Kemarin saya berjanji dengan seseorang untuk minum kopi bareng sehabis Shalat Subuh di kawasan Beurawe. Pada malamnya, saya sudah memastikan akan hadir. Tetapi, nyatanya saya tidak datang. Tegasnya, saya lupa. Namun, saya tidak ingat, apakah ketika berjanji dengannya sempat menyelipkan kata-kata Insya Allah atau tidak. Saya juga tidak tahu, apakah dia marah atau tidak karena saya tidak datang.
Tapi, ini bukan yang pertama. Sebelumnya, banyak kawan juga mengeluh atas sikap saya yang tidak tepat janji. Setiap berjanji mau ketemuan, selalu lupa, dan tidak ingat lagi jika saya pernah berjanji akan datang. Entah, itu sudah tabiat atau tidak, saya sendiri bingung. Sementara jika saya tidak berjanji akan datang, biasanya saya selalu datang. Trus, sudah kebiasaan saya tidak pernah merencanakan sesuatu sebelumnya. Jika memang mau ketemuan, ya tidak perlu pake rencana. Jika mau melakukan sesuatu tak pernah didahului dengan rencana.
Anehnya, saya selalu mencari pembenaran bahwa tindakan saya tidak salah, karena setiap berjanji tak lupa saya mengucapkan kata Insya Allah. Kalimat ini bisa jadi sangat populer, setelah Bismillah dan setelah Salam (Assalamu’alaikum). Sering diucapkan jika seseorang ingin melakukan sesuatu atau berjanji. Di Aceh malah sampai muncul pernyataan, pue Insya Allah ureung Aceh? Ketika seseorang mengatakan Insya Allah saat diundang atau diajak bertemu.
Saya sendiri sempat berfikir, apakah kata Insya Allah orang Aceh berbeda dengan Insya Allah yang diucapkan oleh orang lain dari belahan bumi manapun. Sebab, di Aceh, kata itu diucapkan jika seseorang tidak ingin (punya niat dalam hati) memenuhi janji. “Insya Allah orang Aceh hanjuet tapercaya,” ujar seorang kawan. Padahal kata Insya Allah semacam bentuk penyerahan urusan kepada Allah. Manusia kan hanya bisa merencanakan, sementara yang menentukan apakah rencana itu terlaksana atau tidak adalah Allah.
Allah juga mengingatkan ''Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu 'sesungguhnya aku akan mengerjakan esok,' kecuali (dengan mengucapkan) insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah 'mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.'' (QS Al-Kahfi: 23-24).
Arti Insya Allah sendiri dipahami sebagai ‘bila Allah menghendaki’. Jadi, pada prinsipnya, seseorang terlepas dari kewajiban memenuhi janji jika sudah mengucapkan kata Insya Allah. Tetapi, yang harus diingat, bukan disengaja atau khusus diniatkan dalam hati, saya tidak akan datang. Itu artinya sudah menyalahgunakan kata Insya Allah. Tentu salah.
Ada yang menyebutkan, kata Insya Allah, dipakai untuk menunjukkan janji yang longgar dan komitmen yang rendah. Artinya, kata Insya Allah hanyalah kata pemanis pengganti kata tidak janji. Huh…bukankah itu sama saja dengan menggunakan nama Allah untuk membenarkan alasan kita saja, tidak menepati janji seperti sering dilakukan oleh elit politik yang mengutip ayat-ayat Al Quran hanya untuk menghantam partai lainnya.
Jika kalimat Insya Allah dimengerti secara salah, juga bisa menggiring manusia sebagai penganut paham Fatalisme, artinya menganggap segala tindakan ditentukan oleh Allah. Ada yang mengatakan, paham seperti ini tidak tepat, sebab Allah memberikan manusia kebebasan untuk bertindak. Argumen para penentang paham ini juga masuk akal. Menurut mereka, jika seluruh perbuatan ditentukan oleh Allah, bagaimana seseorang mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Manusia, sudah pasti akan membela diri jika di Akhirat nanti Allah mencebloskan dirinya ke dalam neraka.
Ketika ngobrol sama teman bahwa saya sudah mengingkari janji, lupa untuk ketemu dengan seseorang tadi, sang teman secara spontan berucap. “Alah, nggak usah dipikirkan. Soekarno saja malah sampai bersumpah demi Allah saat berjanji memberikan kebebasan menjalankan Syariat Islam di Aceh, tapi kemudian mengingkarinya.”
Saya hanya tersenyum kecil. Bukankah semua pejabat juga pernah mengucapkan Insya Allah akan melakukan ini, melakukan itu…tetapi, ternyata omong kosong! (HA 290808)
Tapi, ini bukan yang pertama. Sebelumnya, banyak kawan juga mengeluh atas sikap saya yang tidak tepat janji. Setiap berjanji mau ketemuan, selalu lupa, dan tidak ingat lagi jika saya pernah berjanji akan datang. Entah, itu sudah tabiat atau tidak, saya sendiri bingung. Sementara jika saya tidak berjanji akan datang, biasanya saya selalu datang. Trus, sudah kebiasaan saya tidak pernah merencanakan sesuatu sebelumnya. Jika memang mau ketemuan, ya tidak perlu pake rencana. Jika mau melakukan sesuatu tak pernah didahului dengan rencana.
Anehnya, saya selalu mencari pembenaran bahwa tindakan saya tidak salah, karena setiap berjanji tak lupa saya mengucapkan kata Insya Allah. Kalimat ini bisa jadi sangat populer, setelah Bismillah dan setelah Salam (Assalamu’alaikum). Sering diucapkan jika seseorang ingin melakukan sesuatu atau berjanji. Di Aceh malah sampai muncul pernyataan, pue Insya Allah ureung Aceh? Ketika seseorang mengatakan Insya Allah saat diundang atau diajak bertemu.
Saya sendiri sempat berfikir, apakah kata Insya Allah orang Aceh berbeda dengan Insya Allah yang diucapkan oleh orang lain dari belahan bumi manapun. Sebab, di Aceh, kata itu diucapkan jika seseorang tidak ingin (punya niat dalam hati) memenuhi janji. “Insya Allah orang Aceh hanjuet tapercaya,” ujar seorang kawan. Padahal kata Insya Allah semacam bentuk penyerahan urusan kepada Allah. Manusia kan hanya bisa merencanakan, sementara yang menentukan apakah rencana itu terlaksana atau tidak adalah Allah.
Allah juga mengingatkan ''Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu 'sesungguhnya aku akan mengerjakan esok,' kecuali (dengan mengucapkan) insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah 'mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.'' (QS Al-Kahfi: 23-24).
Arti Insya Allah sendiri dipahami sebagai ‘bila Allah menghendaki’. Jadi, pada prinsipnya, seseorang terlepas dari kewajiban memenuhi janji jika sudah mengucapkan kata Insya Allah. Tetapi, yang harus diingat, bukan disengaja atau khusus diniatkan dalam hati, saya tidak akan datang. Itu artinya sudah menyalahgunakan kata Insya Allah. Tentu salah.
Ada yang menyebutkan, kata Insya Allah, dipakai untuk menunjukkan janji yang longgar dan komitmen yang rendah. Artinya, kata Insya Allah hanyalah kata pemanis pengganti kata tidak janji. Huh…bukankah itu sama saja dengan menggunakan nama Allah untuk membenarkan alasan kita saja, tidak menepati janji seperti sering dilakukan oleh elit politik yang mengutip ayat-ayat Al Quran hanya untuk menghantam partai lainnya.
Jika kalimat Insya Allah dimengerti secara salah, juga bisa menggiring manusia sebagai penganut paham Fatalisme, artinya menganggap segala tindakan ditentukan oleh Allah. Ada yang mengatakan, paham seperti ini tidak tepat, sebab Allah memberikan manusia kebebasan untuk bertindak. Argumen para penentang paham ini juga masuk akal. Menurut mereka, jika seluruh perbuatan ditentukan oleh Allah, bagaimana seseorang mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut. Manusia, sudah pasti akan membela diri jika di Akhirat nanti Allah mencebloskan dirinya ke dalam neraka.
Ketika ngobrol sama teman bahwa saya sudah mengingkari janji, lupa untuk ketemu dengan seseorang tadi, sang teman secara spontan berucap. “Alah, nggak usah dipikirkan. Soekarno saja malah sampai bersumpah demi Allah saat berjanji memberikan kebebasan menjalankan Syariat Islam di Aceh, tapi kemudian mengingkarinya.”
Saya hanya tersenyum kecil. Bukankah semua pejabat juga pernah mengucapkan Insya Allah akan melakukan ini, melakukan itu…tetapi, ternyata omong kosong! (HA 290808)
Tags:
pojok