Stephen R Covey, penulis buku 7 Habits of Highly Effective People (Tujuh Kebiasaan Efektif), memberi nasehat begini: Mulailah dengan tujuan akhir! Singkat saja nesehatnya, tapi penuh makna.
Saya jadi bertanya, tujuan kita sekarang apa? Atau kita tak punya tujuan lagi. Dulu, sebelum damai, kita punya tujuan yang sama: merdeka. Sekarang, ketika kita sudah komit tak lagi menuntut merdeka, apa tujuan kita?
Kita sekarang kan sudah berdamai. Ya, semua orang tahu kita sekarang sudah berdamai, lalu apa? Atau jangan-jangan di hati kita masih ada tujuan yang terpendam. Terserahlah, itu memang sudah tabiat manusia, tak hanya kita di Aceh.
Kita tentu saja sedih, di mana-mana aksi “kriminal” muncul lagi. Pelaku tak bisa kita bilang OTK (orang tak dikenal), karena bisa jadi ada orang yang mengenalnya. Tapi, karena kita sudah komit dengan damai, pelaku kekerasan harus dilihat sebagai kelompok kriminal. Dan lalu semua orang sepakat, bahwa pelaku aksi kekerasan seperti baru-baru ini di Beutong adalah kelompok kriminal.
Cuma, masalahnya, adakah aksi kriminal itu berdiri sendiri? Saya tak bermaksud mengatakan bahwa kelompok itu ada komandonya. Ada yang bilang aksi itu semacam ekpresi kekecewaan, karena kecewa terhadap pemerintahan sekarang, kecewa terhadap pimpinan, atau kecewa karena proses reintegrasi yang tersendat-sendat.
Atau, aksi itu murni karena tujuan sudah berbeda, lalu muncul aksi yang berbeda pula. Satu pihak sudah ingin berdamai, sementara ada kelompok sempalan (juga punya pengikut) yang tak menghendaki damai.
Bisa juga, mereka hanya korban atau bagian dari konspirasi besar menggagalkan proses demokrasi di Aceh. Semua orang percaya, bahwa kesuksesan pilkada di Aceh dengan kehadiran calon independen, sudah membuat system politik Indonesia berubah, karena semua daerah sekarang sudah berlaku calon independen, sesuai hasil revisi UU No.32/2004. Artinya, proses politik yang berjalan di Aceh membuat daerah lain cemburu dan lalu juga meminta hal yang sama.
Bisa saja dugaan saya salah. Tapi, rasanya cukup beralasan. Dalam sebuah obrolan ringan di warung kopi Solong, seorang tokoh partai lokal mengajukan kesimpulan demikian. Jika pemilu 2009 di Aceh dengan keikutsertaan parlok berlangsung damai, juga akan jadi contoh bagi daerah lain di luar Aceh. Mereka pasti akan meminta hal yang sama. Lalu, undang-undang mesti direvisi. Ketika semua daerah dibolehkan partai lokal, bukankah Indonesia sudah berubah jadi Negara federal? “Tapi kelompok nasionalis tak menerimanya,” ujar kawan saya.
Jadi, kita tak bisa mereduksi persoalan berupa pertarungan partai lokal dan partai nasional saat Pemilu 2009, melainkan terkait sistem politik Indonesia yang akan berubah jika proses demokrasi di Aceh berlangsung damai.
Makanya, kita jadi bertanya, apakah “bintik-bintik” konflik yang mulai disemai itu bertujuan mengacaukan pemilu di Aceh? Saya mencoba kasih bayangan begitu, tapi jangan salah paham dulu. Kenapa Beutong berdarah justru ketika Pangdam baru dilantik? Apakah ini juga ada hubungannya, saya tak tahu. Dari berita yang saya baca Pangdam IM yang baru berlatarbelakang Kopassus. Semoga yang say abaca salah.
“Tak mungkin militer berbuat demikian,” celutuk seorang teman menyadarkan lamunan saya. “KSAD kan sudah bilang tak ada penambahan pasukan di Aceh?” sambungnya lagi.
Mudah-mudahan keyakinan teman saya itu tak salah. Karena kita yakin, meski wuek tumpok hana sadum saat damai, semua orang masih berharap damai tetap terpelihara, dan mudah-mudahan permanen.
Namun, terlepas dari argumentasi di atas, saya justru yakin, munculnya persoalan di Aceh karena tujuan yang sudah tak lagi sama. “Watee di laot sapue pakat, watee troh u darat ka laen keunira (ketika di laut sama-sama, ketika sampai ke darat sudah lain ceritanya),” kata teman mengutip pepatah Aceh.
Ada juga yang bilang, tujuan yang berubah. Dulu, “hudep beusare mate beusajan, sikrak gaphan saboh keureunda (hidup bersama mati bersama, satu kafan satu kerenda),” tapi masalahnya sekarang, “saboh timphan hanjuet bagi dua (satu timphan-makanan khas Aceh-tidak boleh dibagi dua).” Atau “watee na bagian hanjuet bagi-bagi (kalau ada bagian tidak boleh dibagi).”
Soalnya, dulu ketika bersakit-sakit, saat tujuan masih sama, kita diajak untuk bermimpi yang sama. “Kita boleh saja tidur di kasur berbeda, tapi yang penting kita bermimpi dengan mimpi yang sama.” Anehnya, meski kita sekarang tidur di tempat tidur yang sama, ternyata mimpi kita sudah tak sama. Tujuan kita berbeda. Makanya, banyak orang beraksi dengan cara berbeda. Satu bertekad mengawal damai, yang lainnya justruk merusaknya. (HA 190708) [bersambung]
Saya jadi bertanya, tujuan kita sekarang apa? Atau kita tak punya tujuan lagi. Dulu, sebelum damai, kita punya tujuan yang sama: merdeka. Sekarang, ketika kita sudah komit tak lagi menuntut merdeka, apa tujuan kita?
Kita sekarang kan sudah berdamai. Ya, semua orang tahu kita sekarang sudah berdamai, lalu apa? Atau jangan-jangan di hati kita masih ada tujuan yang terpendam. Terserahlah, itu memang sudah tabiat manusia, tak hanya kita di Aceh.
Kita tentu saja sedih, di mana-mana aksi “kriminal” muncul lagi. Pelaku tak bisa kita bilang OTK (orang tak dikenal), karena bisa jadi ada orang yang mengenalnya. Tapi, karena kita sudah komit dengan damai, pelaku kekerasan harus dilihat sebagai kelompok kriminal. Dan lalu semua orang sepakat, bahwa pelaku aksi kekerasan seperti baru-baru ini di Beutong adalah kelompok kriminal.
Cuma, masalahnya, adakah aksi kriminal itu berdiri sendiri? Saya tak bermaksud mengatakan bahwa kelompok itu ada komandonya. Ada yang bilang aksi itu semacam ekpresi kekecewaan, karena kecewa terhadap pemerintahan sekarang, kecewa terhadap pimpinan, atau kecewa karena proses reintegrasi yang tersendat-sendat.
Atau, aksi itu murni karena tujuan sudah berbeda, lalu muncul aksi yang berbeda pula. Satu pihak sudah ingin berdamai, sementara ada kelompok sempalan (juga punya pengikut) yang tak menghendaki damai.
Bisa juga, mereka hanya korban atau bagian dari konspirasi besar menggagalkan proses demokrasi di Aceh. Semua orang percaya, bahwa kesuksesan pilkada di Aceh dengan kehadiran calon independen, sudah membuat system politik Indonesia berubah, karena semua daerah sekarang sudah berlaku calon independen, sesuai hasil revisi UU No.32/2004. Artinya, proses politik yang berjalan di Aceh membuat daerah lain cemburu dan lalu juga meminta hal yang sama.
Bisa saja dugaan saya salah. Tapi, rasanya cukup beralasan. Dalam sebuah obrolan ringan di warung kopi Solong, seorang tokoh partai lokal mengajukan kesimpulan demikian. Jika pemilu 2009 di Aceh dengan keikutsertaan parlok berlangsung damai, juga akan jadi contoh bagi daerah lain di luar Aceh. Mereka pasti akan meminta hal yang sama. Lalu, undang-undang mesti direvisi. Ketika semua daerah dibolehkan partai lokal, bukankah Indonesia sudah berubah jadi Negara federal? “Tapi kelompok nasionalis tak menerimanya,” ujar kawan saya.
Jadi, kita tak bisa mereduksi persoalan berupa pertarungan partai lokal dan partai nasional saat Pemilu 2009, melainkan terkait sistem politik Indonesia yang akan berubah jika proses demokrasi di Aceh berlangsung damai.
Makanya, kita jadi bertanya, apakah “bintik-bintik” konflik yang mulai disemai itu bertujuan mengacaukan pemilu di Aceh? Saya mencoba kasih bayangan begitu, tapi jangan salah paham dulu. Kenapa Beutong berdarah justru ketika Pangdam baru dilantik? Apakah ini juga ada hubungannya, saya tak tahu. Dari berita yang saya baca Pangdam IM yang baru berlatarbelakang Kopassus. Semoga yang say abaca salah.
“Tak mungkin militer berbuat demikian,” celutuk seorang teman menyadarkan lamunan saya. “KSAD kan sudah bilang tak ada penambahan pasukan di Aceh?” sambungnya lagi.
Mudah-mudahan keyakinan teman saya itu tak salah. Karena kita yakin, meski wuek tumpok hana sadum saat damai, semua orang masih berharap damai tetap terpelihara, dan mudah-mudahan permanen.
Namun, terlepas dari argumentasi di atas, saya justru yakin, munculnya persoalan di Aceh karena tujuan yang sudah tak lagi sama. “Watee di laot sapue pakat, watee troh u darat ka laen keunira (ketika di laut sama-sama, ketika sampai ke darat sudah lain ceritanya),” kata teman mengutip pepatah Aceh.
Ada juga yang bilang, tujuan yang berubah. Dulu, “hudep beusare mate beusajan, sikrak gaphan saboh keureunda (hidup bersama mati bersama, satu kafan satu kerenda),” tapi masalahnya sekarang, “saboh timphan hanjuet bagi dua (satu timphan-makanan khas Aceh-tidak boleh dibagi dua).” Atau “watee na bagian hanjuet bagi-bagi (kalau ada bagian tidak boleh dibagi).”
Soalnya, dulu ketika bersakit-sakit, saat tujuan masih sama, kita diajak untuk bermimpi yang sama. “Kita boleh saja tidur di kasur berbeda, tapi yang penting kita bermimpi dengan mimpi yang sama.” Anehnya, meski kita sekarang tidur di tempat tidur yang sama, ternyata mimpi kita sudah tak sama. Tujuan kita berbeda. Makanya, banyak orang beraksi dengan cara berbeda. Satu bertekad mengawal damai, yang lainnya justruk merusaknya. (HA 190708) [bersambung]
Tags:
pojok