Saat awal-awal tsunami dan damai diteken, di mobil-mobil NGO Asing kita sering melihat gambar senjata yang disilang. Maknanya, bisa macam-macam: tak boleh bawa senjata, tak boleh ditembak, tak boleh orang-orang bersenjata mendekat, tak boleh yang berbau kekerasan. Saat itu, sudah sama maklum bahwa senjata bukan lagi tanda damai.
Senjata, dimana pun adalah alat refresi, alat untuk membunuh, menakuti, menciptakan maop, dan alat untuk menyakiti. Bagi orang Aceh, senjata adalah musibah, siapapun yang memilikinya. Orang Aceh tidak takut sama TNI/Polri, GAM, Brimob atau orang-orang berseragam. Orang Aceh hanya takut sama senjata mereka. Tidak ada orang Aceh yang takut sama Hansip atau Satpam, karena mereka tak punya senjata.
Dulu, Napoleon Bonaparte, singa dari daratan Eropa mengatakan: Saya lebih takut sebatang pena daripada seribu senjata (atau pedang). Maksudnya, Napoleon lebih takut kepada wartawan ketimbang ribuan serdadu. Soalnya, senjata belum tentu mampu meruntuhkan kekuasaannya, tetapi hasil pena seorang wartawan bisa membuatnya tidak bisa tidur tenang. Tulisan seorang wartawan mampu membuat kekuasaannya jatuh.
Lalu, apa yang terjadi? Napoleon Bonaparte harus mengurangi surat kabar dari 13 buah menjadi empat buah saja, dan melarang pers mengkritik kebijakan pemerintah. Tapi, pada praktiknya, Napoleon tak hanya mengekang kebebasan pers dan melakukan sensor media, melainkan dengan segenap kekuasaannya, Napoleon memenjarakan wartawan dan membunuh kurang lebih 70 wartawan dengan penggal kepala di bawah guillotine.
Hal yang sama kemudian ikut mengilhami Soeharto, untuk memenjarakan, membredel dan mengontrol pers selama kekuasaannya. Begitu takutkah Soeharto kepada pers? Nyatanya, Soeharto tak takut pada pers, melainkan pada hilangnya kekuasaan yang sudah meninggikan status sosialnya, keluarganya, dan kroni-kroninya.
Ketakutan pada wartawan ternyata kita temukan lagi di Aceh, ketika statusnya tak lagi darurat. Seperti dilansir Harian ini, kemarin (23/7), dua oknum TNI menodongkan senjata terhadap empat orang wartawan: Ampelsa (Antara), Jaka Rasyid (Waspada), Baihaqi (Harian Aceh), dan Hotli Simanjuntak (Trans TV). Padahal, seharusnya, kerja todong-menodong bukan zamannya lagi ketika damai bersemi.
“Kejadian ini terjadi karena permasalahan miss-komunikasi antar kedua pihak…” ujar Letkol Wakhyono, Komandan Zeni Tempur 16 Dhika Anoraga. Pernyataan yang sangat enak didengar dan tanpa merasa berdosa. Trus, seperti disampaikan Dandim 0101 Aceh Besar, Letkol Fauzi, pelaku penodongan sudah diamankan.
Hah…hare gene masih ada istilah ‘amankan’!? Aneh. Bukankah kata-kata ‘amankan’ atau sejenisnya seperti ‘disekolahkan’, sudah tak cocok lagi zaman sekarang. Kata ‘amankan’, kalau dulu kan berarti: dihilangkan. Sementara, disekolahkan berarti dihabisi. Pertanyaan kita, benarkah oknum yang menodong wartawan sudah ‘dihilangkan?’, minimal diberikan sanksi disiplin, biar mereka ingat bahwa senjata bukan tanda damai. Kita tak yakin. (HA 240708)
Senjata, dimana pun adalah alat refresi, alat untuk membunuh, menakuti, menciptakan maop, dan alat untuk menyakiti. Bagi orang Aceh, senjata adalah musibah, siapapun yang memilikinya. Orang Aceh tidak takut sama TNI/Polri, GAM, Brimob atau orang-orang berseragam. Orang Aceh hanya takut sama senjata mereka. Tidak ada orang Aceh yang takut sama Hansip atau Satpam, karena mereka tak punya senjata.
Dulu, Napoleon Bonaparte, singa dari daratan Eropa mengatakan: Saya lebih takut sebatang pena daripada seribu senjata (atau pedang). Maksudnya, Napoleon lebih takut kepada wartawan ketimbang ribuan serdadu. Soalnya, senjata belum tentu mampu meruntuhkan kekuasaannya, tetapi hasil pena seorang wartawan bisa membuatnya tidak bisa tidur tenang. Tulisan seorang wartawan mampu membuat kekuasaannya jatuh.
Lalu, apa yang terjadi? Napoleon Bonaparte harus mengurangi surat kabar dari 13 buah menjadi empat buah saja, dan melarang pers mengkritik kebijakan pemerintah. Tapi, pada praktiknya, Napoleon tak hanya mengekang kebebasan pers dan melakukan sensor media, melainkan dengan segenap kekuasaannya, Napoleon memenjarakan wartawan dan membunuh kurang lebih 70 wartawan dengan penggal kepala di bawah guillotine.
Hal yang sama kemudian ikut mengilhami Soeharto, untuk memenjarakan, membredel dan mengontrol pers selama kekuasaannya. Begitu takutkah Soeharto kepada pers? Nyatanya, Soeharto tak takut pada pers, melainkan pada hilangnya kekuasaan yang sudah meninggikan status sosialnya, keluarganya, dan kroni-kroninya.
Ketakutan pada wartawan ternyata kita temukan lagi di Aceh, ketika statusnya tak lagi darurat. Seperti dilansir Harian ini, kemarin (23/7), dua oknum TNI menodongkan senjata terhadap empat orang wartawan: Ampelsa (Antara), Jaka Rasyid (Waspada), Baihaqi (Harian Aceh), dan Hotli Simanjuntak (Trans TV). Padahal, seharusnya, kerja todong-menodong bukan zamannya lagi ketika damai bersemi.
“Kejadian ini terjadi karena permasalahan miss-komunikasi antar kedua pihak…” ujar Letkol Wakhyono, Komandan Zeni Tempur 16 Dhika Anoraga. Pernyataan yang sangat enak didengar dan tanpa merasa berdosa. Trus, seperti disampaikan Dandim 0101 Aceh Besar, Letkol Fauzi, pelaku penodongan sudah diamankan.
Hah…hare gene masih ada istilah ‘amankan’!? Aneh. Bukankah kata-kata ‘amankan’ atau sejenisnya seperti ‘disekolahkan’, sudah tak cocok lagi zaman sekarang. Kata ‘amankan’, kalau dulu kan berarti: dihilangkan. Sementara, disekolahkan berarti dihabisi. Pertanyaan kita, benarkah oknum yang menodong wartawan sudah ‘dihilangkan?’, minimal diberikan sanksi disiplin, biar mereka ingat bahwa senjata bukan tanda damai. Kita tak yakin. (HA 240708)
Tags:
pojok