Saat ibunya berpulang, umurnya masih 18 tahun. Malangnya, dia juga tak sempat melihat wajah ayu ibunya untuk terakhir kali, sebab kejadiannya sangat mendadak, dan di luar keinginannya. Ibunya meninggal dalam amukan tsunami yang melanda daratan Aceh tahun 2004, empat tahun silam.
Sebelumnya, dia juga jarang melihat ibunya, kecuali pas lebaran atau saat ibunya menjenguk dia di pesantren. Maklum, sejak SMP, Icut, demikian gadis bernama lengkap Cut Endang Puspa Sari ini biasa disapa, tinggal di Pesantren Jeumala Amal, Lueng Putu, Pidie Jaya. Tamat dari Jeumala tahun 2002, Icut melanjutkan ke Madrasah Aliyah Darunnajah, Jakarta. Waktu untuk bertemu ibunya juga sangat terbatas, karena ketatnya peraturan di pesantren. Baru saat liburan atau pada hari besar Islam saja, Icut bisa berkumpul dengan keluarganya, terutama ibunya. Itu pun jika ibunya tidak sibuk. Sebab, tahun 2002, aktivitas ibunya sebagai seorang aktivis dan pejuang sangat padat. Banyak waktunya dihabiskan dalam kancah perjuangan.
Ketika menempuh pendidikan di Jakarta, tak banyak kesempatan bagi gadis berkaca mata ini bertemu ibunya. Sebab, begitu Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) gagal pada medio 2003, ibunya dijebloskan ke dalam penjara, setelah ditangkap saat penggerebekan di Hotel Rajawali, tahun 2003. Sejak itu, ibunya resmi menjadi tahanan Polresta (sekarang Poltabes Banda Aceh), sebelum dipindahkan ke rumah tahanan di Lhoknga.
Sejak dipindahkan ke rumah tahanan tersebut, hari-hari indah Ibu Cut, laksana berhenti, digantikan dengan hari-hari suram. Kondisi ini yang dirasakan oleh keluarga, famili dan orang-orang yang satu perjuangannya dengannya.
“Andai waktu bisa berputar,” hanya kalimat lirih ini yang mampu dia ucapkan untuk mengingat almarhumah ibunya. Kalimat indah itu, kini terlukis indah di potret ibunya yang sedang tersenyum. Kata Cut, berita meninggal bundanya diketahui setelah 2 Minggu kejadian, melalui warga Lhoknga. Icut langsung pulang ke Aceh, setelah seminggu tsunami berlalu.
Kini, putri dari “Srikandi Referendum Aceh” Cut Nur Asikin ini sedang menimba ilmu di Mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar. Gadis yang menyukai bacaan Al Quran ini, sudah menduduki tingkat 4, atau tingkat akhir kuliah. Icut bercerita, perjuangannya kuliah ke Mesir termasuk berat. Pasalnya, saat berangkat tahun 2005 lalu, tak ada keluarganya yang setuju. Gadis berjilbab ini mengaku lari ke Mesir karena ingin menimba ilmu agama di sana.
“Lon Plueng,” jawab alumni Dayah Jeumala Amal, Lueng Putu tahun 2002 ini. Di sana, Icut ingin menenangkan jiwanya, yang sedang perih selepas ditinggal ibu tercinta. Dan, katanya, ketenangan itu hanya bisa didapatnya di Mesir, tanah kelahiran para ulama besar. Makanya, setamat dari Madrasah Aliyah Darunnajah, Jakarta tahun 2005, dirinya langsung terbang ke Mesir, bukan memilih kembali ke Aceh.
Di Mesir, Cut tinggal di Masakin Utsman Nasr City, Cairo. Jika pernah membaca novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) karya Habiburrahman El Shirazy, anda pasti tahu tentang Masakin Utsman. Sebab, di novel yang hendak diangkat ke layar lebar tersebut, Masakin Utsman disebut tempat tinggalnya Anna (tokoh utama wanita) dan Cut Mala, seorang wanita kelahiran Aceh.
Jika tak ada aral melintang, karya penulis Ayat-ayat Cinta ini juga akan mengikuti kesuksesan film Ayat-ayat Cinta yang fenomenal tersebut. Kini, film tersebut lagi proses audisi yang memilih figur yang tepat memerankan sosok Azzam dan Anna, serta pemain pendukung lainnya. Selain itu, para kru film tersebut sedang memilih tempat untuk lokasi syuting, yang menggambarkan kondisi seperti di dalam novel. Dan salah satu tempat yang bakal dipilih tersebut adalah Masakin Utsman.
“Bukan di dekat, tapi di rumah ini,” jawabnya saat ditanya, apa benar lokasi syuting Film Ketika Cinta Bertasbih tersebut dilakukan di dekat tempat tinggalnya sekarang.
Cewek berkacamata ini menuturkan, informasi bakal digunakan tempat tinggalnya sebagai lokasi syuting langsung dari sutradara film KCB, Chaerul Umam. Chaerul, kata Icut, sudah dua kali ke sana (Mesir). Saat itu, cerita Icut, si sutradara cuma bilang bahwa rumahnya nanti akan direnovasi agar cocok dengan nuansa di dalam novel. Pun begitu, lanjut Icut, ada teman-temannya yang nggak setuju rumahnya yang berbentuk Flat (sejenis apartemen) itu dipakai untuk lokasi syuting.
“Kalau rumahnya dipakai, kan harus dicat ulang, bikin ribet,” ujar Icut tentang alasan kenapa teman-temannya tidak setuju rumah mereka dipakai. Padahal, seperti dituturkan sang Sutradara kepadanya, yang dipakai cuma kamar sama ruang tamunya. Mereka (tim dari KCB) rencana akan menggunakan lokasi tersebut selama dua hari, untuk mengambil gambar 4 skets. “Mungkin setelah lebaran, mereka mulai melakukan syuting,” jelas gadis kelahiran Banda Aceh, 29 September 1987 silam menirukan perkataan Chaerul.
Menurut anak keempat dari pasangan H. Bahrumsyah dan Cut Nur Asikin ini, pemotretan di rumah tersebut dilakukan saat adegan Anna menerima telepon, adegan Anna dilamar, dan saat ngobrol bareng teman-temannya. “Begitu ceritanya kalau tidak salah,” kata gadis cantik berusia 21 tahun ini.
Cut yang sebentar lagi tamat kuliah, mengaku belum tahu ingin jadi apa ketika selesai kuliah nanti. Tapi, gadis yang menguasai Bahasa Arab dan Inggris ini akan mengikuti jejak ibunya, Cut Nur Asikin, jadi pengusaha sukses. “Ingin bikin hotel,” katanya singkat. Tak hanya itu, Cut ingin mengembangkan Yayasan Srikandi Aceh yang didirikan mamanya. Menurutnya, itulah yang bisa dilakukan untuk mengenang ibunya, yang terakhir ditemuinya di penjara, saat Idul Fitri tahun 2004, sebelum dipanggil oleh Allah dalam musibah tsunami, 26 Desember 2004. (HA 130908)
Sebelumnya, dia juga jarang melihat ibunya, kecuali pas lebaran atau saat ibunya menjenguk dia di pesantren. Maklum, sejak SMP, Icut, demikian gadis bernama lengkap Cut Endang Puspa Sari ini biasa disapa, tinggal di Pesantren Jeumala Amal, Lueng Putu, Pidie Jaya. Tamat dari Jeumala tahun 2002, Icut melanjutkan ke Madrasah Aliyah Darunnajah, Jakarta. Waktu untuk bertemu ibunya juga sangat terbatas, karena ketatnya peraturan di pesantren. Baru saat liburan atau pada hari besar Islam saja, Icut bisa berkumpul dengan keluarganya, terutama ibunya. Itu pun jika ibunya tidak sibuk. Sebab, tahun 2002, aktivitas ibunya sebagai seorang aktivis dan pejuang sangat padat. Banyak waktunya dihabiskan dalam kancah perjuangan.
Ketika menempuh pendidikan di Jakarta, tak banyak kesempatan bagi gadis berkaca mata ini bertemu ibunya. Sebab, begitu Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) gagal pada medio 2003, ibunya dijebloskan ke dalam penjara, setelah ditangkap saat penggerebekan di Hotel Rajawali, tahun 2003. Sejak itu, ibunya resmi menjadi tahanan Polresta (sekarang Poltabes Banda Aceh), sebelum dipindahkan ke rumah tahanan di Lhoknga.
Sejak dipindahkan ke rumah tahanan tersebut, hari-hari indah Ibu Cut, laksana berhenti, digantikan dengan hari-hari suram. Kondisi ini yang dirasakan oleh keluarga, famili dan orang-orang yang satu perjuangannya dengannya.
“Andai waktu bisa berputar,” hanya kalimat lirih ini yang mampu dia ucapkan untuk mengingat almarhumah ibunya. Kalimat indah itu, kini terlukis indah di potret ibunya yang sedang tersenyum. Kata Cut, berita meninggal bundanya diketahui setelah 2 Minggu kejadian, melalui warga Lhoknga. Icut langsung pulang ke Aceh, setelah seminggu tsunami berlalu.
Kini, putri dari “Srikandi Referendum Aceh” Cut Nur Asikin ini sedang menimba ilmu di Mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar. Gadis yang menyukai bacaan Al Quran ini, sudah menduduki tingkat 4, atau tingkat akhir kuliah. Icut bercerita, perjuangannya kuliah ke Mesir termasuk berat. Pasalnya, saat berangkat tahun 2005 lalu, tak ada keluarganya yang setuju. Gadis berjilbab ini mengaku lari ke Mesir karena ingin menimba ilmu agama di sana.
“Lon Plueng,” jawab alumni Dayah Jeumala Amal, Lueng Putu tahun 2002 ini. Di sana, Icut ingin menenangkan jiwanya, yang sedang perih selepas ditinggal ibu tercinta. Dan, katanya, ketenangan itu hanya bisa didapatnya di Mesir, tanah kelahiran para ulama besar. Makanya, setamat dari Madrasah Aliyah Darunnajah, Jakarta tahun 2005, dirinya langsung terbang ke Mesir, bukan memilih kembali ke Aceh.
Di Mesir, Cut tinggal di Masakin Utsman Nasr City, Cairo. Jika pernah membaca novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) karya Habiburrahman El Shirazy, anda pasti tahu tentang Masakin Utsman. Sebab, di novel yang hendak diangkat ke layar lebar tersebut, Masakin Utsman disebut tempat tinggalnya Anna (tokoh utama wanita) dan Cut Mala, seorang wanita kelahiran Aceh.
Jika tak ada aral melintang, karya penulis Ayat-ayat Cinta ini juga akan mengikuti kesuksesan film Ayat-ayat Cinta yang fenomenal tersebut. Kini, film tersebut lagi proses audisi yang memilih figur yang tepat memerankan sosok Azzam dan Anna, serta pemain pendukung lainnya. Selain itu, para kru film tersebut sedang memilih tempat untuk lokasi syuting, yang menggambarkan kondisi seperti di dalam novel. Dan salah satu tempat yang bakal dipilih tersebut adalah Masakin Utsman.
“Bukan di dekat, tapi di rumah ini,” jawabnya saat ditanya, apa benar lokasi syuting Film Ketika Cinta Bertasbih tersebut dilakukan di dekat tempat tinggalnya sekarang.
Cewek berkacamata ini menuturkan, informasi bakal digunakan tempat tinggalnya sebagai lokasi syuting langsung dari sutradara film KCB, Chaerul Umam. Chaerul, kata Icut, sudah dua kali ke sana (Mesir). Saat itu, cerita Icut, si sutradara cuma bilang bahwa rumahnya nanti akan direnovasi agar cocok dengan nuansa di dalam novel. Pun begitu, lanjut Icut, ada teman-temannya yang nggak setuju rumahnya yang berbentuk Flat (sejenis apartemen) itu dipakai untuk lokasi syuting.
“Kalau rumahnya dipakai, kan harus dicat ulang, bikin ribet,” ujar Icut tentang alasan kenapa teman-temannya tidak setuju rumah mereka dipakai. Padahal, seperti dituturkan sang Sutradara kepadanya, yang dipakai cuma kamar sama ruang tamunya. Mereka (tim dari KCB) rencana akan menggunakan lokasi tersebut selama dua hari, untuk mengambil gambar 4 skets. “Mungkin setelah lebaran, mereka mulai melakukan syuting,” jelas gadis kelahiran Banda Aceh, 29 September 1987 silam menirukan perkataan Chaerul.
Menurut anak keempat dari pasangan H. Bahrumsyah dan Cut Nur Asikin ini, pemotretan di rumah tersebut dilakukan saat adegan Anna menerima telepon, adegan Anna dilamar, dan saat ngobrol bareng teman-temannya. “Begitu ceritanya kalau tidak salah,” kata gadis cantik berusia 21 tahun ini.
Cut yang sebentar lagi tamat kuliah, mengaku belum tahu ingin jadi apa ketika selesai kuliah nanti. Tapi, gadis yang menguasai Bahasa Arab dan Inggris ini akan mengikuti jejak ibunya, Cut Nur Asikin, jadi pengusaha sukses. “Ingin bikin hotel,” katanya singkat. Tak hanya itu, Cut ingin mengembangkan Yayasan Srikandi Aceh yang didirikan mamanya. Menurutnya, itulah yang bisa dilakukan untuk mengenang ibunya, yang terakhir ditemuinya di penjara, saat Idul Fitri tahun 2004, sebelum dipanggil oleh Allah dalam musibah tsunami, 26 Desember 2004. (HA 130908)
Tags:
sosok