Kemarin, Minggu (12/10) seorang kawan, memberi PR yang menurutku cukup berat, yaitu minta dibuatkan dua buah puisi. Aku sempat terperangah dan tegang, saat pertama mendengarnya. Aku diminta menulis puisi? Apa tidak salah! Sebab, sudah sangat lama tak pernah lagi menulis puisi. Seingatku, menulis puisi adalah pekerjaan yang sering kulakukan ketika masih sekolah di MAN 1 Sigli. Saat itu, aku sering mengirimkannya ke Waspada, dan dimuat di rubrik ABAKADABRA.
Ketika kuliah, aku hampir tak pernah lagi menulis puisi atau juga cerpen. Aku merasa bangga dan puas jika sukses menulis artikel, dan dimuat di Harian Serambi Indonesia. Sebab, saat itu menulis Opini di Serambi terbilang ‘hebat’ karena tak semua orang dimuat tulisannya, sangat berbeda dengan sekarang. Ada seleksi ketat yang dilakukan, dan tak sembarang artikel masuk di rubrik opini tersebut. Beruntung, semester dua kuliah, aku sudah bisa ‘menempelkan’ nama di rubrik Opini. Sementara sekarang, jika tulisan kita dimuat, sama sekali tak membuat kita bangga, sebab sudah sangat mudah menulis opini di Serambi, selain tak ada lagi seleksi ketat dan pertimbangan aktualitas atau orisinilitas tulisan, juga dengan memiliki kedekatan dengan sang redaktur, tak sulit tulisan kita termuat. Benar-benar tanpa kompetisi.
Tapi bukan itu yang hendak aku ungkapkan. Mendapatkan PR menulis puisi, membuatku seperti ditantang. Sebab, menulis puisi bagiku jadi pekerjaan yang sulit, sama sulitnya seperti diminta memindahkan sebuah gunung ke laut. Mustahil bisa kulakukan.
Namun, karena tak ingin mengecewakannya, saya terpaksa melawan rasa kantuk yang berat, dan menulis puisi melalui tombol-tombol HP yang keras. Akhirnya, jadilah puisi ini, meski tak layak disebut puisi. Ada kepuasan batin, karena sudah menyenangkan seorang kawan.
Cinta Mati
Mencintaimu, kasih…
Seperti menemukan syurga
Menemukan impian Adam yang lama menghilang
Mendapatkan cintamu, kasih…
Laksana kafilah menemukan oase di gurun pasir
Menghapuskan dahaga yang terpendam
Hilangkan sakit yang menyiksa
Memilikimu, sayang…
Anugerah terindah dari pencipta
Tak tergantikan walau dunia menyembah pasrah
Melepaskanmu, sayang…
Dosa yang tak terampunkan
Walau bibir tak henti menggelorakan doa-doa
Sayang, bencimu adalah kutukan
Nista dan prahara
Bencimu pertanda duka
Kau boleh meragukan bulan yang menipu
Bopeng
Mentari yang merah saga
Tapi, cintaku tak boleh kau ragukan
Seperti cinta Romea pada Juliet
Cinta yang dibawa sampai mati
Kau boleh saja meragukan cinta
Atau membencinya
Sebab aku hanya memintamu tersenyum
Senyum yang menghapus dahaga
Peurada, 131008; 03.14
Oh, Malam!
Apa yang kau ragukan saat malam sepi menyendiri
Mimpi tak bertepi
Jantung berhenti berdetak
Dan nafas tak lagi mendesah?
Puaskah kau pada malam yang panjang
Mata tak terpejam
Jasad tak sempurna
Dan lafaz cinta tak lagi bermakna?
Oh, malam yang sepi…oh!
Lupakah kau pada angin yang tak berhenti bertiup
Pada bulan, pada bintang
Dan pada api yang menghanguskan kayu bakar
Api yang membakar cintaku, cintamu dan cinta mereka yang lelah bercinta?
Malam yang sepi
Angin yang menghembuskan
Api yang membakar
Dengarlah…
Cintaku tak terbalas
Peurada, 131008; 03.21
Ketika kuliah, aku hampir tak pernah lagi menulis puisi atau juga cerpen. Aku merasa bangga dan puas jika sukses menulis artikel, dan dimuat di Harian Serambi Indonesia. Sebab, saat itu menulis Opini di Serambi terbilang ‘hebat’ karena tak semua orang dimuat tulisannya, sangat berbeda dengan sekarang. Ada seleksi ketat yang dilakukan, dan tak sembarang artikel masuk di rubrik opini tersebut. Beruntung, semester dua kuliah, aku sudah bisa ‘menempelkan’ nama di rubrik Opini. Sementara sekarang, jika tulisan kita dimuat, sama sekali tak membuat kita bangga, sebab sudah sangat mudah menulis opini di Serambi, selain tak ada lagi seleksi ketat dan pertimbangan aktualitas atau orisinilitas tulisan, juga dengan memiliki kedekatan dengan sang redaktur, tak sulit tulisan kita termuat. Benar-benar tanpa kompetisi.
Tapi bukan itu yang hendak aku ungkapkan. Mendapatkan PR menulis puisi, membuatku seperti ditantang. Sebab, menulis puisi bagiku jadi pekerjaan yang sulit, sama sulitnya seperti diminta memindahkan sebuah gunung ke laut. Mustahil bisa kulakukan.
Namun, karena tak ingin mengecewakannya, saya terpaksa melawan rasa kantuk yang berat, dan menulis puisi melalui tombol-tombol HP yang keras. Akhirnya, jadilah puisi ini, meski tak layak disebut puisi. Ada kepuasan batin, karena sudah menyenangkan seorang kawan.
Cinta Mati
Mencintaimu, kasih…
Seperti menemukan syurga
Menemukan impian Adam yang lama menghilang
Mendapatkan cintamu, kasih…
Laksana kafilah menemukan oase di gurun pasir
Menghapuskan dahaga yang terpendam
Hilangkan sakit yang menyiksa
Memilikimu, sayang…
Anugerah terindah dari pencipta
Tak tergantikan walau dunia menyembah pasrah
Melepaskanmu, sayang…
Dosa yang tak terampunkan
Walau bibir tak henti menggelorakan doa-doa
Sayang, bencimu adalah kutukan
Nista dan prahara
Bencimu pertanda duka
Kau boleh meragukan bulan yang menipu
Bopeng
Mentari yang merah saga
Tapi, cintaku tak boleh kau ragukan
Seperti cinta Romea pada Juliet
Cinta yang dibawa sampai mati
Kau boleh saja meragukan cinta
Atau membencinya
Sebab aku hanya memintamu tersenyum
Senyum yang menghapus dahaga
Peurada, 131008; 03.14
Oh, Malam!
Apa yang kau ragukan saat malam sepi menyendiri
Mimpi tak bertepi
Jantung berhenti berdetak
Dan nafas tak lagi mendesah?
Puaskah kau pada malam yang panjang
Mata tak terpejam
Jasad tak sempurna
Dan lafaz cinta tak lagi bermakna?
Oh, malam yang sepi…oh!
Lupakah kau pada angin yang tak berhenti bertiup
Pada bulan, pada bintang
Dan pada api yang menghanguskan kayu bakar
Api yang membakar cintaku, cintamu dan cinta mereka yang lelah bercinta?
Malam yang sepi
Angin yang menghembuskan
Api yang membakar
Dengarlah…
Cintaku tak terbalas
Peurada, 131008; 03.21
Tags:
puisi