“Akhirnya selesai juga…” kalimat pertama tersebut meluncur keluar dari mulutku setelah beberapa minggu mengedit kembali draft untuk buku ‘Aceh Pungo’. Tapi, perasaan lega segera bercampur was-was, sebab, sampai sekarang aku belum pede untuk menerbitkan buku tersebut, yang berupa kumpulan tulisan itu. Namun, desakan kuat datang dari seorang teman yang sudah menghasilkan sebuah karya “Aceh dan Romantisme Politik”. Setiap saat bertemu, si teman ini selalu menyodorkan pertanyaan, “Pajan juet ta peuteubit buku droe?”
Aku selalu bisa mengelak, bahwa tulisan aku belum cukup untuk dirangkum menjadi sebuah buku, karena terlalu sedikit. Padahal, alasan sebenarnya, aku tidak pede menerbitkan buku. Aku suka malu jika tulisan dicibir orang, dan dianggap tidak bermutu. Daripada diketawain orang, mending aku tidak menerbitkannya. Tapi, provokasi demi provokasi untuk menerbitkan buku, setiap saat kuterima. Tak henti-hentinya si teman itu memaksa saya menerbitkan tulisan yang sudah dimuat di Pojok Gampong Harian Aceh itu. Karena tak tahan terus menerus diprovokasi, akhirnya saya mengiyakan untuk menerbitkannya. “Ok, preh mantong!” kataku mantap.
“Nyan mantap!” katanya saat itu. Rencana pun kemudian dibuat. Aku sendiri juga sudah punya rencana, bahwa buku tersebut akan menjadi kado ulang tahunku yang ke-27. Aku ingin saat usiaku 27, ada sesuatu yang istimewa kupersembahkan untuk diriku sendiri. Aku pun begitu semangat setiap malam mengotak-atik Laptop mungilku memperbaiki kata-kata di draft buku yang banyak salah, dan membetulkan kalimat agar layak jadi buku. Tapi, belakangan aku sadar, bahwa menerbitkan buku itu butuh persiapan matang, seperti meminta kata pengantar, meminta komentar, layout, dan berbagai kebutuhan lainnya. Tidak mudah memang. Ya..yang terjadi kemudian, buku “Aceh Pungo” tidak terbit pada ulang tahunku.
Kawan-kawan kemudian bertanya, mana buku yang direncanakan itu. Mereka pantas bertanya, sebab, isu penerbitan buku tersebut sudah lumayan gempar, apalagi sang layouter Fauzan Yusuf, sudah merancang format cover dan membuat blog untuk buku tersebut di http://pungo.nanggroe.com, dan memposting model cover. Banyak juga yang memberi komentar. Tak tahunya, ternyata buku itu tak juga terbit seperti direncanakan.
Semangat aku kemudian kembali kendor, karena tak jadi terbit. Aku juga malas mengedit kembali tulisan yang termasuk ‘banyak’ tersebut. Sudah jadi kebiasaan, aku tak pernah lagi membaca tulisan yang sudah aku tulis. Si Kawan yang memprovokasi aku menerbitkan buku meminta draft biar dia yang membetulkan kata-kata yang salah. Sempat beberapa minggu, draft itu diotak-atik oleh dia. Ketika dikembalikan, dia bilang, bahwa draft itu sudah bisa digunakan untuk meminta komentar dari orang-orang yang layak untuk dimintai komentarnya agar membuat buku ini lebih ‘terkesan’ bermutu. Ternyata, saya tidak yakin juga bahwa semua kata-kata tersebut bisa diperbaikinya. Karena tidak ingin hasilnya mengecewakan, saya edit sedikit demi sedikit di sela-sela waktu luang. Namun, tiba-tiba muncul keinginan aneh bahwa aku tidak jadi menerbitkan buku tersebut. Si kawan mencak-mencak. Dia tetap akan menerbitkan buku “Aceh Pung” meski tanpa izin dariku. Dia pun siap jika kugugat ke pangadilan karena menerbitkan buku tanpa se-izin penulisnya. Dia malah menantang, dan akan meladeni gugatanku.
Kuatnya keinginan dia menerbitkan buku “Aceh Pungo” seperti merangsang kembali semangatku untuk mengedit dan menerbitkan buku. Apalagi, setiap ketemu dia, selalu disuguhi buku baru yang diterbitkannya seperti “Tasawuf Aceh” karya Sehat Ihsan Shadiqin, “dari Aceh ke Helsinki” karya Harry Kawilarang, dan calon buku Amrizal yang sedang waiting list. Mau tak mau, saya terprovokasi juga. Dalam hati berfikir, kapan ya bukuku jadi.
“Koleh, bukunya sudah setengah aku edit, doain dalam dua hari ini selesai,” kataku ketika ngobrol dengan dia di Yahoo! Messenger. Dia pun senang dan berharap akan mendengar kata-kata yang bagus-bagus dariku. Dia minta aku tidak heng setiap hari. Maklum, setiap hari aku stress dan kadang-kadang benci pada diri sendiri. Saya juga sudah malas menulis tulisan di kolom Pojok Gampong. Mood menulisku hilang. Saya tidak tahu penyebabnya. Mudah-mudahan, setelah terbit buku “Aceh Pungo” saya bergairah kembali, dan berharap buku itu segera punya ‘adik’.
Akhirnya, draft buku “Aceh Pungo” selesai juga aku edit. Aku merasa puas sekarang, meski belum jadi buku. Setidaknya, satu tugas sudah selesai kutunaikan. Ada yang tanya kenapa tidak menggunakan tenaga editing? Saya hanya ingin mengatakan, bahwa saya merasa lebih puas jika mengedit sendiri. Ini bukan karena saya tidak percaya sama orang. Saya hanya ingin, jika ada kelemahan dari buku tersebut, semata-mata karena saya sendiri. Saya lebih puas. Sementara jika yang edit orang lain, dan terdapat kesalahan, saya tidak akan bangga, dan pasti sangat kecewa. “Jika pun salah, itulah hasil kerjaku, dan aku tidak perlu marah sama orang lain,” begitu alasan yang kuberikan.
Kini, aku berharap buku itu sudah bisa dinikmati akhir Desember ini, sebelum tahun berganti. Sebab, aku ingin menjadikan tahun 2008 ini sebagai tahun penuh kesan bagiku, seperti pada tahun ini aku bekerja di Koran Harian Aceh. Tahun ini pula aku menyelesaikan kuliah. Aku akan sangat bangga jika pada tahun 2008 ini, aku juga bisa menerbitkan buku. Sungguh tak ternilai kebahagiaan yang akan kurasakan.
Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana respon pembaca. Aku sempat was-was juga, bahwa judul buku aku itu akan diprotes orang karena sudah memvonis “Aceh Pungo” seperti julukan yang diberikan Belanda. Judul itu akan menimbulkan kontroversial. Jadi, ada hal-hal yang membuatku tidak merasa bersalah, karena ternyata, banyak perilaku kita mencerminkan bahwa kita senang jika dipanggil “Pungo”. Jika tidak percaya, baca saja buku tersebut sampai selesai. Saya yakin anda akan menemukan banyak hal gila dalam masyarakat Aceh. Maka, wajar jika kita menulis “Aceh Pungo”. Selamat menanti.
@kata “aku” dan “saya” bercampur-baur. Bukan disengaja, tapi mengalir saja saat menulis, dan tak selera menggantinya lagi.
Aku selalu bisa mengelak, bahwa tulisan aku belum cukup untuk dirangkum menjadi sebuah buku, karena terlalu sedikit. Padahal, alasan sebenarnya, aku tidak pede menerbitkan buku. Aku suka malu jika tulisan dicibir orang, dan dianggap tidak bermutu. Daripada diketawain orang, mending aku tidak menerbitkannya. Tapi, provokasi demi provokasi untuk menerbitkan buku, setiap saat kuterima. Tak henti-hentinya si teman itu memaksa saya menerbitkan tulisan yang sudah dimuat di Pojok Gampong Harian Aceh itu. Karena tak tahan terus menerus diprovokasi, akhirnya saya mengiyakan untuk menerbitkannya. “Ok, preh mantong!” kataku mantap.
“Nyan mantap!” katanya saat itu. Rencana pun kemudian dibuat. Aku sendiri juga sudah punya rencana, bahwa buku tersebut akan menjadi kado ulang tahunku yang ke-27. Aku ingin saat usiaku 27, ada sesuatu yang istimewa kupersembahkan untuk diriku sendiri. Aku pun begitu semangat setiap malam mengotak-atik Laptop mungilku memperbaiki kata-kata di draft buku yang banyak salah, dan membetulkan kalimat agar layak jadi buku. Tapi, belakangan aku sadar, bahwa menerbitkan buku itu butuh persiapan matang, seperti meminta kata pengantar, meminta komentar, layout, dan berbagai kebutuhan lainnya. Tidak mudah memang. Ya..yang terjadi kemudian, buku “Aceh Pungo” tidak terbit pada ulang tahunku.
Kawan-kawan kemudian bertanya, mana buku yang direncanakan itu. Mereka pantas bertanya, sebab, isu penerbitan buku tersebut sudah lumayan gempar, apalagi sang layouter Fauzan Yusuf, sudah merancang format cover dan membuat blog untuk buku tersebut di http://pungo.nanggroe.com, dan memposting model cover. Banyak juga yang memberi komentar. Tak tahunya, ternyata buku itu tak juga terbit seperti direncanakan.
Semangat aku kemudian kembali kendor, karena tak jadi terbit. Aku juga malas mengedit kembali tulisan yang termasuk ‘banyak’ tersebut. Sudah jadi kebiasaan, aku tak pernah lagi membaca tulisan yang sudah aku tulis. Si Kawan yang memprovokasi aku menerbitkan buku meminta draft biar dia yang membetulkan kata-kata yang salah. Sempat beberapa minggu, draft itu diotak-atik oleh dia. Ketika dikembalikan, dia bilang, bahwa draft itu sudah bisa digunakan untuk meminta komentar dari orang-orang yang layak untuk dimintai komentarnya agar membuat buku ini lebih ‘terkesan’ bermutu. Ternyata, saya tidak yakin juga bahwa semua kata-kata tersebut bisa diperbaikinya. Karena tidak ingin hasilnya mengecewakan, saya edit sedikit demi sedikit di sela-sela waktu luang. Namun, tiba-tiba muncul keinginan aneh bahwa aku tidak jadi menerbitkan buku tersebut. Si kawan mencak-mencak. Dia tetap akan menerbitkan buku “Aceh Pung” meski tanpa izin dariku. Dia pun siap jika kugugat ke pangadilan karena menerbitkan buku tanpa se-izin penulisnya. Dia malah menantang, dan akan meladeni gugatanku.
Kuatnya keinginan dia menerbitkan buku “Aceh Pungo” seperti merangsang kembali semangatku untuk mengedit dan menerbitkan buku. Apalagi, setiap ketemu dia, selalu disuguhi buku baru yang diterbitkannya seperti “Tasawuf Aceh” karya Sehat Ihsan Shadiqin, “dari Aceh ke Helsinki” karya Harry Kawilarang, dan calon buku Amrizal yang sedang waiting list. Mau tak mau, saya terprovokasi juga. Dalam hati berfikir, kapan ya bukuku jadi.
“Koleh, bukunya sudah setengah aku edit, doain dalam dua hari ini selesai,” kataku ketika ngobrol dengan dia di Yahoo! Messenger. Dia pun senang dan berharap akan mendengar kata-kata yang bagus-bagus dariku. Dia minta aku tidak heng setiap hari. Maklum, setiap hari aku stress dan kadang-kadang benci pada diri sendiri. Saya juga sudah malas menulis tulisan di kolom Pojok Gampong. Mood menulisku hilang. Saya tidak tahu penyebabnya. Mudah-mudahan, setelah terbit buku “Aceh Pungo” saya bergairah kembali, dan berharap buku itu segera punya ‘adik’.
Akhirnya, draft buku “Aceh Pungo” selesai juga aku edit. Aku merasa puas sekarang, meski belum jadi buku. Setidaknya, satu tugas sudah selesai kutunaikan. Ada yang tanya kenapa tidak menggunakan tenaga editing? Saya hanya ingin mengatakan, bahwa saya merasa lebih puas jika mengedit sendiri. Ini bukan karena saya tidak percaya sama orang. Saya hanya ingin, jika ada kelemahan dari buku tersebut, semata-mata karena saya sendiri. Saya lebih puas. Sementara jika yang edit orang lain, dan terdapat kesalahan, saya tidak akan bangga, dan pasti sangat kecewa. “Jika pun salah, itulah hasil kerjaku, dan aku tidak perlu marah sama orang lain,” begitu alasan yang kuberikan.
Kini, aku berharap buku itu sudah bisa dinikmati akhir Desember ini, sebelum tahun berganti. Sebab, aku ingin menjadikan tahun 2008 ini sebagai tahun penuh kesan bagiku, seperti pada tahun ini aku bekerja di Koran Harian Aceh. Tahun ini pula aku menyelesaikan kuliah. Aku akan sangat bangga jika pada tahun 2008 ini, aku juga bisa menerbitkan buku. Sungguh tak ternilai kebahagiaan yang akan kurasakan.
Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana respon pembaca. Aku sempat was-was juga, bahwa judul buku aku itu akan diprotes orang karena sudah memvonis “Aceh Pungo” seperti julukan yang diberikan Belanda. Judul itu akan menimbulkan kontroversial. Jadi, ada hal-hal yang membuatku tidak merasa bersalah, karena ternyata, banyak perilaku kita mencerminkan bahwa kita senang jika dipanggil “Pungo”. Jika tidak percaya, baca saja buku tersebut sampai selesai. Saya yakin anda akan menemukan banyak hal gila dalam masyarakat Aceh. Maka, wajar jika kita menulis “Aceh Pungo”. Selamat menanti.
@kata “aku” dan “saya” bercampur-baur. Bukan disengaja, tapi mengalir saja saat menulis, dan tak selera menggantinya lagi.
Tags:
biografi