Lalu, ketika tujuan sudah berbeda, masihkah ada jalan? Atau meskipun kita sudah tidur satu ranjang, tetapi mimpi kita sudah beda, masihkah kita punya harapan? Masihkah kita mampu merajut mimpi bersama lagi atau bisakah kita memulai lagi seperti disampaikan Stephen R Covey, “Mulailah dengan tujuan akhir.”
Saya sama sekali tak mengajak anda memberontak lagi, karena damai ternyata membuat kita lebih leluasa, tak lagi diliputi rasa takut. Begini, saya mau kasih satu bayangan saja, karena kita semua pasti pernah mengalaminya. Dulu, ketika konflik dan GAM sering membuat aksi seperti penghadangan, penembakan, atau menyandera. Tahu apa pernyataan yang keluar dari petinggi seperti Gubernur, Pangdam atau Kapolda? “Itu pelakunya kelompok kriminal, atau itu ulah gerakan pengacau liar,” ucap mereka serentak.
Tetapi, ketika sekarang riak-riak kecil muncul lagi, dan ada sekelompok orang membuat ulah, mengacaukan perdamaian, pihak petinggi, juga melakukan hal sama, “Itu ulah kriminal.” Saya hanya ingin mengatakan satu hal, kekuasaan tak hanya mengubah keadaan si pemangku kekuasaan, melainkan juga mengubah keyakinan yang dulu diyakininya. Orang yang sudah punya kekuasaan, sudah pasti sangat takut kekuasaannya menghilang.
Godaan kesenangan dan kenikmatan lebih menggiurkan ketimbang ilusi yang dulu pernah dihayalkan. Saya jadi berpikir, apa yang dulu dilakukan oleh Ibrahim Hasan, Syamsuddin Mahmud atau Abdullah Puteh yang sangat anti perjuangan GAM, pasti lebih didorong untuk merawat dan menjaga kekuasaannya. Mereka, sama sekali tak ingin kekuasaanya menghilang. Tak ada bedanya dengan keadaan sekarang, ketika pemangku kekuasaan beralih tangan.
Lalu, bisakah kita memulai lagi dengan tujuan akhir seperti disarankan Stephen R Covey, ketika tujuan kita sudah kabur? Jawabannya pasti sulit, meski bukan mustahil harapan itu masih ada. Karena, ada kultur dalam masyarakat kita, “bahpih tameh sarang-sareng nyang peunteng pateng dilop lam bara.” Kita boleh punya harapan dan tujuan berbeda, tetapi tujuan utama tak boleh dilupakan, karena itu ada dalam hati kita. (HA 210708) [sambungan dari Tujuan]
Saya sama sekali tak mengajak anda memberontak lagi, karena damai ternyata membuat kita lebih leluasa, tak lagi diliputi rasa takut. Begini, saya mau kasih satu bayangan saja, karena kita semua pasti pernah mengalaminya. Dulu, ketika konflik dan GAM sering membuat aksi seperti penghadangan, penembakan, atau menyandera. Tahu apa pernyataan yang keluar dari petinggi seperti Gubernur, Pangdam atau Kapolda? “Itu pelakunya kelompok kriminal, atau itu ulah gerakan pengacau liar,” ucap mereka serentak.
Tetapi, ketika sekarang riak-riak kecil muncul lagi, dan ada sekelompok orang membuat ulah, mengacaukan perdamaian, pihak petinggi, juga melakukan hal sama, “Itu ulah kriminal.” Saya hanya ingin mengatakan satu hal, kekuasaan tak hanya mengubah keadaan si pemangku kekuasaan, melainkan juga mengubah keyakinan yang dulu diyakininya. Orang yang sudah punya kekuasaan, sudah pasti sangat takut kekuasaannya menghilang.
Godaan kesenangan dan kenikmatan lebih menggiurkan ketimbang ilusi yang dulu pernah dihayalkan. Saya jadi berpikir, apa yang dulu dilakukan oleh Ibrahim Hasan, Syamsuddin Mahmud atau Abdullah Puteh yang sangat anti perjuangan GAM, pasti lebih didorong untuk merawat dan menjaga kekuasaannya. Mereka, sama sekali tak ingin kekuasaanya menghilang. Tak ada bedanya dengan keadaan sekarang, ketika pemangku kekuasaan beralih tangan.
Lalu, bisakah kita memulai lagi dengan tujuan akhir seperti disarankan Stephen R Covey, ketika tujuan kita sudah kabur? Jawabannya pasti sulit, meski bukan mustahil harapan itu masih ada. Karena, ada kultur dalam masyarakat kita, “bahpih tameh sarang-sareng nyang peunteng pateng dilop lam bara.” Kita boleh punya harapan dan tujuan berbeda, tetapi tujuan utama tak boleh dilupakan, karena itu ada dalam hati kita. (HA 210708) [sambungan dari Tujuan]
Tags:
pojok