4 Desember

Tahun 1999 silam, tanah Aceh memerah. Sangat merah. Tapi bukan oleh banjir darah, seperti sebelumnya, melainkan oleh warna. Saat itu, syair perlawanan tak henti-hentinya diperdengarkan. Aceh ketika itu adalah Aceh yang sedang mabuk, meski ada nilai-nilai kesucian yang tertanam di dalamnya.

Ingat tahun 1999, kita seperti diajak memungut mimpi-mimpi yang disimpan dalam kotak pandora. Ada kegairahan di sana. Kita begitu fasih dan bangga melafalkan pekikan 'merdeka' meski setelah itu ada bayangan ketakutan yang hinggap. Sebagiannya justru menemui ajalnya.

Ingat tahun 1999, kita seperti diajak mengagumi sosok Tgk Abdullah Syafii. Kita begitu akrab dengan sifat ramahnya. Senyumnya membekas dalam ingatan orang-orang yang masih mengingatnya. Ada sihir simpati terpancar dari sana. Lawan pun tertunduk oleh matanya yang sendu. Sosoknya penuh aura dan kharisma.

Kini, setelah 10 tahun berlalu, siapa yang masih mengingatnya: warna, syair dan sosoknya. Siapa yang akan percaya, bahwa dulu ada bendera 'aneh' dikibarkan di setiap sudut Gampong dan Kuta. Siapa yang akan percaya, syair prang sabi merasuki setiap relung hati, dan setelah itu memercikkan api perlawanan setelah seruan, "bek tatakot ta surot aneuk senapan bangswan, aneuk meriam ya Allah ata...[edited]". Siapa yang masih mengingatnya bahwa Tgk Abdullah Syafii membuai rakyat Aceh dengan satu mimpi yang pasti, meski kini jadi ilusi.

Kita hanya ingat bahwa selepas euphoria itu, Aceh menjadi kubangan darah. Meski, tak seorang pun memaki warna bendera yang merah itu. Karena statusnya begitu terhormat dan tinggi. Dia jadi simbol kemuliaan dan juga penegasan sikap, “kita” dan “mereka”. Kini, siapa yang masih peduli, bahwa dulu antara ‘kita’ dan ‘mereka’ begitu kontras? Tidak ada. Keduanya kini bercampur, dan kita lupa mengingatnya. Sebab, sebagiannya menjadi musuh, dan sebagian lagi berteman dengan musuh.

Tak ada lagi ajaran, yang dulu, dari tiap Meunasah ke Meunasah, telinga kita tak henti-hentinya dibisiki doktrin: ngon+ngon=ngon; ngon+musoh=musoh; musoh+musoh=musoh. Sekarang, kita tak perlu bertanya lagi pada doktrin itu. Sebab, tak akan ada yang masih mengingatnya. Tak ada yang peduli.

Padahal, masih sangat akrab kita dengar, bahwa berkorban untuk warna merah itu, kita dapat label terhormat. Syahid. Semua orang meyakini ada ribuan budiadari 'geumat kipaih lah kipas saboh bak jaroe, geupreh judo woe ya Allah dalam prang sabi'. Tak ada ibu menyesali anaknya syahid. Mereka malah sangat yakin, 'aneuk jak lam prang peutimang amanah nabi'.

Itu dulu, ketika kita masih bermimpi dengan mimpi yang sama, ketika ideologi adalah panglima, dan ketika kepentingan kita masih sama. Kita juga bisa mengatakan, karena dulu kita punya musuh bersama. Sementara kini, kita lupa siapa musuh bersama itu. Kita juga lupa, siapa kawan yang mau mati bersama. Malah, parahnya, banyak dari kawan yang dulu siap mati bersama, kita posisikan sebagai musuh, dan karena itu ‘jadi halue darah’. Sungguh kita seperti hidup di dunia yang sangat aneh. Sangat-sangat aneh.
Saya sendiri sempat tersentak, ketika muncul pernyataan, ‘siapa saja yang mengibarkan bendera yang dulu begitu dikeramatkan itu harus diberi hukuman’. Dus…dunia cepat sekali terbalik. Kita jadi percaya, bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali kematian.

Tapi, ada yang membuat kita bangga, bahwa masih ada orang-orang yang mengagumi warna seperti sepuluh tahun yang lalu, meski nadanya berbeda. Dan warna itu, bisa kita temui di setiap sudut-sudut Gampong dan Kuta. Warna yang begitu kontras, sebab, tak boleh ada warna lain yang lebih mencolok. Namun, tahukah mereka bahwa ‘warna tak berarti apapun bagi orang buta!’.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post