Jika tak ada aral melintang, proklamator dan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan Tiro, yang selama ini bermukim di Swedia direncanakan akan pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Kepulangan Hasan Tiro disebut-sebut murni atas keinginannya sendiri, dan tidak ada agenda politik. Meski tidak ada agenda politik, sejatinya kepulangan tokoh kunci GAM tersebut mampu meredam memanasnya kondisi politik di Aceh menjelang Pemilu 2009.
Sebab, bagaimana pun, peran tokoh yang digelari ‘Wali Nanggroe’ oleh pasukan GAM ini diperlukan dalam mengawal dan menjaga perdamaian Aceh tetap langgeng. Apalagi belakangan ini, kondisi Aceh terus memburuk terkait meningkatnya aksi kriminalitas, berupa perampokan dan penculikan, serta penggranatan kantor Partai Aceh (PA) di beberapa wilayah dan pembakaran kantor Partai SIRA, yang notabene partai dari eks kombatan GAM dan aktivis referendum.
Makna Kepulangan Hasan Tiro
Di tingkat nasional, informasi kepulangan Hasan Tiro memunculkan polemik, khususnya terkait perlu tidaknya perlakuan istimewa terhadap tokoh yang puluhan tahun mengobarkan perlawanan terhadap Jakarta. Pun begitu, pihak TNI seperti dikutip okezone, Rabu (24/9) mengaku akan mengawasi kedatangan Hasan Tiro di Aceh. Kebijakan tersebut diambil tak terlepas dari cerita masa lalu Hasan Tiro yang dinilai membahayakan keutuhan NKRI. Sementara pengamat intelijen, Soeripto, tidak begitu mempersoalkan kepulangan Hasan Tiro, karena murni kepulangan biasa, tidak ada agenda terselubung yang perlu dicurigai.
Namun, tidak begitu halnya tanggapan dari Aceh. Berita kepulangan Hasan Tiro disambut suka-cita oleh rakyat, terutama oleh mantan GAM. Sebab kepulangan tersebut memberikan makna tersendiri, khususnya terhadap eksistensi Partai Aceh, di samping memuaskan kerinduan para pengikutnya yang kini berhimpun dalam Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi baru GAM. Malah, mereka akan memberikan pengamanan khusus, sebagai bentuk penghormatan bagi pemimpinnya yang puluhan tahun meninggalkan Aceh.
Sebab, sejak bertolak ke luar negeri tahun 1979 saat situasi keamanan tidak menentu, Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh. Hasan Tiro menetap di Amerika dan selanjutnya mendapatkan suaka politik ke Swedia, dan mengendalikan perjuangan GAM di pengasingan. Meski sempat diberitakan meninggal dunia dan terkena stroke, serta diisukan tidak lagi mengendalikan perjuangan GAM secara total, namun Hasan Tiro tetap menjadi tokoh kunci yang memengaruhi penyelesaian konflik Aceh.
Artinya, terlepas dari sejumlah misteri tentang kondisinya, restu Hasan Tiro selalu ditunggu, khususnya terkait hal-hal prinsipil tentang perjuangan dan sikap politik GAM dalam perundingan. Bisa disebut, tanpa restu Hasan Tiro, mustahil MoU Helsinki yang mengakhiri konflik Aceh terlaksana dengan mulus.
Jadi, kepulangan Hasan Tiro ke Aceh menunjukkan kondisi keamanan Aceh sudah kondusif. Hal ini tentu saja sebuah pengakuan bahwa perdamaian Aceh bukan lagi main-main, karena tokoh penting yang selama ini begitu kuat mengobarkan api perlawanan, akhirnya dapat menikmati buah perdamaian. Untuk itu, hendaknya, semua pihak menjaga perdamaian ini dengan sepenuh hati, sambil menutup rapat-rapat peluang munculnya konflik kembali.
Agenda Perdamaian
Meskipun kepulangan Hasan Tiro dinyatakan tidak dibumbui dengan agenda politik, sejumlah pihak di Aceh tetap berharap kepulangan Hasan Tiro dapat memberikan makna positif bagi keberlangsungan perdamaian di Aceh. Sebab, keengganan Hasan Tiro kembali ke Aceh pasca-penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam, memunculkan tanda tanya besar bahwa Hasan Tiro tidak merestui perdamaian Aceh. Jika keinginan kepulangannya ke Aceh benar-benar terwujud, kekhawatiran bahwa Hasan Tiro tidak mendukung perdamaian akan hilang dengan sendirinya.
Hal ini perlu dipertegas, agar kepulangan Hasan Tiro tidak dipolitisir dan dimanfaatkan untuk agenda tersembunyi kelompok tertentu, yang membuat kondisi Aceh bertambah panas. Apalagi belakangan, aksi-aksi kekerasan seperti penggranatan kantor Partai Aceh (PA), pembakaran kantor Partai SIRA, serta tindakan intimidasi lainnya terhadap partai-partai tertentu meningkat. Kondisi ini tak terlepas untuk kepentingan Pemilu 2009.
Banyak kekhawatiran muncul di Aceh saat Pemilu berlangsung nanti. Kekhawatiran tersebut bukan tak beralasan, sebab Pemilu di Aceh berbeda dengan di tempat lain karena hadirnya sejumlah Partai Lokal. Banyak pihak berharap agar Pemilu berlangsung aman dan damai, tanpa paksaan untuk memilih partai tertentu. Selama ini, ancaman dan intimidasi terhadap masyarakat untuk memilih suatu partai sering terjadi. Pelarangan pendirian kantor partai tertentu, yang diikuti pembakaran sejumlah umbul-umbul partai semakin menunjukkan jika Pemilu di Aceh kental warna kekerasan. Sebab, persaingan dalam merebut suara dan simpati rakyat Aceh tak hanya dilakukan melalui tawaran sejumlah program politik, melainkan juga melibatkan kekerasan.
Nah, kepulangan Hasan Tiro juga tidak tertutup kemungkinan akan dipolitisir oleh kelompok atau partai tertentu untuk mendulang simpati publik Aceh, karena akan memberi keuntungan psikologis bagi partai tersebut. Mereka akan memonopoli suara rakyat dengan memanfaatkan ketokohan Hasan Tiro, untuk mengintimidasi partai lain. Banyak pihak mewaspadai agar kepulangan Hasan Tiro tidak disusupi agenda terselubung yang memberi pengaruh pada rusaknya perdamaian. Sebab, Jika kondisi seperti ini yang terjadi, jelas kepulangan Hasan Tiro tidak memberikan pengaruh apapun.
Namun, lain halnya jika kepulangan Hasan Tiro setelah 32 tahun lamanya tidak menginjak tanah Aceh membawa pesan-pesan perdamaian, tentu akan mendatangkan keuntungan bagi rakyat Aceh. Apalagi jika kepulangan tersebut untuk meredam gejolak konflik yang bakal muncul terkait keberadaan Partai lokal pada Pemilu nanti, serta untuk mencari solusi atas agenda penyusunan Qanun Wali Nanggroe yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Maka semua pihak harus menyambut baik keinginan tersebut.
Akhirnya, kita berharap, agar kepulangan Hasan Tiro ke Aceh benar-benar murni atas keinginannya sendiri tanpa dipolitisir oleh partai tertentu, sebab jika itu yang terjadi, jelas kepulangan Hasan Tiro tidak memberi pengaruh apapun, terutama untuk keberlangsungan perdamaian Aceh.
Note: Tulisan ini ditulis sebelum kepulangan Hasan Tiro
Sebab, bagaimana pun, peran tokoh yang digelari ‘Wali Nanggroe’ oleh pasukan GAM ini diperlukan dalam mengawal dan menjaga perdamaian Aceh tetap langgeng. Apalagi belakangan ini, kondisi Aceh terus memburuk terkait meningkatnya aksi kriminalitas, berupa perampokan dan penculikan, serta penggranatan kantor Partai Aceh (PA) di beberapa wilayah dan pembakaran kantor Partai SIRA, yang notabene partai dari eks kombatan GAM dan aktivis referendum.
Makna Kepulangan Hasan Tiro
Di tingkat nasional, informasi kepulangan Hasan Tiro memunculkan polemik, khususnya terkait perlu tidaknya perlakuan istimewa terhadap tokoh yang puluhan tahun mengobarkan perlawanan terhadap Jakarta. Pun begitu, pihak TNI seperti dikutip okezone, Rabu (24/9) mengaku akan mengawasi kedatangan Hasan Tiro di Aceh. Kebijakan tersebut diambil tak terlepas dari cerita masa lalu Hasan Tiro yang dinilai membahayakan keutuhan NKRI. Sementara pengamat intelijen, Soeripto, tidak begitu mempersoalkan kepulangan Hasan Tiro, karena murni kepulangan biasa, tidak ada agenda terselubung yang perlu dicurigai.
Namun, tidak begitu halnya tanggapan dari Aceh. Berita kepulangan Hasan Tiro disambut suka-cita oleh rakyat, terutama oleh mantan GAM. Sebab kepulangan tersebut memberikan makna tersendiri, khususnya terhadap eksistensi Partai Aceh, di samping memuaskan kerinduan para pengikutnya yang kini berhimpun dalam Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi baru GAM. Malah, mereka akan memberikan pengamanan khusus, sebagai bentuk penghormatan bagi pemimpinnya yang puluhan tahun meninggalkan Aceh.
Sebab, sejak bertolak ke luar negeri tahun 1979 saat situasi keamanan tidak menentu, Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh. Hasan Tiro menetap di Amerika dan selanjutnya mendapatkan suaka politik ke Swedia, dan mengendalikan perjuangan GAM di pengasingan. Meski sempat diberitakan meninggal dunia dan terkena stroke, serta diisukan tidak lagi mengendalikan perjuangan GAM secara total, namun Hasan Tiro tetap menjadi tokoh kunci yang memengaruhi penyelesaian konflik Aceh.
Artinya, terlepas dari sejumlah misteri tentang kondisinya, restu Hasan Tiro selalu ditunggu, khususnya terkait hal-hal prinsipil tentang perjuangan dan sikap politik GAM dalam perundingan. Bisa disebut, tanpa restu Hasan Tiro, mustahil MoU Helsinki yang mengakhiri konflik Aceh terlaksana dengan mulus.
Jadi, kepulangan Hasan Tiro ke Aceh menunjukkan kondisi keamanan Aceh sudah kondusif. Hal ini tentu saja sebuah pengakuan bahwa perdamaian Aceh bukan lagi main-main, karena tokoh penting yang selama ini begitu kuat mengobarkan api perlawanan, akhirnya dapat menikmati buah perdamaian. Untuk itu, hendaknya, semua pihak menjaga perdamaian ini dengan sepenuh hati, sambil menutup rapat-rapat peluang munculnya konflik kembali.
Agenda Perdamaian
Meskipun kepulangan Hasan Tiro dinyatakan tidak dibumbui dengan agenda politik, sejumlah pihak di Aceh tetap berharap kepulangan Hasan Tiro dapat memberikan makna positif bagi keberlangsungan perdamaian di Aceh. Sebab, keengganan Hasan Tiro kembali ke Aceh pasca-penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam, memunculkan tanda tanya besar bahwa Hasan Tiro tidak merestui perdamaian Aceh. Jika keinginan kepulangannya ke Aceh benar-benar terwujud, kekhawatiran bahwa Hasan Tiro tidak mendukung perdamaian akan hilang dengan sendirinya.
Hal ini perlu dipertegas, agar kepulangan Hasan Tiro tidak dipolitisir dan dimanfaatkan untuk agenda tersembunyi kelompok tertentu, yang membuat kondisi Aceh bertambah panas. Apalagi belakangan, aksi-aksi kekerasan seperti penggranatan kantor Partai Aceh (PA), pembakaran kantor Partai SIRA, serta tindakan intimidasi lainnya terhadap partai-partai tertentu meningkat. Kondisi ini tak terlepas untuk kepentingan Pemilu 2009.
Banyak kekhawatiran muncul di Aceh saat Pemilu berlangsung nanti. Kekhawatiran tersebut bukan tak beralasan, sebab Pemilu di Aceh berbeda dengan di tempat lain karena hadirnya sejumlah Partai Lokal. Banyak pihak berharap agar Pemilu berlangsung aman dan damai, tanpa paksaan untuk memilih partai tertentu. Selama ini, ancaman dan intimidasi terhadap masyarakat untuk memilih suatu partai sering terjadi. Pelarangan pendirian kantor partai tertentu, yang diikuti pembakaran sejumlah umbul-umbul partai semakin menunjukkan jika Pemilu di Aceh kental warna kekerasan. Sebab, persaingan dalam merebut suara dan simpati rakyat Aceh tak hanya dilakukan melalui tawaran sejumlah program politik, melainkan juga melibatkan kekerasan.
Nah, kepulangan Hasan Tiro juga tidak tertutup kemungkinan akan dipolitisir oleh kelompok atau partai tertentu untuk mendulang simpati publik Aceh, karena akan memberi keuntungan psikologis bagi partai tersebut. Mereka akan memonopoli suara rakyat dengan memanfaatkan ketokohan Hasan Tiro, untuk mengintimidasi partai lain. Banyak pihak mewaspadai agar kepulangan Hasan Tiro tidak disusupi agenda terselubung yang memberi pengaruh pada rusaknya perdamaian. Sebab, Jika kondisi seperti ini yang terjadi, jelas kepulangan Hasan Tiro tidak memberikan pengaruh apapun.
Namun, lain halnya jika kepulangan Hasan Tiro setelah 32 tahun lamanya tidak menginjak tanah Aceh membawa pesan-pesan perdamaian, tentu akan mendatangkan keuntungan bagi rakyat Aceh. Apalagi jika kepulangan tersebut untuk meredam gejolak konflik yang bakal muncul terkait keberadaan Partai lokal pada Pemilu nanti, serta untuk mencari solusi atas agenda penyusunan Qanun Wali Nanggroe yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Maka semua pihak harus menyambut baik keinginan tersebut.
Akhirnya, kita berharap, agar kepulangan Hasan Tiro ke Aceh benar-benar murni atas keinginannya sendiri tanpa dipolitisir oleh partai tertentu, sebab jika itu yang terjadi, jelas kepulangan Hasan Tiro tidak memberi pengaruh apapun, terutama untuk keberlangsungan perdamaian Aceh.
Note: Tulisan ini ditulis sebelum kepulangan Hasan Tiro