Sudah lama saya ingin mengomentari tentang Rancangan Undang-undang Pornografi atau pada awalnya bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Namun, baru sekarang niat itu terlaksana, setelah seorang kawan meminta dibuatkan review atas foto-foto yang sudah dimuat di blog-nya. Meski komentar ini tak mirip analisis akademik, karena hanya komentar ringan saja, tetapi mudah-mudahan bisa membuat kita merenung, tentang banyak hal yang tidak masuk akal di Negara kita yang katanya besar ini. Pembaca tak perlu membaca review ini selesai, karena saya hanya ingin memperlihatkan foto-foto hasil hunting teman saya, yang saya tampilkan di blog ini, tentu sini atas izin darinya.
Sebelum disahkan menjadi Undang-undang, RUU APP sudah marak diprotes oleh sejumlah aktivis, komunitas adat, penganut feminisme atau oleh orang-orang yang tidak setuju Negara terlalu mencampuri dan mengontrol soal moralitas kehidupan personal.
Memang, diakui atau tidak, di negeri ini, yang sering disebut Negara Bukan-bukan ini, hampir tak ada kebijakan Negara yang tidak diprotes oleh warganya. Entahlah, apakah memang daya kritis warga di sini sudah mulai muncul pasca-rontoknya kekuasaan Orde Baru, atau memang Negara yang tidak mengetahui kebutuhan fundamental masyarakat, atau tak mampu membangun sikap kompromis dengan semua warga Negara yang terkenal multi budaya dan multi etnik ini. Sehingga berbagai kebijakan membuahkan kutukan dan protes.
Apakah semua warga menolak RUU ini? Ternyata tak juga, sebab RUU ini disahkan jadi UU banyak juga pendukungnya, bahkan berasal dari lembaga yang gabthat, seperti MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir dan PKS. Malah, seperti pernah diberitakan, MUI dalam pernyataannya mengeluarkan komentar yang cukup keras, seperti ‘pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di Meseum’.
Saya sendiri agak ‘alergi’ juga mendengar komentar bernada memarjinalkan kelompok adat minoritas yang ada di Indonesia. Saya langsung terbayang pada chatting dengan seorang kawan, tentang kondisi suku Asmat di Papua. Menurutnya, Negara sudah berlaku sangat tidak adil jika UU ini disahkan, karena ada warga Negara yang sampai hari ini belum mengenal pakaian yang ‘sopan’ yang dikenakan para wakil rakyat di Senayan namun bermental bejat itu.
Alasannya sederhana saja, karena dalam masyarakat adat, memakai pakaian yang terbuka seperti terlihat dalam foto-foto yang saya lampirkan berikut ini, sama sekali tidak membangkitkan libido atau gairah seksual. Sebab, hal itu sudah biasa dan bukan masalah lagi.
Lalu, kita bertanya, apakah RUU Pornografi yang hendak disahkan menjadi UU Pornografi sesuai dan cocok untuk mereka? Atau apakah mereka membutuhkan UU seperti itu?
sumber foto: Cesillia Aida K
Sebelum disahkan menjadi Undang-undang, RUU APP sudah marak diprotes oleh sejumlah aktivis, komunitas adat, penganut feminisme atau oleh orang-orang yang tidak setuju Negara terlalu mencampuri dan mengontrol soal moralitas kehidupan personal.
Memang, diakui atau tidak, di negeri ini, yang sering disebut Negara Bukan-bukan ini, hampir tak ada kebijakan Negara yang tidak diprotes oleh warganya. Entahlah, apakah memang daya kritis warga di sini sudah mulai muncul pasca-rontoknya kekuasaan Orde Baru, atau memang Negara yang tidak mengetahui kebutuhan fundamental masyarakat, atau tak mampu membangun sikap kompromis dengan semua warga Negara yang terkenal multi budaya dan multi etnik ini. Sehingga berbagai kebijakan membuahkan kutukan dan protes.
Apakah semua warga menolak RUU ini? Ternyata tak juga, sebab RUU ini disahkan jadi UU banyak juga pendukungnya, bahkan berasal dari lembaga yang gabthat, seperti MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir dan PKS. Malah, seperti pernah diberitakan, MUI dalam pernyataannya mengeluarkan komentar yang cukup keras, seperti ‘pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di Meseum’.
Saya sendiri agak ‘alergi’ juga mendengar komentar bernada memarjinalkan kelompok adat minoritas yang ada di Indonesia. Saya langsung terbayang pada chatting dengan seorang kawan, tentang kondisi suku Asmat di Papua. Menurutnya, Negara sudah berlaku sangat tidak adil jika UU ini disahkan, karena ada warga Negara yang sampai hari ini belum mengenal pakaian yang ‘sopan’ yang dikenakan para wakil rakyat di Senayan namun bermental bejat itu.
Alasannya sederhana saja, karena dalam masyarakat adat, memakai pakaian yang terbuka seperti terlihat dalam foto-foto yang saya lampirkan berikut ini, sama sekali tidak membangkitkan libido atau gairah seksual. Sebab, hal itu sudah biasa dan bukan masalah lagi.
Lalu, kita bertanya, apakah RUU Pornografi yang hendak disahkan menjadi UU Pornografi sesuai dan cocok untuk mereka? Atau apakah mereka membutuhkan UU seperti itu?
sumber foto: Cesillia Aida K
Tags:
serba serbi