Pemilihan Umum (Pemilu) baru berlangsung pada 9 April tahun depan. Partai politik baik lokal maupun nasional tengah sibuk mempersiapkan diri, termasuk menjaring tokoh-tokoh penting yang mampu mendongkrak perolehan suara. Para pejabat publik, apakah itu Gubernur, Bupati atau Walikota, tak terlepas dari incaran partai. Mendapat dukungan pejabat publik, tak hanya menguntungkan secara politik maupun secara financial, namun juga mempermudah urusan setiap partai yang didukungnya. Tetapi, dukungan tersebut patut dipertanyakan, sebab, seorang pejabat publik haruslah berdiri di atas semua golongan dan kepentingan.
Seperti diberitakan Harian ini kemarin, Kamis (31/7), Bupati Aceh Utara, Ilyas A. Hamid, secara terbuka menyatakan dirinya di Partai Aceh (PA). “Saya Partai Aceh, saya nggak mungkin membelot ke partai lain,” ucap Bupati yang juga seorang petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pernyataan ini, diakui atau tidak, sarat dengan aroma kampanye seorang pejabat publik kepada rakyat yang dipimpinnya, meskipun tak berisi ajakan untuk memilih partai tersebut.
Pun demikian, ada juga yang menganggap pernyataan itu biasa-biasa saja. Seperti disampaikan Ketua Umum Partai Bersatu Atjeh (PBA), Ahmad Farhan Hamid, pernyataan Bupati Ilyas A. Hamid bukan suatu bentuk kampanye karena lebih kepada sosialisasi kepada publik. Lalu, masalahnya, jika pernyataan ini dipahami sebagai sosialisasi, kenapa mesti harus menyebutkan secara tegas salah satu partai? Bukankah lebih bijak jika Bupati meminta warga berpartisipasi dalam pemilu, dan meminta instansi terkait yang mengurusi masalah KTP Nasional segera menyelesaikan pembuatan KTP. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum memiliki KTP Nasional dan terancam tidak bisa Pemilu.
Soal partai mana yang didukung sang Bupati, tanpa dipertegas atau sosialisasi pun, masyarakat juga sudah tahu. Bupati Ilyas A. Hamid merupakan seorang petinggi GAM, yang maju lewat jalur independen. Tetapi, yang harus dipahami sekarang, posisi Ilyas A. Hamid adalah Bupati Aceh Utara dan harus memayungi semua partai politik yang ada di Aceh Utara. Ini penting diingat, agar tidak ada partai yang ‘diistimewakan’ dan ‘dianaktirikan’.
Dukungan Bupati kepada salah satu partai politik, bisa mengurangi kualitas demokrasi dalam bentuk pemilu. Padahal, kita berharap, Pemilu 2009 di Aceh yang melibatkan partai nasional dan lokal bisa memberi contoh bagaimana pesta demokrasi berlangsung secara fair, damai, dan tanpa cela. Jadi, tak hanya Komisi Independen Pemilihan (KIP), Panitia Pemilihan Kecamatan (KPK) dan Panwaslih/Panwaslu yang harus bersikap independen dan netral, melainkan juga para pejabat publik seperti Bupati, Walikota atau Gubernur.
Bagaimana jika langkah yang dilakukan Bupati Aceh Utara ini diikuti oleh Bupati-bupati lain yang berlatar belakang GAM? Bagaimana jika Gubernur, Wakil Gubernur juga melakukan hal yang sama? Sudah barang tentu, pesta demokrasi secara fair, jujur dan independen sulit diharapkan. Besar kemungkinan akan terjadi yang namanya politik plah trieng (belah bambu), di mana satu partai diberikan kebebasan, kemudahan dan fasilitas, sementara yang lainnya dibungkam dan malah diinjak.
Jika hal demikian terjadi, kita sama saja kembali kepada masa Orde Baru, ketika partai penguasa, Golkar, berlenggang sendirian, dan mempraktekkan politik kotor. Golkar yang didukung penguasa bebas melakukan semua cara, termasuk cara yang dilarang dilakukan oleh partai lain, memaksa dan mengintimidasi masyarakat agar memilih partai tersebut dengan didukung oleh militer. Hal yang sama bakal terjadi di Aceh, jika para pejabat publik tidak bisa bersikap netral. Sebab, pelaksanaan Pemilu 2009 sangat mirip dengan Pemilu pada masa Orde Baru, di mana praktik intimidasi atau pemaksaan salah satu partai kepada partai lain sulit untuk dihindari. Harapan Pemilu berkualitas bagai jauh panggang dari api. Para pemenang sudah bisa diketahui sebelum suara selesai dihitung. (HA 010808)
Seperti diberitakan Harian ini kemarin, Kamis (31/7), Bupati Aceh Utara, Ilyas A. Hamid, secara terbuka menyatakan dirinya di Partai Aceh (PA). “Saya Partai Aceh, saya nggak mungkin membelot ke partai lain,” ucap Bupati yang juga seorang petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pernyataan ini, diakui atau tidak, sarat dengan aroma kampanye seorang pejabat publik kepada rakyat yang dipimpinnya, meskipun tak berisi ajakan untuk memilih partai tersebut.
Pun demikian, ada juga yang menganggap pernyataan itu biasa-biasa saja. Seperti disampaikan Ketua Umum Partai Bersatu Atjeh (PBA), Ahmad Farhan Hamid, pernyataan Bupati Ilyas A. Hamid bukan suatu bentuk kampanye karena lebih kepada sosialisasi kepada publik. Lalu, masalahnya, jika pernyataan ini dipahami sebagai sosialisasi, kenapa mesti harus menyebutkan secara tegas salah satu partai? Bukankah lebih bijak jika Bupati meminta warga berpartisipasi dalam pemilu, dan meminta instansi terkait yang mengurusi masalah KTP Nasional segera menyelesaikan pembuatan KTP. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum memiliki KTP Nasional dan terancam tidak bisa Pemilu.
Soal partai mana yang didukung sang Bupati, tanpa dipertegas atau sosialisasi pun, masyarakat juga sudah tahu. Bupati Ilyas A. Hamid merupakan seorang petinggi GAM, yang maju lewat jalur independen. Tetapi, yang harus dipahami sekarang, posisi Ilyas A. Hamid adalah Bupati Aceh Utara dan harus memayungi semua partai politik yang ada di Aceh Utara. Ini penting diingat, agar tidak ada partai yang ‘diistimewakan’ dan ‘dianaktirikan’.
Dukungan Bupati kepada salah satu partai politik, bisa mengurangi kualitas demokrasi dalam bentuk pemilu. Padahal, kita berharap, Pemilu 2009 di Aceh yang melibatkan partai nasional dan lokal bisa memberi contoh bagaimana pesta demokrasi berlangsung secara fair, damai, dan tanpa cela. Jadi, tak hanya Komisi Independen Pemilihan (KIP), Panitia Pemilihan Kecamatan (KPK) dan Panwaslih/Panwaslu yang harus bersikap independen dan netral, melainkan juga para pejabat publik seperti Bupati, Walikota atau Gubernur.
Bagaimana jika langkah yang dilakukan Bupati Aceh Utara ini diikuti oleh Bupati-bupati lain yang berlatar belakang GAM? Bagaimana jika Gubernur, Wakil Gubernur juga melakukan hal yang sama? Sudah barang tentu, pesta demokrasi secara fair, jujur dan independen sulit diharapkan. Besar kemungkinan akan terjadi yang namanya politik plah trieng (belah bambu), di mana satu partai diberikan kebebasan, kemudahan dan fasilitas, sementara yang lainnya dibungkam dan malah diinjak.
Jika hal demikian terjadi, kita sama saja kembali kepada masa Orde Baru, ketika partai penguasa, Golkar, berlenggang sendirian, dan mempraktekkan politik kotor. Golkar yang didukung penguasa bebas melakukan semua cara, termasuk cara yang dilarang dilakukan oleh partai lain, memaksa dan mengintimidasi masyarakat agar memilih partai tersebut dengan didukung oleh militer. Hal yang sama bakal terjadi di Aceh, jika para pejabat publik tidak bisa bersikap netral. Sebab, pelaksanaan Pemilu 2009 sangat mirip dengan Pemilu pada masa Orde Baru, di mana praktik intimidasi atau pemaksaan salah satu partai kepada partai lain sulit untuk dihindari. Harapan Pemilu berkualitas bagai jauh panggang dari api. Para pemenang sudah bisa diketahui sebelum suara selesai dihitung. (HA 010808)
Tags:
editorial