Orang Aceh dikenal berwatak keras, teguh memegang pendirian, gemar berperang dan lain-lain. Setidaknya, begitulah kesimpulan beberapa penulis Belanda. Jika kita coba dalami dan telusuri kehidupan dan sejarah orang Aceh, memang begitu adanya. Tetapi, meski sudah identik berwatak keras, sebenarnya orang Aceh sangat lembut, ramah, terbuka dan mudah bergaul dengan siapa saja. Orang Aceh tahu kapan harus menampilkan watak keras, dan kapan pula berlemah-lembut.
Kesimpulan demikian, sangat mudah ditemui, terutama pada pepatah-pepatah yang sering kita dengar. Misalnya, “Ureung Aceh misue ka teupeh, bu lubeh han geupeutaba, tetapi misue hana teupeh—maaf—boh kreh juet taraba.” Pepatah ini tak hanya berlaku untuk orang luar saja yang ingin membangun hubungan dengan orang Aceh, melainkan untuk sesama orang Aceh. Bagi orang Aceh, siapa pun yang membuat luka, mengganggu, dan menyakiti mereka akan diperlakukan sebagai musuh.
Jika ada waktu coba perhatikan cara bicara orang Aceh dewasa ini, sebab, darii sinilah kita mengetahui bagaimana watak orang Aceh sebenarnya. Saya sempat merekam beberapa kata, yang menurut saya bisa menjadi kesimpulan bagaimana orang Aceh membuat sekat, mana yang disebut musuh dan mana yang tidak. Untuk kelompok mereka sendiri, orang Aceh cukup menyebutnya dengan “awak tanyoe atawa awak geutanyoe”, sementara pihak yang diperlakukan sebagai musuh, orang Aceh mengatakan, “nyan awak jeh atawa awak nyan.” Jika sudah dilabeli dengan 'awak nyan’ (sebuah penunjuk yang objeknya tidak jelas, bisa bermacam-cama, tergantung arah pembicaraan), maka orang tersebut sudah diposisikan bukan lagi sebagai kawan. Label ‘nyan’ dilekatkan kepada orang atau kelompok tertentu, di mana secara tidak langsung orang Aceh sudah menjaga jarak dengan mereka, dan cenderung menganggap mereka musuh.
Label itu sering diberikan oleh orang Aceh untuk mereka-mereka yang sudah memonopoli kebenaran, dan menganggap kebenaran ditentukan oleh mereka. Artinya, label itu diberikan untuk orang-orang yang disebutkan oleh ‘fatwa’ Nietzsche, “kekuatan adalah sejati, dan kebenaran adalah milik mereka yang punya kekuatan.” Bagi orang seperti ini, kebenaran dan ketidakbenaran menjadi tidak jelas lagi. Sebab, yang menentukan ukuran benar atau tidak bukan lagi kesepakatan umum, melainkan kuasa. Ya…mereka yang punya kuasa yang berhak mendefinisikan kebenaran.
Dulu saat konflik, jika kita pernah memperhatikan obrolan orang Aceh di Balee Jaga atau di Warong Kopi, kita pasti banyak mendapati ucapan-ucapan sebagai bentuk pembedaan antara musuh dan teman. Ketika mobil berkaca gelap lewat di suatu Gampong, orang Aceh langsung menyebut, ”Na lewat awak nyan saknyoe (ada lewat orang ’itu’ barusan).” Awak nyan di sini berarti anggota TNI atau Polri. Namun, ketika ada beberapa pemuda ’asing’ salat Subuh di sebuah Meunasah Gampong, di mana senjata AK-47 diletakkan di dekatnya, orang Aceh langsung menyebutnya, ”Nyan awak geutanyoe (Itu orang kita)”. Awak geutanyoe tersebut merujuk kepada anggota GAM.
Pertanyaan kita, bagaimana sekarang? Apakah sudah muncul perubahan paradigma di masyarakat Aceh, dalam menggunakan kata ’awak nyan’ atau belum? Di beberapa tempat, saya mendapati dan mulai merasakan munculnya perubahan paradigma tersebut. Saat duduk di sebuah warung kopi dan di Balee Jaga, di suatu Gampong, saya menangkap kesan, bahwa kata ”awak nyan” bukan lagi merujuk kepada TNI/Polri seperti saat konflik, melainkan untuk mantan GAM. Saya sendiri heran, kenapa paradigma orang Aceh begitu cepat berubah. Pasalnya, orang Aceh mulai menyebut anggota GAM dengan sebutan ’awak nyan’. Saya tidak tahu apakah GAM sekarang sudah berubah menjadi musuh orang Aceh? Saya sedikit ragu menjawab pertanyaan ini.
Pun begitu, saya mencoba mengaitkan perubahan paradigma orang Aceh dengan sifat orang Aceh yang punya perasaan halus, khusus dalam merasakan sesuatu, seperti halnya indra penciuman mereka, dalam menyebut bau. Sebuah bau, mampu diterjemahkan oleh orang Aceh lewat kata-kata seperti khieng, khop, khie, khoh, phong, banga, khep, syung, muhong, reunggi, dan bee masam. Kata-kata itu menunjukkan kehalusan orang Aceh dalam mencium sesuatu. Penggunaaan kata-kata itu disesuaikan dengan sifat bau dan sumber bau. Karena masing-masing bau bagi orang Aceh punya ciri khas tersendiri, dan sulit didefinisikan oleh orang-orang yang tidak memiliki indra penciuman yang halus dan tajam.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah kehalusan indra penciuman orang Aceh, memiliki hubungan dengan kemampuan mereka mengenali musuh, atau menempatkan suatu kelompok jadi musuh mereka? Saya tak tahu pasti. Namun, yang jelas, orang yang mengkhianati, menzalimi, menyakiti orang Aceh, maka orang tersebut akan langsung dilabeli oleh orang Aceh dengan sebutan ’awak nyan’. Jika sudah diberi label seperti itu, maka orang tersebut sudah diperlakukan musuh oleh orang Aceh. Entahlah! (HA 170908)
Jika ada waktu coba perhatikan cara bicara orang Aceh dewasa ini, sebab, darii sinilah kita mengetahui bagaimana watak orang Aceh sebenarnya. Saya sempat merekam beberapa kata, yang menurut saya bisa menjadi kesimpulan bagaimana orang Aceh membuat sekat, mana yang disebut musuh dan mana yang tidak. Untuk kelompok mereka sendiri, orang Aceh cukup menyebutnya dengan “awak tanyoe atawa awak geutanyoe”, sementara pihak yang diperlakukan sebagai musuh, orang Aceh mengatakan, “nyan awak jeh atawa awak nyan.” Jika sudah dilabeli dengan 'awak nyan’ (sebuah penunjuk yang objeknya tidak jelas, bisa bermacam-cama, tergantung arah pembicaraan), maka orang tersebut sudah diposisikan bukan lagi sebagai kawan. Label ‘nyan’ dilekatkan kepada orang atau kelompok tertentu, di mana secara tidak langsung orang Aceh sudah menjaga jarak dengan mereka, dan cenderung menganggap mereka musuh.
Label itu sering diberikan oleh orang Aceh untuk mereka-mereka yang sudah memonopoli kebenaran, dan menganggap kebenaran ditentukan oleh mereka. Artinya, label itu diberikan untuk orang-orang yang disebutkan oleh ‘fatwa’ Nietzsche, “kekuatan adalah sejati, dan kebenaran adalah milik mereka yang punya kekuatan.” Bagi orang seperti ini, kebenaran dan ketidakbenaran menjadi tidak jelas lagi. Sebab, yang menentukan ukuran benar atau tidak bukan lagi kesepakatan umum, melainkan kuasa. Ya…mereka yang punya kuasa yang berhak mendefinisikan kebenaran.
Dulu saat konflik, jika kita pernah memperhatikan obrolan orang Aceh di Balee Jaga atau di Warong Kopi, kita pasti banyak mendapati ucapan-ucapan sebagai bentuk pembedaan antara musuh dan teman. Ketika mobil berkaca gelap lewat di suatu Gampong, orang Aceh langsung menyebut, ”Na lewat awak nyan saknyoe (ada lewat orang ’itu’ barusan).” Awak nyan di sini berarti anggota TNI atau Polri. Namun, ketika ada beberapa pemuda ’asing’ salat Subuh di sebuah Meunasah Gampong, di mana senjata AK-47 diletakkan di dekatnya, orang Aceh langsung menyebutnya, ”Nyan awak geutanyoe (Itu orang kita)”. Awak geutanyoe tersebut merujuk kepada anggota GAM.
Pertanyaan kita, bagaimana sekarang? Apakah sudah muncul perubahan paradigma di masyarakat Aceh, dalam menggunakan kata ’awak nyan’ atau belum? Di beberapa tempat, saya mendapati dan mulai merasakan munculnya perubahan paradigma tersebut. Saat duduk di sebuah warung kopi dan di Balee Jaga, di suatu Gampong, saya menangkap kesan, bahwa kata ”awak nyan” bukan lagi merujuk kepada TNI/Polri seperti saat konflik, melainkan untuk mantan GAM. Saya sendiri heran, kenapa paradigma orang Aceh begitu cepat berubah. Pasalnya, orang Aceh mulai menyebut anggota GAM dengan sebutan ’awak nyan’. Saya tidak tahu apakah GAM sekarang sudah berubah menjadi musuh orang Aceh? Saya sedikit ragu menjawab pertanyaan ini.
Pun begitu, saya mencoba mengaitkan perubahan paradigma orang Aceh dengan sifat orang Aceh yang punya perasaan halus, khusus dalam merasakan sesuatu, seperti halnya indra penciuman mereka, dalam menyebut bau. Sebuah bau, mampu diterjemahkan oleh orang Aceh lewat kata-kata seperti khieng, khop, khie, khoh, phong, banga, khep, syung, muhong, reunggi, dan bee masam. Kata-kata itu menunjukkan kehalusan orang Aceh dalam mencium sesuatu. Penggunaaan kata-kata itu disesuaikan dengan sifat bau dan sumber bau. Karena masing-masing bau bagi orang Aceh punya ciri khas tersendiri, dan sulit didefinisikan oleh orang-orang yang tidak memiliki indra penciuman yang halus dan tajam.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah kehalusan indra penciuman orang Aceh, memiliki hubungan dengan kemampuan mereka mengenali musuh, atau menempatkan suatu kelompok jadi musuh mereka? Saya tak tahu pasti. Namun, yang jelas, orang yang mengkhianati, menzalimi, menyakiti orang Aceh, maka orang tersebut akan langsung dilabeli oleh orang Aceh dengan sebutan ’awak nyan’. Jika sudah diberi label seperti itu, maka orang tersebut sudah diperlakukan musuh oleh orang Aceh. Entahlah! (HA 170908)
Tags:
pojok