Mindanao | Harian Aceh
Ketua Bidang Internal Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Muhammad MTA, diundang International Initiative Dialogue (IID) untuk mempromosikan perdamaian Aceh sebagai model mewujudkan perdamaian berkelanjutan di Mindanao.
“Para pihak yang bertikai secara langsung menerima kami untuk mendiskusikan bagaimana mewujudkan komunikasi perdamaian antara pemerintah Philipina dan MILF,” ujar Muhammad MTA, kepada Harian Aceh, Minggu (16/11), sepulang dari Mindanao, Philipina.
Menurut MTA, demikian dia biasa disapa, selain dirinya turut serta beberapa aktivis SIRA dalam rombongan tersebut. MTA berada di Mindanao selama 13 hari, dan intens melakukan pertemuan dengan sejumlah kalangan di sana.
MTA menjelaskan, dirinya secara khusus diterima pihak International Monitoring Team (IMT) Mindanao, sebuah tim monitoring internasional yang beranggotakan empat Negara, Malaysia, Jepang, Brunei Darussalam, dan Libya. “Yang jadi ketua IMT sekarang adalah Malaysia, yang dijabat oleh Brigjend Amzah. Saya melakukan pertemuan dengan dia selama 2 jam, yang diikuti para anggota dari keempat Negara tersebut,” jelas MTA.
Dalam pertemuan tersebut, kata MTA, pihak IMT banyak bertanya tentang perdamaian Aceh, dan berharap menjadi contoh mewujudkan perdamaian di Mindanao. “Mereka ingin melakukan sharing kondisi dan pengalaman bagaimana mewujudkan perdamaian antar pihak yang bertikai,” tambah aktivis SIRA ini.
Pihak IMT, kata MTA, ingin mempraktekkan komunikasi politik antar para pihak yang bertikai di Philipina bagaimana membangun perdamaian. Apalagi, sejak konflik meletus di Philipina selatan tersebut, rakyat sipil selalu menjadi korban peperangan.
Menjawab Harian Aceh, bagaimana respon pihak IMT terhadap perdamaian Aceh, MTA menuturkan, sangat positif. Karena, kata Mereka, transformasi politik sedang berjalan di Aceh. Masyarakat mulai menikmati normalitas social politik dan ekonomi sudah berjalan cukup baik. “Keinginan mereka adalah bagaimana mewujudkan Mindanao tanpa perang, karena sudah menyengsarakan masyarakat Mindanao sendiri,” tutur MTA mengutip pernyataan pihak IMT.
Selama berada di sana, sebut MTA, dirinya yang mengelilingi pusat perang, melihat kondisinya mirip dengan kondisi Aceh pada tahun 1998-2000. “Di mana-mana kita melihat banyak masyarakat mengungsi serta minim bantuan,” kata MTA. Pantauan internasional terutama dari wartawan dan organisasi internasional juga sangat kurang.
“Yang sangat disayangkan, pihak internasional yang menjadi tim monitoring cease fire (gencatan senjata) antara MILF dan Tentara Philipina tidak dibenarkan memasuki area-area pengungsi,” lanjutnya. MTA menyebutkan, tanggal 31 November ini, mandat IMT berakhir. Jika mandat mereka diperpanjang, mereka meminta kewenangan mereka ditingkatkan bukan hanya sebagai penonton.
Para tim monitoring tersebut, lanjut MTA, hanya sebagai monitoring perang. “Mereka memantau apakah ada perang atau tidak. Sementara mencampuri dan menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi tidak dibenarkan,” sebut mantan Tapol Aceh yang pernah divonis 8 tahun penjara.
Kepada MTA, Brigjend Amzah, menjelaskan, sebelum IMT masuk pada tahun 2004, kontak senjata di Mindanao mencapai 600 kali. Namun, sejak IMT bertugas di sana, eskalasi kontak senjata berkurang, hanya 60 kali dalam sehari.
Caption: Muhammad MTA (kanan) terlibat pembicaraan dengan Ketua IMT, Brigjend Amzah, di kantor pusat IMT, Cotabato, Mindanao, Senin (10/11). Foto: Ist
Ketua Bidang Internal Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Muhammad MTA, diundang International Initiative Dialogue (IID) untuk mempromosikan perdamaian Aceh sebagai model mewujudkan perdamaian berkelanjutan di Mindanao.
“Para pihak yang bertikai secara langsung menerima kami untuk mendiskusikan bagaimana mewujudkan komunikasi perdamaian antara pemerintah Philipina dan MILF,” ujar Muhammad MTA, kepada Harian Aceh, Minggu (16/11), sepulang dari Mindanao, Philipina.
Menurut MTA, demikian dia biasa disapa, selain dirinya turut serta beberapa aktivis SIRA dalam rombongan tersebut. MTA berada di Mindanao selama 13 hari, dan intens melakukan pertemuan dengan sejumlah kalangan di sana.
MTA menjelaskan, dirinya secara khusus diterima pihak International Monitoring Team (IMT) Mindanao, sebuah tim monitoring internasional yang beranggotakan empat Negara, Malaysia, Jepang, Brunei Darussalam, dan Libya. “Yang jadi ketua IMT sekarang adalah Malaysia, yang dijabat oleh Brigjend Amzah. Saya melakukan pertemuan dengan dia selama 2 jam, yang diikuti para anggota dari keempat Negara tersebut,” jelas MTA.
Dalam pertemuan tersebut, kata MTA, pihak IMT banyak bertanya tentang perdamaian Aceh, dan berharap menjadi contoh mewujudkan perdamaian di Mindanao. “Mereka ingin melakukan sharing kondisi dan pengalaman bagaimana mewujudkan perdamaian antar pihak yang bertikai,” tambah aktivis SIRA ini.
Pihak IMT, kata MTA, ingin mempraktekkan komunikasi politik antar para pihak yang bertikai di Philipina bagaimana membangun perdamaian. Apalagi, sejak konflik meletus di Philipina selatan tersebut, rakyat sipil selalu menjadi korban peperangan.
Menjawab Harian Aceh, bagaimana respon pihak IMT terhadap perdamaian Aceh, MTA menuturkan, sangat positif. Karena, kata Mereka, transformasi politik sedang berjalan di Aceh. Masyarakat mulai menikmati normalitas social politik dan ekonomi sudah berjalan cukup baik. “Keinginan mereka adalah bagaimana mewujudkan Mindanao tanpa perang, karena sudah menyengsarakan masyarakat Mindanao sendiri,” tutur MTA mengutip pernyataan pihak IMT.
Selama berada di sana, sebut MTA, dirinya yang mengelilingi pusat perang, melihat kondisinya mirip dengan kondisi Aceh pada tahun 1998-2000. “Di mana-mana kita melihat banyak masyarakat mengungsi serta minim bantuan,” kata MTA. Pantauan internasional terutama dari wartawan dan organisasi internasional juga sangat kurang.
“Yang sangat disayangkan, pihak internasional yang menjadi tim monitoring cease fire (gencatan senjata) antara MILF dan Tentara Philipina tidak dibenarkan memasuki area-area pengungsi,” lanjutnya. MTA menyebutkan, tanggal 31 November ini, mandat IMT berakhir. Jika mandat mereka diperpanjang, mereka meminta kewenangan mereka ditingkatkan bukan hanya sebagai penonton.
Para tim monitoring tersebut, lanjut MTA, hanya sebagai monitoring perang. “Mereka memantau apakah ada perang atau tidak. Sementara mencampuri dan menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi tidak dibenarkan,” sebut mantan Tapol Aceh yang pernah divonis 8 tahun penjara.
Kepada MTA, Brigjend Amzah, menjelaskan, sebelum IMT masuk pada tahun 2004, kontak senjata di Mindanao mencapai 600 kali. Namun, sejak IMT bertugas di sana, eskalasi kontak senjata berkurang, hanya 60 kali dalam sehari.
Caption: Muhammad MTA (kanan) terlibat pembicaraan dengan Ketua IMT, Brigjend Amzah, di kantor pusat IMT, Cotabato, Mindanao, Senin (10/11). Foto: Ist
Tags:
Berita