Dalam hitungan hari, umat Islam akan menunaikan salah satu rukun Islam yaitu ibadah puasa. Puasa, sering diartikan sebagai menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa. Namun, saya hanya membatasi diri pada soal ‘menahan diri’saja. Soalnya, inilah sebenarnya substansi dari puasa yang sebenarnya. Meskipun kita yakini, ada hal-hal yang sebenarnya halal dilakukan pada siang hari, tapi karena ada aturan yang sudah ditetapkan hal tersebut jadi tidak boleh dilakukan, menjadi tidak halal lagi. Saya percaya, semua kita tahu apa yang saya maksudkan ini.
Tapi, saya jadi ingat kisah yang diceritakan teman saya. Ada temannya, sebut saja namanya Dokaha. Pada minggu lalu, dia bercerita ingin menghabiskan minggu terakhir sebelum masuk bulan Ramadhan dengan cara pergi ke laut bersama pacarnya. Minggu terakhir itu, sering disebut Rabu abeh. Entah bagaimana muncul istilah ini, belum ada penjelasan yang benar-benar dapat dijadikan pegangan. Saya sendiri, sebenarnya geli juga mendengarnya, sebab, bagi saya, yang disebut Rabu, ya hari Rabu, tidak bisa diganti dengan hari lain. Tapi ini beda, hari Minggu juga disebut Rabu abeh. Pue bhaih lom nyoe!
Menurut Dokaha, seperti diceritakan temannya, hari Minggu itulah kesempatan terakhirnya untuk bersenang-senang dengan sang pacar, tanpa merasa terganggu dengan aturan yang ada. Sebab, orang-orang di sekelilingnya tak ada yang mencemooh, karena semua orang menganggap hal itu wajar, sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika pun tidak wajar, pasti akan diwajar-wajarkan saja. Sementara, jika bersenang-senang pada bulan Ramadhan bersama sang pacar, apa kata WH?
Soal aturan yang membatasinya untuk bersenang-senang bersama pacar pada Ramadhan, juga dikritiknya. Menurutnya, Tuhan terlalu mengatur. “Aneh, Tuhan kok aturannya otoriter banget,” begitu protesnya suatu ketika, ketika diingatkan, semua aturan itu untuk kebaikan dia dan pacarnya juga.
Tapi, dasar orang hana troh syariat ke rumahnya, semua aturan Tuhan diprotesnya. Anehnya, Dokaha selalu punya segudang argument untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Suatu hari cerita teman saya, si Dokaha sudah mencoba meredefinisikan soal Dosa dan pahala. Pendapatnya, sungguh berbeda dengan pendapat ulama yang pernah kita dengar. Menurutnya, jika sebuah perbuatan jahat dilakukan dan pelakunya tidak merasa was-was, takut, dan tidak punya beban, perbuatan itu diberi ganjarang pahala. Tetapi, jika perbuatan baik seperti shalat, puasa atau naik haji, akan mendapatkan dosa apabila orang yang melakukannya merasa terbebani, tidak tenang, was-was dan muncul ketakutan. Karena menurutnya, beda perbuatan baik dan jahat tergantung pada efek bagi pelakunya, senang atau tidak senang.
Saya hanya senyum-senyum saja mendengar ‘fatwa’ baru Dokaha, teman dari teman saya. Namun, saya cuma mengatakan, bagaimana jika tokoh-tokoh partai politik melakukan black campaign saat ceramah Ramadhan, tetapi dia merasa senang setelah melakukannya? Kawan saya cuma diam. Dia sekedar bilang, alangkah indahnya jika para tokoh-tokoh partai bisa menahan diri, irit berbicara, dan tidak melakukan kampanye negatif terhadap kandidat partai lain. Tapi, apakah akan ada tokoh seperti itu? Sebab, sudah kebiasaan, jika bulan Ramadhan merupakan momen memperbaiki citra, seperti yang sering dilakukan pada artis di Jakarta: Alim Musiman. Bakal banyak politikus memanfaatkan Ramadhan untuk safari, ceramah keunoe-keudeh (ke sana-kemari)
Memasuki Ramadhan nanti, kita cuma bisa menyarankan, agar partai bisa menahan diri tidak mengumbar-umbar spanduk, bendera, atau umbul-umbul partai di sembarang tempat. Sebab, seperti kita tahu, ada warga yang alergi melihat umbul-umbul partai, yang over-meriah. Malah, ada yang pake umpat segala, “Pakon han dicok peng nyan dibantu aneuk yatim bak buluen puasa, nyoe doh diyue siram bak ujuen, diyue tot bak mata uroe.” Bagi warga, melihat umbul-umbul yang kelewat meriah, menggiring untuk update caci-maki dan sumpah serapah. Kan aneh, jika nanti gara-gara umbul-umbul partai membuat kualitas berpuasa warga jadi berkurang! (HA 280808)
Tapi, saya jadi ingat kisah yang diceritakan teman saya. Ada temannya, sebut saja namanya Dokaha. Pada minggu lalu, dia bercerita ingin menghabiskan minggu terakhir sebelum masuk bulan Ramadhan dengan cara pergi ke laut bersama pacarnya. Minggu terakhir itu, sering disebut Rabu abeh. Entah bagaimana muncul istilah ini, belum ada penjelasan yang benar-benar dapat dijadikan pegangan. Saya sendiri, sebenarnya geli juga mendengarnya, sebab, bagi saya, yang disebut Rabu, ya hari Rabu, tidak bisa diganti dengan hari lain. Tapi ini beda, hari Minggu juga disebut Rabu abeh. Pue bhaih lom nyoe!
Menurut Dokaha, seperti diceritakan temannya, hari Minggu itulah kesempatan terakhirnya untuk bersenang-senang dengan sang pacar, tanpa merasa terganggu dengan aturan yang ada. Sebab, orang-orang di sekelilingnya tak ada yang mencemooh, karena semua orang menganggap hal itu wajar, sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika pun tidak wajar, pasti akan diwajar-wajarkan saja. Sementara, jika bersenang-senang pada bulan Ramadhan bersama sang pacar, apa kata WH?
Soal aturan yang membatasinya untuk bersenang-senang bersama pacar pada Ramadhan, juga dikritiknya. Menurutnya, Tuhan terlalu mengatur. “Aneh, Tuhan kok aturannya otoriter banget,” begitu protesnya suatu ketika, ketika diingatkan, semua aturan itu untuk kebaikan dia dan pacarnya juga.
Tapi, dasar orang hana troh syariat ke rumahnya, semua aturan Tuhan diprotesnya. Anehnya, Dokaha selalu punya segudang argument untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Suatu hari cerita teman saya, si Dokaha sudah mencoba meredefinisikan soal Dosa dan pahala. Pendapatnya, sungguh berbeda dengan pendapat ulama yang pernah kita dengar. Menurutnya, jika sebuah perbuatan jahat dilakukan dan pelakunya tidak merasa was-was, takut, dan tidak punya beban, perbuatan itu diberi ganjarang pahala. Tetapi, jika perbuatan baik seperti shalat, puasa atau naik haji, akan mendapatkan dosa apabila orang yang melakukannya merasa terbebani, tidak tenang, was-was dan muncul ketakutan. Karena menurutnya, beda perbuatan baik dan jahat tergantung pada efek bagi pelakunya, senang atau tidak senang.
Saya hanya senyum-senyum saja mendengar ‘fatwa’ baru Dokaha, teman dari teman saya. Namun, saya cuma mengatakan, bagaimana jika tokoh-tokoh partai politik melakukan black campaign saat ceramah Ramadhan, tetapi dia merasa senang setelah melakukannya? Kawan saya cuma diam. Dia sekedar bilang, alangkah indahnya jika para tokoh-tokoh partai bisa menahan diri, irit berbicara, dan tidak melakukan kampanye negatif terhadap kandidat partai lain. Tapi, apakah akan ada tokoh seperti itu? Sebab, sudah kebiasaan, jika bulan Ramadhan merupakan momen memperbaiki citra, seperti yang sering dilakukan pada artis di Jakarta: Alim Musiman. Bakal banyak politikus memanfaatkan Ramadhan untuk safari, ceramah keunoe-keudeh (ke sana-kemari)
Memasuki Ramadhan nanti, kita cuma bisa menyarankan, agar partai bisa menahan diri tidak mengumbar-umbar spanduk, bendera, atau umbul-umbul partai di sembarang tempat. Sebab, seperti kita tahu, ada warga yang alergi melihat umbul-umbul partai, yang over-meriah. Malah, ada yang pake umpat segala, “Pakon han dicok peng nyan dibantu aneuk yatim bak buluen puasa, nyoe doh diyue siram bak ujuen, diyue tot bak mata uroe.” Bagi warga, melihat umbul-umbul yang kelewat meriah, menggiring untuk update caci-maki dan sumpah serapah. Kan aneh, jika nanti gara-gara umbul-umbul partai membuat kualitas berpuasa warga jadi berkurang! (HA 280808)
Tags:
pojok