Saya tidak begitu tahu makna yang sebenarnya dari kata rabue ini. Hanya saja, orang yang peugah haba sikrak sapue sering disebut rabue. Ada juga yang menyebutkan rabue untuk orang yang pugah broh-broh putoh, sebuah kalimat yang sangat lucu kalau diterjemahkan. Pugah broh-broh putoh berarti bilang sampah-sampah putus—orang pasti bingung memahami kalimat ini—karena sangat lucu. Makanya, ada istilah atau ungkapan dalam bahasa Aceh yang tidak perlu diterjemahkan, cukup kita saja yang mengerti. Sebab, jikapun diterjemahkan, bobot sebuah ungkapan sering menjadi dangkal, dan kehilangan martabatnya sebagai sebuah kata.
Pascadamai—terbebas dari konflik—banyak orang Aceh disinyalir mengidap penyakit stres, kurang waras atau gila. Saya sendiri tidak begitu yakin dengan temuan tersebut. Tetapi jika benar, itulah efek samping dari sebuah konflik berkepanjangan, di mana sering melahirkan orang-orang stres, depresi atau terputus harapan hidupnya. Orang-orang ini yang potensial terkena penyakit rabue yaitu pugah haba sikrak sapue: bicara tak karuan dan tak jelas juntrungannya. Orang Jawa bilang bicara ngalor-ngidul.
Lalu, jika pascadamai banyak orang Aceh stres, depresi atau gila, berarti banyak orang Aceh yang sudah rabue? Tak ada hasil penelitian yang bisa kita rujuk. Hanya saja, kita bisa menandainya, bahwa orang rabue itu bicara tak henti, dari satu topik ke topik lainnya sering loncat tak karuan, sementara si pembicara sering tak tahu apa yang sudah diucapkannya. “Jeh, ka rabue dipugah haba, ka sikrak sapue,” begitu sering omelan orang terhadap orang yang sudah pugah haba sikrak sapue. Orang seperti ini positif dan layak disebut gila.
Nah, jika batasannya seperti itu berarti para jurkam (juru kampanye) saat pemilu atau pejabat saat berbicara pada suatu kesempatan sudah bisa dibilang rabue? Tidak juga, karena sangat tergantung isi pembicaraan. Jika pembicaraannya didengar masyarakat dan bermanfaat, berarti pendidikan politik. Tetapi, jika pernyataan sudah ‘merembes’ ke sana kemari, dan dia sendiri tak tahu lagi fokus pembicaraannya, kemudian tak tahu kapan harus berhenti, itu sudah bisa disebut rabue. Makanya, zaman sekarang sulit sekali menemukan sebuah kampanye yang berisi pesan politik, mencerahkan atau suatu pendidikan politik, sebab yang banyak dipraktekkan adalah haba broh putoh atau rabue. Karena itu, mereka sering dituduh mengidap penyakit sosial akut.
Satu lagi ciri dari orang rabue ini adalah omongannya tak bisa dipegang. Sebab, orang rabue ketika berbicara sama sekali tidak memperhitungkan efek sampingnya, imbas yang muncul, serta akibat yang diterima. Trus, dia sendiri juga tak ingat apa yang sudah diucapkannya. Para pejabat kan sering mengatakan sesuatu, dan selepas itu jadi lupa yang sudah diucapkan. Dengar saja setiap pejabat diwawancara oleh TV, selalu saja ada bahan dan janji yang diucapkan. Meski kita tahu itu cuma buat konsumsi publik. Rakyat tak pernah kenyang begitu mendengar omongan dan janji pejabat. Padahal yang disebut konsumsi biasanya menyangkut urusan di atas pusar (asoe pruet) atau di atas dada, yaitu umpuen takue (UT). Makanya, Nek Tu kita sering berpesan, jangan pernah percaya omongan pejabat, karena mereka ‘penipu’ kelas wahid.
Dengar juga setiap wartawan menyodorkan pertanyaan untuk pejabat tentang suatu masalah, pasti jawabnya, “oh itu…kita sudah kirim tim untuk menanganinya, dan akan diselesaikan segera.” Tetapi kata ‘segera’ bisa juga berarti lama, sampai bertahun-tahun. Sebab, banyak masyarakat yang mengadu masalah jalan rusak, jembatan rusak, drainase sumbat, tetapi tak pernah diperbaiki, meski tim sudah dikirim. Padahal, masyarakat sendiri tahu, kalau tim yang dikirim itu tak pernah sampai, seperti mirip sebuah surat yang tak jelas alamat.(HA 310708)
Pascadamai—terbebas dari konflik—banyak orang Aceh disinyalir mengidap penyakit stres, kurang waras atau gila. Saya sendiri tidak begitu yakin dengan temuan tersebut. Tetapi jika benar, itulah efek samping dari sebuah konflik berkepanjangan, di mana sering melahirkan orang-orang stres, depresi atau terputus harapan hidupnya. Orang-orang ini yang potensial terkena penyakit rabue yaitu pugah haba sikrak sapue: bicara tak karuan dan tak jelas juntrungannya. Orang Jawa bilang bicara ngalor-ngidul.
Lalu, jika pascadamai banyak orang Aceh stres, depresi atau gila, berarti banyak orang Aceh yang sudah rabue? Tak ada hasil penelitian yang bisa kita rujuk. Hanya saja, kita bisa menandainya, bahwa orang rabue itu bicara tak henti, dari satu topik ke topik lainnya sering loncat tak karuan, sementara si pembicara sering tak tahu apa yang sudah diucapkannya. “Jeh, ka rabue dipugah haba, ka sikrak sapue,” begitu sering omelan orang terhadap orang yang sudah pugah haba sikrak sapue. Orang seperti ini positif dan layak disebut gila.
Nah, jika batasannya seperti itu berarti para jurkam (juru kampanye) saat pemilu atau pejabat saat berbicara pada suatu kesempatan sudah bisa dibilang rabue? Tidak juga, karena sangat tergantung isi pembicaraan. Jika pembicaraannya didengar masyarakat dan bermanfaat, berarti pendidikan politik. Tetapi, jika pernyataan sudah ‘merembes’ ke sana kemari, dan dia sendiri tak tahu lagi fokus pembicaraannya, kemudian tak tahu kapan harus berhenti, itu sudah bisa disebut rabue. Makanya, zaman sekarang sulit sekali menemukan sebuah kampanye yang berisi pesan politik, mencerahkan atau suatu pendidikan politik, sebab yang banyak dipraktekkan adalah haba broh putoh atau rabue. Karena itu, mereka sering dituduh mengidap penyakit sosial akut.
Satu lagi ciri dari orang rabue ini adalah omongannya tak bisa dipegang. Sebab, orang rabue ketika berbicara sama sekali tidak memperhitungkan efek sampingnya, imbas yang muncul, serta akibat yang diterima. Trus, dia sendiri juga tak ingat apa yang sudah diucapkannya. Para pejabat kan sering mengatakan sesuatu, dan selepas itu jadi lupa yang sudah diucapkan. Dengar saja setiap pejabat diwawancara oleh TV, selalu saja ada bahan dan janji yang diucapkan. Meski kita tahu itu cuma buat konsumsi publik. Rakyat tak pernah kenyang begitu mendengar omongan dan janji pejabat. Padahal yang disebut konsumsi biasanya menyangkut urusan di atas pusar (asoe pruet) atau di atas dada, yaitu umpuen takue (UT). Makanya, Nek Tu kita sering berpesan, jangan pernah percaya omongan pejabat, karena mereka ‘penipu’ kelas wahid.
Dengar juga setiap wartawan menyodorkan pertanyaan untuk pejabat tentang suatu masalah, pasti jawabnya, “oh itu…kita sudah kirim tim untuk menanganinya, dan akan diselesaikan segera.” Tetapi kata ‘segera’ bisa juga berarti lama, sampai bertahun-tahun. Sebab, banyak masyarakat yang mengadu masalah jalan rusak, jembatan rusak, drainase sumbat, tetapi tak pernah diperbaiki, meski tim sudah dikirim. Padahal, masyarakat sendiri tahu, kalau tim yang dikirim itu tak pernah sampai, seperti mirip sebuah surat yang tak jelas alamat.(HA 310708)
Tags:
pojok