Selama Ramadhan, para pejabat, tokoh, atau orang-orang penting ramai-ramai melakukan Safari Ramadhan. Seolah-olah safari ramadhan jadi kegiatan rutin yang mesti dilakukan dan menjadi trend baru selama bulan ramadhan.
Karena tidak ingin latah seperti halnya para politisi atau tokoh tersebut, saya mencoba membuka kamus Bahasa Indonesia untuk melihat arti safari. Ternyata, di dalam kamus tersebut, safari adalah perjalanan jauh. Karenanya, safari Ramadhan dapat diartikan perjalanan jauh selama bulan Ramadhan.
Lalu, apakah safari ramadhan yang selama ini dilakukan dapat disebut perjalanan jauh? Soalnya, sering juga pelaku safari ramadhan, umumnya dari kalangan pemerintahan melakukan safari ke masjid-masjid terdekat, dan tak bisa digolongkan jauh jika dihitung dari tempat tinggal pelaku safari.
Dulunya, ketika tiba bulan ramadhan, ‘pelaku safari’ pergi ke tempat jauh untuk menimba ilmu, mencari ketenangan beribadah sambil melihat kebesaran Allah, atau memilih menyendiri di goa-goa atau tempat-tempat yang dianggap bertuah. Safari ramadhan benar-benar dimaknai sebagai perjalanan jauh, atau menjauh dari keramaian orang atau manusia, dengan memilih mendekati Tuhan, sang pencipta.
Namun sekarang, safari pada momen ramadhan akhirnya tak ubah hanya sekedar rutinitas kunjungan dari satu desa ke desa lainnya, dari satu masjid ke masjid lainnya. Senyum sana-senyum sini. Berbicara dari satu panggung ke panggung lain, tanpa memberikan makna apapun, selain kepuasan untuk pelaku safari sendiri.
Jika kita pernah menyimak dakwah atau petuah agama dari para pelaku safari ramadhan, pesan-pesan agama mereka kerap diselilingi dengan haba cet langet yang membuat masyarakat pendengar seperti hidup di dalam bayang-bayang ilusi. Padahal, rakyat tak pernah kenyang hanya dengan memakan haba cet langet tersebut. Bukankah itu sama artinya para pelaku safari sudah menawarkan kebohongan demi kebohongan, karena dalam ceramah banyak diselilingi dengan janji-janji ‘kita akan melakukan ini, kita akan melakukan itu, tak lama lagi rakyat ‘mungkin’ akan menikmati kesejahteraan, dan ucapan-ucapan ‘akan’ dan ‘mungkin’ yang tak mampu kita hitung dari sebuah pembicaraan pelaku safari.
Saya sering membaca di media, bahwa di tempat lain, di daerah yang jauh, banyak politisi juga melakukan safari, sowan, atau silaturrahmi, tetapi, sering disebut dengan safari atau silaturrahmi politik. Kok, masalah politik selalu dibawa-bawa?
Di tempat kita ini juga tak ubahnya dengan di tempat lain, di mana safari ramadhan juga kental warna politiknya. Di sela-sela kegiatan sangat sering kita menemui orang-orang yang berbicara untuk kepentingan kelompoknya sendiri, dengan memanfaatkan medium dakwah. Pesan-pesan keagamaan sangat kurang ditemui, kecuali pesan politik, yang meminta dukungan para jamaah agar memilihnya saat Pemilu nanti. Hom hai.
Saya sendiri heran memahami kecenderungan masyarakat kita ini, seolah-olah kegiatan safari itu hanya ‘wajib’ dan ‘harus’ pada bulan Ramadhan saja. Akibatnya, keikhlasan menjadi sebuah pertanyaan, karena safari lebih dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan bahwa seseorang itu peduli pada nasib rakyat. Sementara di bulan lain, jangankan mengunjungi seperti halnya kegiatan safari, diundang saja untuk melihat kondisi masyarakat, banyak yang enggan melakukannya. Sebab, sekali kunjungan puluhan juta uang harus dikeluarkan dari kas negara—di mana kadang-kadang ikut disunat—dengan dalih biaya operasional.
Lalu, karena ada kegiatan safari, dalam hal pakaian juga mengikuti trend safari, seperti sering disebut ‘baju safari’ yang kesannya elitis, necis dan sok berwibawa. Kita jadi bertanya, apakah baju safari seperti itu merupakan pakaian ‘wajib’ dalam kegiatan safari? Entahlah.
Namun, selama ramadhan juga, kita mendengar kecenderungan safari para pejabat, diikuti oleh alat peledak yang disebut granat. Alat mematikan tersebut jadi ikut-ikutan melakukan safari. Seperti kita baca dari media, granat meledak dari tempat lalu menyebar, dan melakukan safari ke tempat lain. di mulai kantor Partai Aceh (PA) tingkat kecamatan yang digranat orang tak dikenal, setelah itu kantor PA di Bireuen, dan beberapa kantor PA di tempat lain. Beberapa hari kemudian, Partai SIRA Bireuen juga dibakar, entah oleh siapa dan untuk tujuan apa. Granat dan api sepertinya juga melakukan safari, safari politik. (HA 240908)
Lalu, apakah safari ramadhan yang selama ini dilakukan dapat disebut perjalanan jauh? Soalnya, sering juga pelaku safari ramadhan, umumnya dari kalangan pemerintahan melakukan safari ke masjid-masjid terdekat, dan tak bisa digolongkan jauh jika dihitung dari tempat tinggal pelaku safari.
Dulunya, ketika tiba bulan ramadhan, ‘pelaku safari’ pergi ke tempat jauh untuk menimba ilmu, mencari ketenangan beribadah sambil melihat kebesaran Allah, atau memilih menyendiri di goa-goa atau tempat-tempat yang dianggap bertuah. Safari ramadhan benar-benar dimaknai sebagai perjalanan jauh, atau menjauh dari keramaian orang atau manusia, dengan memilih mendekati Tuhan, sang pencipta.
Namun sekarang, safari pada momen ramadhan akhirnya tak ubah hanya sekedar rutinitas kunjungan dari satu desa ke desa lainnya, dari satu masjid ke masjid lainnya. Senyum sana-senyum sini. Berbicara dari satu panggung ke panggung lain, tanpa memberikan makna apapun, selain kepuasan untuk pelaku safari sendiri.
Jika kita pernah menyimak dakwah atau petuah agama dari para pelaku safari ramadhan, pesan-pesan agama mereka kerap diselilingi dengan haba cet langet yang membuat masyarakat pendengar seperti hidup di dalam bayang-bayang ilusi. Padahal, rakyat tak pernah kenyang hanya dengan memakan haba cet langet tersebut. Bukankah itu sama artinya para pelaku safari sudah menawarkan kebohongan demi kebohongan, karena dalam ceramah banyak diselilingi dengan janji-janji ‘kita akan melakukan ini, kita akan melakukan itu, tak lama lagi rakyat ‘mungkin’ akan menikmati kesejahteraan, dan ucapan-ucapan ‘akan’ dan ‘mungkin’ yang tak mampu kita hitung dari sebuah pembicaraan pelaku safari.
Saya sering membaca di media, bahwa di tempat lain, di daerah yang jauh, banyak politisi juga melakukan safari, sowan, atau silaturrahmi, tetapi, sering disebut dengan safari atau silaturrahmi politik. Kok, masalah politik selalu dibawa-bawa?
Di tempat kita ini juga tak ubahnya dengan di tempat lain, di mana safari ramadhan juga kental warna politiknya. Di sela-sela kegiatan sangat sering kita menemui orang-orang yang berbicara untuk kepentingan kelompoknya sendiri, dengan memanfaatkan medium dakwah. Pesan-pesan keagamaan sangat kurang ditemui, kecuali pesan politik, yang meminta dukungan para jamaah agar memilihnya saat Pemilu nanti. Hom hai.
Saya sendiri heran memahami kecenderungan masyarakat kita ini, seolah-olah kegiatan safari itu hanya ‘wajib’ dan ‘harus’ pada bulan Ramadhan saja. Akibatnya, keikhlasan menjadi sebuah pertanyaan, karena safari lebih dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan bahwa seseorang itu peduli pada nasib rakyat. Sementara di bulan lain, jangankan mengunjungi seperti halnya kegiatan safari, diundang saja untuk melihat kondisi masyarakat, banyak yang enggan melakukannya. Sebab, sekali kunjungan puluhan juta uang harus dikeluarkan dari kas negara—di mana kadang-kadang ikut disunat—dengan dalih biaya operasional.
Lalu, karena ada kegiatan safari, dalam hal pakaian juga mengikuti trend safari, seperti sering disebut ‘baju safari’ yang kesannya elitis, necis dan sok berwibawa. Kita jadi bertanya, apakah baju safari seperti itu merupakan pakaian ‘wajib’ dalam kegiatan safari? Entahlah.
Namun, selama ramadhan juga, kita mendengar kecenderungan safari para pejabat, diikuti oleh alat peledak yang disebut granat. Alat mematikan tersebut jadi ikut-ikutan melakukan safari. Seperti kita baca dari media, granat meledak dari tempat lalu menyebar, dan melakukan safari ke tempat lain. di mulai kantor Partai Aceh (PA) tingkat kecamatan yang digranat orang tak dikenal, setelah itu kantor PA di Bireuen, dan beberapa kantor PA di tempat lain. Beberapa hari kemudian, Partai SIRA Bireuen juga dibakar, entah oleh siapa dan untuk tujuan apa. Granat dan api sepertinya juga melakukan safari, safari politik. (HA 240908)
Tags:
pojok