Saat menulis status di facebook—situs jaringan sosial yang sedang ngetrend sekarang ini—bahwa saya sedang Buluet, seorang kawan iseng bertanya, buluet itu apa? Mendapat pertanyaan itu, saya sempat juga tersentak. Ini pertanyaan kritis namanya. Namun, ketersentakan saya tak bertahan lama, sebab, dengan modal ‘olah’ yang ada, saya mencoba menjelaskannya, laiknya seorang guru. Tapi, saya yakin dia percaya dengan penjelasan saya.
Buluet itu, kata saya, sebuah istilah untuk menyebutkan orang yang sedang kehujanan, di mana pakaiannya basah kuyub. Namun, ada tapi-nya. Nah, mengucapkan kata ‘tapi’ berarti gaya ‘olah’ sedang saya jalankan. Di Aceh, kata saya sok tahu—tapi jujur cuma di Aceh kata buluet dikenal—istilah buluet sering diberikan untuk orang yang rada-rada gila/pungo. Istilah buluet ini hampir sama juga dengan kata ‘hana katupue reudok’, atau ‘klo prip’. Sebuh istilah yang kadang-kadang kita sendiri geli mendengarnya, karena ada istilah yang tidak memiliki hubungan sedikit pun. Tapi, itulah letak daya khayal dan betapa kreatifnya orang Aceh dalam menciptakan sebuah istilah. Saya yakin, istilah ini bisa jadi lahir di bale jaga atau di warung-warung kopi.
Saya mencoba memahami kata buluet menurut perspektif saya sendiri. Mohon maaf, jika penjelasan saya sedikit menggurui, tapi ini murni untuk ‘peuteupat’ sebuah istilah yang telah hidup ratusan tahun. Saya sudah mencoba mencari tahu sama Google arti kata Buluet, tapi ada penjelasan yang memuaskan saya. Karena tak ada penjelasan dari Om Google, saya mencoba mengingat kejadian masa lalu.
Dulu, saat masih kecil, ketika sedang belajar di ruang sekolah, kami yang masih polos, dan punya keinginan untuk tahu setiap kejadian, dikejutkan oleh sebuah penampilan menarik, yang menurut guru saya, penampilan dari ureung pungo. Kami anak kecil, saat itu percaya saja yang disampaikan oleh sang guru. Sebab, dalam pikiran kami, guru itu lebih pintar dari kami, dan mereka serba tahu—meski ada juga guru yang marah jika ada pertanyaan aneh dari murid karena tak tahu bagaimana menjawabnya. Kami tak berani membantahnya.
Penampilan aneh yang saya lihat adalah ureung pungo tersebut berlari di jalan tanpa menggunakan celana dan baju. Telanjang bulat. Tanpa malu, ureung pungo itu, menenteng-nenteng ‘alat penakluk’ ke arah guru kami yang kebanyakan berjenis kelamin perempuan. “Biet-biet ureung pungo hana male,” mungkin pernyataan itu yang akan keluar, jika pemandangan itu saya lihat sekarang.
Saya jadi tahu, kalau bawaan ureung pungo memang seperti itu. Jalan ke sana kemari tak memakai pakaian, di mana setiap saat dibakar matahari, dan kalau hujan disiram oleh air yang jatuh dari langit. Mereka tak pernah berhenti atau berteduh jika kehujanan, dan membiarkan tubuhnya buluet (basah). Nasib mereka tak ubahnya seperti dalam bunyi lagu Naseb Pejuang karya Imum John, “tuboh ujuen rah, mata uroe tot”. Hanya saja, mereka dibapot di jalan-jalan Gampong, bukan di rimba.Jadi, wajar jika ureung pungo disebut juga ureung buluet. Soalnya, kehidupan mereka sudah superbebas, tak lagi terikat aturan.
Mereka layak disebut freeman, orang bebas. Ya…karena mereka tak lagi terikat dengan aturan hukum. Sebab, kepada mereka tidak wajib lagi shalat, puasa, haji, membayar zakat atau ketentuan agama lainnya. Ureung pungo sudah terputus dengan kewajiban-kewajiban agama, karena mereka sudah dianggap jasad yang masih berjalan. Jika mereka melempari orang di jalan, polisi pasti tidak akan menghukumnya, paling-paling dirujuk ke Jalan Kakap (lokasi Rumah Sakit Jiwa—RSJ).
Jika sudah dirujuk ke Jalan Kakap juga belum berubah, dan masih suka berulah yang membahayakan jiwa ureung pungo lain yang ada di Jalan Kakap, mereka akan diambil oleh keluarga untuk di-noek (dipasung).
Nah, bisa jadi istilah buluet diberikan karena ureung pungo, sering jalan ke sana kemari di jalan-jalan tanpa peduli hujan dan sengatan matahari. Mereka sering buluet, dan tak pernah berniat berteduh jika lagi hujan. (HA 030908)
Buluet itu, kata saya, sebuah istilah untuk menyebutkan orang yang sedang kehujanan, di mana pakaiannya basah kuyub. Namun, ada tapi-nya. Nah, mengucapkan kata ‘tapi’ berarti gaya ‘olah’ sedang saya jalankan. Di Aceh, kata saya sok tahu—tapi jujur cuma di Aceh kata buluet dikenal—istilah buluet sering diberikan untuk orang yang rada-rada gila/pungo. Istilah buluet ini hampir sama juga dengan kata ‘hana katupue reudok’, atau ‘klo prip’. Sebuh istilah yang kadang-kadang kita sendiri geli mendengarnya, karena ada istilah yang tidak memiliki hubungan sedikit pun. Tapi, itulah letak daya khayal dan betapa kreatifnya orang Aceh dalam menciptakan sebuah istilah. Saya yakin, istilah ini bisa jadi lahir di bale jaga atau di warung-warung kopi.
Saya mencoba memahami kata buluet menurut perspektif saya sendiri. Mohon maaf, jika penjelasan saya sedikit menggurui, tapi ini murni untuk ‘peuteupat’ sebuah istilah yang telah hidup ratusan tahun. Saya sudah mencoba mencari tahu sama Google arti kata Buluet, tapi ada penjelasan yang memuaskan saya. Karena tak ada penjelasan dari Om Google, saya mencoba mengingat kejadian masa lalu.
Dulu, saat masih kecil, ketika sedang belajar di ruang sekolah, kami yang masih polos, dan punya keinginan untuk tahu setiap kejadian, dikejutkan oleh sebuah penampilan menarik, yang menurut guru saya, penampilan dari ureung pungo. Kami anak kecil, saat itu percaya saja yang disampaikan oleh sang guru. Sebab, dalam pikiran kami, guru itu lebih pintar dari kami, dan mereka serba tahu—meski ada juga guru yang marah jika ada pertanyaan aneh dari murid karena tak tahu bagaimana menjawabnya. Kami tak berani membantahnya.
Penampilan aneh yang saya lihat adalah ureung pungo tersebut berlari di jalan tanpa menggunakan celana dan baju. Telanjang bulat. Tanpa malu, ureung pungo itu, menenteng-nenteng ‘alat penakluk’ ke arah guru kami yang kebanyakan berjenis kelamin perempuan. “Biet-biet ureung pungo hana male,” mungkin pernyataan itu yang akan keluar, jika pemandangan itu saya lihat sekarang.
Saya jadi tahu, kalau bawaan ureung pungo memang seperti itu. Jalan ke sana kemari tak memakai pakaian, di mana setiap saat dibakar matahari, dan kalau hujan disiram oleh air yang jatuh dari langit. Mereka tak pernah berhenti atau berteduh jika kehujanan, dan membiarkan tubuhnya buluet (basah). Nasib mereka tak ubahnya seperti dalam bunyi lagu Naseb Pejuang karya Imum John, “tuboh ujuen rah, mata uroe tot”. Hanya saja, mereka dibapot di jalan-jalan Gampong, bukan di rimba.Jadi, wajar jika ureung pungo disebut juga ureung buluet. Soalnya, kehidupan mereka sudah superbebas, tak lagi terikat aturan.
Mereka layak disebut freeman, orang bebas. Ya…karena mereka tak lagi terikat dengan aturan hukum. Sebab, kepada mereka tidak wajib lagi shalat, puasa, haji, membayar zakat atau ketentuan agama lainnya. Ureung pungo sudah terputus dengan kewajiban-kewajiban agama, karena mereka sudah dianggap jasad yang masih berjalan. Jika mereka melempari orang di jalan, polisi pasti tidak akan menghukumnya, paling-paling dirujuk ke Jalan Kakap (lokasi Rumah Sakit Jiwa—RSJ).
Jika sudah dirujuk ke Jalan Kakap juga belum berubah, dan masih suka berulah yang membahayakan jiwa ureung pungo lain yang ada di Jalan Kakap, mereka akan diambil oleh keluarga untuk di-noek (dipasung).
Nah, bisa jadi istilah buluet diberikan karena ureung pungo, sering jalan ke sana kemari di jalan-jalan tanpa peduli hujan dan sengatan matahari. Mereka sering buluet, dan tak pernah berniat berteduh jika lagi hujan. (HA 030908)
Tags:
pojok