Hari Selasa (03/06/08) lalu, sebelum ke kantor, saya menyempatkan diri duduk di ruang tunggu kantor Wakil Gubernur Aceh. Bukan kebetulan saya ada di kantor itu, melainkan untuk menjenguk teman saya, Muhammad Nazar, sang Wakil Gubernur. Saya melihat tamu yang datang lumayan ramai. Mulai dari orang biasa, peminta-minta, sampai pengemis profesional. Tamu yang datang tanpa henti. Keluar satu, masuk satu (ada juga yang berkelompok). Ada yang minta diluluskan proposal program, ada juga yang minta rekom untuk menang sebuah tender.
Masa awal-awal pengesahan APBA memang seperti uroe raya kleng, bermacam-macam urusan orang datang ke kantor Gubernur. Kalau istilah orang mancing, inilah saatnya orang “jak rhueng kawe”: awalnya memasukan proposal ke kantor Gubernur, sekarang saatnya melihat dan memantau apakah proposal tersebut disetujui atau tidak. Jelasnya, apakah dana yang diajukan tersebut sudah cair atau belum.
Saya tak sempat melihat suasana di ruang kerja Gubernur, jadi saya tidak bisa menggambarkan bagaimana suasananya. Tapi, menurut kawan-kawan saya, suasananya juga sama. Orang yang datang menemui Gubernur juga tak pernah sepi: mulai dari mengadukan persoalan batas Gampong sampai masalah kayu. Pokoknya, bermacam-macam urusan lah.
Sementara, kemarin, saya hanya melihat sekilas suasana di ruang kerja Wakil Gubernur. Di ruang tamu, saya menemukan macam-macam urusan orang menemui Wagub. Saya juga melihat orang yang keluar dari kamar Wagub, hampir semuanya berwajah cerah. Saya tak tahu, apa masalah dia selesai atau tidak. Yang saya lihat, seutas senyum tersungging di bibir, dan pulang dengan sejuta harapan.
Lama berada di ruang tunggu itu, saya sempat menangkap kesan tak ramah dari beberapa karyawan di sana. Wajahnya kaku, dan tak ada kesan bersahabat. Saya melihat setiap tamu yang datang dipelotori dengan sinis. Ada kesan penjajahan dari mata mereka. Saya sendiri merasakan kesan seperti itu. Dari tatapan yang diarahkan kepada saya, saya seperti divonis sebagai pengemis, atau orang yang meminta-minta sumbangan.
Padahal, saya lihat sekilas, mereka seperti karyawan baru, atau malah belum punya SK pengangkatan. Saya sempat bertanya dalam hati: apa semua karyawan di kantor pemerintahan sombong-sombong, meski gaji pas-pasan? Apa yang mereka banggakan? Apakah bekerja di kantor pemerintah sesuatu yang luar biasa?
Tapi saya tak terlalu mempersoalkannya, itu hak mereka. Cuma kita berharap, kalau ada tamu yang datang (bukan hanya yang sudah dikenal), sapalah dengan ramah, lemparkan seutas senyum sebagai tanda persahabatan. Itu saja.
Saya memperhatikan mobilitas orang menemui Wagub (begitu juga dengan Gub), sangat tinggi. Saya maklum, sekarang lagi musim tender. Orang yang menemui Wagub (dan juga Gub) pasti terkait dengan tender. Kondisi serupa kita temui juga pada tahun anggaran sebelumnya, orang-orang juga ramai menemui Wagub, meski pada akhirnya, begitu semua proyek selesai, yang keluar sumpah serapah. Karena target untuk menjadi orang kaya baru (OKB) tidak kesampaian. Jak lom!(HA 050608)
Masa awal-awal pengesahan APBA memang seperti uroe raya kleng, bermacam-macam urusan orang datang ke kantor Gubernur. Kalau istilah orang mancing, inilah saatnya orang “jak rhueng kawe”: awalnya memasukan proposal ke kantor Gubernur, sekarang saatnya melihat dan memantau apakah proposal tersebut disetujui atau tidak. Jelasnya, apakah dana yang diajukan tersebut sudah cair atau belum.
Saya tak sempat melihat suasana di ruang kerja Gubernur, jadi saya tidak bisa menggambarkan bagaimana suasananya. Tapi, menurut kawan-kawan saya, suasananya juga sama. Orang yang datang menemui Gubernur juga tak pernah sepi: mulai dari mengadukan persoalan batas Gampong sampai masalah kayu. Pokoknya, bermacam-macam urusan lah.
Sementara, kemarin, saya hanya melihat sekilas suasana di ruang kerja Wakil Gubernur. Di ruang tamu, saya menemukan macam-macam urusan orang menemui Wagub. Saya juga melihat orang yang keluar dari kamar Wagub, hampir semuanya berwajah cerah. Saya tak tahu, apa masalah dia selesai atau tidak. Yang saya lihat, seutas senyum tersungging di bibir, dan pulang dengan sejuta harapan.
Lama berada di ruang tunggu itu, saya sempat menangkap kesan tak ramah dari beberapa karyawan di sana. Wajahnya kaku, dan tak ada kesan bersahabat. Saya melihat setiap tamu yang datang dipelotori dengan sinis. Ada kesan penjajahan dari mata mereka. Saya sendiri merasakan kesan seperti itu. Dari tatapan yang diarahkan kepada saya, saya seperti divonis sebagai pengemis, atau orang yang meminta-minta sumbangan.
Padahal, saya lihat sekilas, mereka seperti karyawan baru, atau malah belum punya SK pengangkatan. Saya sempat bertanya dalam hati: apa semua karyawan di kantor pemerintahan sombong-sombong, meski gaji pas-pasan? Apa yang mereka banggakan? Apakah bekerja di kantor pemerintah sesuatu yang luar biasa?
Tapi saya tak terlalu mempersoalkannya, itu hak mereka. Cuma kita berharap, kalau ada tamu yang datang (bukan hanya yang sudah dikenal), sapalah dengan ramah, lemparkan seutas senyum sebagai tanda persahabatan. Itu saja.
Saya memperhatikan mobilitas orang menemui Wagub (begitu juga dengan Gub), sangat tinggi. Saya maklum, sekarang lagi musim tender. Orang yang menemui Wagub (dan juga Gub) pasti terkait dengan tender. Kondisi serupa kita temui juga pada tahun anggaran sebelumnya, orang-orang juga ramai menemui Wagub, meski pada akhirnya, begitu semua proyek selesai, yang keluar sumpah serapah. Karena target untuk menjadi orang kaya baru (OKB) tidak kesampaian. Jak lom!(HA 050608)
Tags:
pojok