Kemarin (22/7), Harian Aceh melansir berita dari Menko Polhukam, bahwa Wali Nanggroe harus di bawah Gubernur. Tak ada kecaman dari Aceh. GAM atau KPA juga diam saja. Mereka sama sekali tak lagi terusik dengan pernyataan provokatif seperti itu. Tapi, lain soal jika pernyataan ini disampaikan beberapa tahun sebelumnya saat Aceh masih dibalut konflik, bakal banyak kecaman muncul dari GAM, sebab tokoh panutan yang sangat dimuliakan mereka (juga orang Aceh) ditempatkan pada posisi yang sangat rendah.
Merendahkan Wali Nanggroe—orang GAM sering menyebutnya Wali Neugara—sama dengan merendahkan perjuangan suci awak GAM, menghina ideologi yang dibawa Wali Nanggroe, dan menentang perjuangan Aceh secara keseluruhan. Lalu, kenapa sekarang tak ada kecaman atau cap pengkhianat untuk orang-orang yang sudah merendahkan Wali? Apakah Wali sudah ditinggalkan? Apakah awak GAM tak lagi peduli sama Wali? Padahal dulunya, peunutoh seorang Wali sangatlah sakral dan jadi titah yang mesti dilaksanakan.
Bagi saya, Wali tetaplah Wali. Karena dia telah membuka mata kita. Dia telah mengajarkan kita cara hidup dan bersikap, khususnya terhadap penjajahan. Keteguhan sikapnya layak diberi apresiasi yang cukup tinggi. Maksud saya, tak ada posisi yang pantas untuknya Aceh, karena kita tak bisa membandingkan pengorbanannya dengan sesuatu apapun. Maaf, saya tak bermaksud menghidupkan kembali ruh perjuangannya, karena kita sudah berdamai. Jadi, pahami tulisan saya pada koridor yang wajar, tak ada embel-embel apapun.
Jika Qanun Wali Nanggroe disetujui, dan posisi Wali Nanggroe di bawah Gubernur, saya ingin bertanya singkat saja: Maukah Wali Nanggroe dibawa pulang ke Aceh? Sulit menjawabnya. Meskipun Wali sangat ingin pulang ke Aceh, tetapi jika posisinya direndahkan, saya yakin beliau tidak akan mau pulang ke Aceh.
Gubernur Aceh sendiri saya yakin juga tidak sepakat jika posisi Wali di bawah Gubernur. Karena, dulu beberapa hari setelah dipastikan memenangi Pilkada, Irwandi Yusuf pernah mengatakan dirinya ingin membawa pulang Wali. Malah, pondopo (Meuligoe), tempat kediaman resmi Gubernur Aceh akan dijadikan sebagai tempat kediaman Wali nantinya jika pulang ke Aceh.
Jadi, saya membayangkan, posisi Wali pastilah lebih tinggi dari seorang Gubernur, meski nantinya terjadi dualisme kepemimpinan di Aceh. Tapi, problem demikian tak hanya akan terjadi di Aceh, sebab Yogyakarta juga menghadapi persoalan yang sama. Di sana, sedang dibahas posisi Parardhya, sejenis gelar untuk Sultan dan Paku Alam. Kamus Jawa Kuno Indonesia karya PJ Zoetmulder dan SO Robson menyebutkan Parardhya memiliki arti jumlah yang paling tinggi. Parardhya hampir sama dengan Wali Nanggroe di Aceh, sebuah institusi yang perlu ditinggikan.
Kenapa kita tak ingin posisi Wali direndahkan? Karena, orang Aceh pasti masih ingin mendengar titah: hai aneuk tadong beukong beuteuglong lagee geupula. (HA 230708)
Merendahkan Wali Nanggroe—orang GAM sering menyebutnya Wali Neugara—sama dengan merendahkan perjuangan suci awak GAM, menghina ideologi yang dibawa Wali Nanggroe, dan menentang perjuangan Aceh secara keseluruhan. Lalu, kenapa sekarang tak ada kecaman atau cap pengkhianat untuk orang-orang yang sudah merendahkan Wali? Apakah Wali sudah ditinggalkan? Apakah awak GAM tak lagi peduli sama Wali? Padahal dulunya, peunutoh seorang Wali sangatlah sakral dan jadi titah yang mesti dilaksanakan.
Bagi saya, Wali tetaplah Wali. Karena dia telah membuka mata kita. Dia telah mengajarkan kita cara hidup dan bersikap, khususnya terhadap penjajahan. Keteguhan sikapnya layak diberi apresiasi yang cukup tinggi. Maksud saya, tak ada posisi yang pantas untuknya Aceh, karena kita tak bisa membandingkan pengorbanannya dengan sesuatu apapun. Maaf, saya tak bermaksud menghidupkan kembali ruh perjuangannya, karena kita sudah berdamai. Jadi, pahami tulisan saya pada koridor yang wajar, tak ada embel-embel apapun.
Jika Qanun Wali Nanggroe disetujui, dan posisi Wali Nanggroe di bawah Gubernur, saya ingin bertanya singkat saja: Maukah Wali Nanggroe dibawa pulang ke Aceh? Sulit menjawabnya. Meskipun Wali sangat ingin pulang ke Aceh, tetapi jika posisinya direndahkan, saya yakin beliau tidak akan mau pulang ke Aceh.
Gubernur Aceh sendiri saya yakin juga tidak sepakat jika posisi Wali di bawah Gubernur. Karena, dulu beberapa hari setelah dipastikan memenangi Pilkada, Irwandi Yusuf pernah mengatakan dirinya ingin membawa pulang Wali. Malah, pondopo (Meuligoe), tempat kediaman resmi Gubernur Aceh akan dijadikan sebagai tempat kediaman Wali nantinya jika pulang ke Aceh.
Jadi, saya membayangkan, posisi Wali pastilah lebih tinggi dari seorang Gubernur, meski nantinya terjadi dualisme kepemimpinan di Aceh. Tapi, problem demikian tak hanya akan terjadi di Aceh, sebab Yogyakarta juga menghadapi persoalan yang sama. Di sana, sedang dibahas posisi Parardhya, sejenis gelar untuk Sultan dan Paku Alam. Kamus Jawa Kuno Indonesia karya PJ Zoetmulder dan SO Robson menyebutkan Parardhya memiliki arti jumlah yang paling tinggi. Parardhya hampir sama dengan Wali Nanggroe di Aceh, sebuah institusi yang perlu ditinggikan.
Kenapa kita tak ingin posisi Wali direndahkan? Karena, orang Aceh pasti masih ingin mendengar titah: hai aneuk tadong beukong beuteuglong lagee geupula. (HA 230708)
Tags:
pojok