Perubahan yang terjadi di Aceh sangat luar biasa, seperti halnya kehancuran. Aceh perlahan-lahan, merangkak, menjadi daerah yang terbuka, jadi panutan, dan incaran orang-orang dari belahan dunia, dengan bermacam tujuan dan keinginan.
Kondisi seperti ini sangat terasa pascatsunami dan terhentinya konflik. Aceh yang semula ditutup rapat dan rapi, tiba-tiba jadi begitu liar, menerima bermacam pengaruh. Dari wilayah terisolasi, menjadi sangat terbuka dan kosmopolit. Dampaknya, dirasakan oleh orang-orang Aceh di kampung.
Melihat lalu-lalang orang-orang kulit putih, bukan lagi pemandangan asing bagi orang Aceh. Padahal, sepuluh tahun lalu, kehadiran orang dengan wajah asing, jadi tontotan menarik bagi orang Aceh. Wajah orang asing itu akan dilihat dengan seksama dan lama. Namun sekarang, hal seperti itu sudah jarang kita lihat—untuk tidak menyebutkan tidak ada lagi.
Lalu, ketika kondisi Aceh menjadi begitu dewasa, puaskah kita sekarang? Saat tinta tanda damai dibubuhi di lembaran-demi-lembaran MoU Helsinki, empat tahun silam, kondisi seperti inikah yang kita harapkan? Atau kalau boleh dipertajam, Aceh seperti sekarang inikah yang dulu kita harapkan bersama-sama?
Saya pikir, pertanyaan pesimis tersebut kini mengendap di kepala kita: ada yang berani mengeluarkannya dan berkembang jadi wacana, ada yang mendiamkan saja. Tetapi, yang pasti, Aceh jadi seperti hari ini, banyak orang yang ‘han ek kupike, kee!’
Saya ingat, pada malam Minggu, saat mengantarkan teman ke Lueng Bata, saya melewati jalan Tgk Panglima Nyak Makam, Lampineung. Malam itu bukan balapan cross yang saya melihat, melainkan adegan kekerasan. Beberapa personil tentara dengan pakaian seragam, ditambah topi baja, laiknya seperti saat konflik. Sementara di sisi satu lagi, beberapa personil polisi juga memakai seragam, ditambah baju antipeluru. Apakah kedua institusi yang dipisahkan pascareformasi itu sedang berperang? Ternyata bukan. Sebab, di tengah-tengah sedang berlangsung adegan kekerasan. Siapa yang dipukul dan memukul, tak ada informasi resmi. Koran-koran juga tidak memuatnya.
Sebelumnya, adegan kekerasan juga terjadi di kawasan Keudah, pascapemukulan anggota TNI yang ditangkap warga saat berada di sebuah salon. Setelah itu, giliran aksi balas dendam terjadi. Beberapa warga dilaporkan terpaksa dirawat secara intensif di rumah sakit. Lalu, kita pun jadi bertanya, apakah cerita konflik sudah mulai ditulis lagi?
Deretan aksi kekerasan masih bisa kita perpanjang lagi, di mana banyak berbuntuk pada kematian. Padahal, pasca MoU, angka kekerasan menurun drastis, dan warga yang meninggal karena aksi kekerasan sangat sedikit. Namun, sekarang, setiap hari kita disuguhkan korban meninggal karena tembakan atau aksi pembunuhan. Kita tentu saja terenyuh mendengarnya. Karena, ternyata kita tidak bisa merawat perdamaian.
Hal itu, belum lagi gesekan sesama partai lokal. Meski banyak pihak tak berani mengungkapkan ke public, tetapi praktik kekerasan atau intimidasi oleh ‘partai tentu’ (saya tidak terlalu menyukai sebutan ini), sering terjadi. Mendekati Pemilu, intensitasnya bakal meningkat tajam. Pertanyaan kita, Aceh damai seperti ini yang coba kita rajut? Di mana Aceh sudah dimaklumkan sebagai kawasan damai, tetapi tetap saja ada masyarakat yang meninggal.
Jangan-jangan, perdamaian Aceh hanyalah euphoria sesaat, sebab yang terjadi sebenarnya adalah kondisi Fascinatio—meminjam istilah Daniel Dhakidea (2003)— saat menggambarkan tentang cendekiawan, yaitu sesuatu yang menarik perhatian, pada gilirannya dalam makna asli justru mengandung dua arti sekaligus yaitu, selain dari sekedar menarik perhatian karena sangat memukau, akan tetapi juga mengandung arti kedua: hantu! Ya…perdamaian Aceh sekarang ini ibarat hantu. Menakutkan. (HA 160908)
Kondisi seperti ini sangat terasa pascatsunami dan terhentinya konflik. Aceh yang semula ditutup rapat dan rapi, tiba-tiba jadi begitu liar, menerima bermacam pengaruh. Dari wilayah terisolasi, menjadi sangat terbuka dan kosmopolit. Dampaknya, dirasakan oleh orang-orang Aceh di kampung.
Melihat lalu-lalang orang-orang kulit putih, bukan lagi pemandangan asing bagi orang Aceh. Padahal, sepuluh tahun lalu, kehadiran orang dengan wajah asing, jadi tontotan menarik bagi orang Aceh. Wajah orang asing itu akan dilihat dengan seksama dan lama. Namun sekarang, hal seperti itu sudah jarang kita lihat—untuk tidak menyebutkan tidak ada lagi.
Lalu, ketika kondisi Aceh menjadi begitu dewasa, puaskah kita sekarang? Saat tinta tanda damai dibubuhi di lembaran-demi-lembaran MoU Helsinki, empat tahun silam, kondisi seperti inikah yang kita harapkan? Atau kalau boleh dipertajam, Aceh seperti sekarang inikah yang dulu kita harapkan bersama-sama?
Saya pikir, pertanyaan pesimis tersebut kini mengendap di kepala kita: ada yang berani mengeluarkannya dan berkembang jadi wacana, ada yang mendiamkan saja. Tetapi, yang pasti, Aceh jadi seperti hari ini, banyak orang yang ‘han ek kupike, kee!’
Saya ingat, pada malam Minggu, saat mengantarkan teman ke Lueng Bata, saya melewati jalan Tgk Panglima Nyak Makam, Lampineung. Malam itu bukan balapan cross yang saya melihat, melainkan adegan kekerasan. Beberapa personil tentara dengan pakaian seragam, ditambah topi baja, laiknya seperti saat konflik. Sementara di sisi satu lagi, beberapa personil polisi juga memakai seragam, ditambah baju antipeluru. Apakah kedua institusi yang dipisahkan pascareformasi itu sedang berperang? Ternyata bukan. Sebab, di tengah-tengah sedang berlangsung adegan kekerasan. Siapa yang dipukul dan memukul, tak ada informasi resmi. Koran-koran juga tidak memuatnya.
Sebelumnya, adegan kekerasan juga terjadi di kawasan Keudah, pascapemukulan anggota TNI yang ditangkap warga saat berada di sebuah salon. Setelah itu, giliran aksi balas dendam terjadi. Beberapa warga dilaporkan terpaksa dirawat secara intensif di rumah sakit. Lalu, kita pun jadi bertanya, apakah cerita konflik sudah mulai ditulis lagi?
Deretan aksi kekerasan masih bisa kita perpanjang lagi, di mana banyak berbuntuk pada kematian. Padahal, pasca MoU, angka kekerasan menurun drastis, dan warga yang meninggal karena aksi kekerasan sangat sedikit. Namun, sekarang, setiap hari kita disuguhkan korban meninggal karena tembakan atau aksi pembunuhan. Kita tentu saja terenyuh mendengarnya. Karena, ternyata kita tidak bisa merawat perdamaian.
Hal itu, belum lagi gesekan sesama partai lokal. Meski banyak pihak tak berani mengungkapkan ke public, tetapi praktik kekerasan atau intimidasi oleh ‘partai tentu’ (saya tidak terlalu menyukai sebutan ini), sering terjadi. Mendekati Pemilu, intensitasnya bakal meningkat tajam. Pertanyaan kita, Aceh damai seperti ini yang coba kita rajut? Di mana Aceh sudah dimaklumkan sebagai kawasan damai, tetapi tetap saja ada masyarakat yang meninggal.
Jangan-jangan, perdamaian Aceh hanyalah euphoria sesaat, sebab yang terjadi sebenarnya adalah kondisi Fascinatio—meminjam istilah Daniel Dhakidea (2003)— saat menggambarkan tentang cendekiawan, yaitu sesuatu yang menarik perhatian, pada gilirannya dalam makna asli justru mengandung dua arti sekaligus yaitu, selain dari sekedar menarik perhatian karena sangat memukau, akan tetapi juga mengandung arti kedua: hantu! Ya…perdamaian Aceh sekarang ini ibarat hantu. Menakutkan. (HA 160908)
Tags:
pojok