media nasional, karena media lokal juga sering menggunakannya. Lebih parah lagi, kop surat kantor Gubernur sampai sekarang (saat tulisan ini ditulis, ed) masih menggunakan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam ucapan-ucapan selamat di media, juga masih ditulis dengan sebutan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Padahal, begitu Undang-undang Pemerintah Aceh (UU PA) disahkan, secara de jure seharusnya penyebutan Aceh dikembalikan menjadi Provinsi Aceh atau Pemerintah Aceh. Sebutan ini bukan mengada-ada, karena begitulah yang tertulis di UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang dibuat bukan untuk berlaku enam tahun lagi, melainkan sudah berlaku sejak diundangkan atau ditetapkan.
Sudah dua tahun (kalau saya tidak salah), Undang-undang tersebut berlaku. Tapi, kok masih ada orang-orang di Aceh menyebut Aceh dengan NAD. Padahal, sudah sejak dulu (khususnya elemen perjuangan) menolak UU No.18/2001 tentang Otonomi Khusus, di mana nama NAD mulai dipergunakan. Bagi elemen perjuangan, pemberian UU tersebut untuk Aceh lebih karena faktor politis meredam perjuangan GAM saat itu. Jadi, hanya sebagian kecil saja orang menerima UU tersebut, sementara sebagian besar rakyat Aceh saat itu menolak.
Sementara UU PA, meski masih banyak kekurangan di sana-sini, tapi itulah produk hukum yang sah untuk Aceh sekarang sebagai provinsi yang memiliki kekhasan dibanding provinsi lain di Indonesia. UU PA juga merupakan produk politik yang diperjuangkan bersama-sama. Karena itu, sudah sepatutnya UU tersebut digunakan, lebih-lebih pada penyebutan Aceh. Kita orang Aceh harus melawan sekuat tenaga terhadap pihak-pihak yang mencoba menghilangkan sebutan Aceh.
Jadi, sekali lagi, khususnya untuk kalangan pemerintah Aceh, berhentilah menggunakan istilah NAD. Sudah saatnya istilah Pemerintah Aceh dipopulerkan, karena di samping sesuai dengan UU, juga sudah mencerminkan kharakteristik ke-Aceh. Kiban, na pakat? (HA 060608)
Tags:
pojok