Saya ingin bercerita tentang sepatu. Soalnya, orang-orang di berbagai belahan bumi sedang berdiskusi tentang sepatu. Tentunya, mereka bukan sedang membicarakan merek sepatu milik para pemain bola atau sepatu emas yang dimenangi Ronaldo beberapa waktu lalu. Tidak juga tentang merek Adidas, Nike atau Reebok. Bukan pula tentang jenis sepatu yang dikenakan para presiden atau bintang film Hollywood, melainkan tentang sepatu seorang jurnalis di Irak.
Apakah sepatu si jurnalis Irak itu begitu mahal, sehingga orang-orang ramai membicarakannya? Tak juga. Malah, sepatu tersebut bisa jadi hanya sepatu murah, dan bahkan sudah kumal. Bisa jadi juga sepatu tersebut mengeluarkan bau yang menyengat seperti kebanyakan sepatu di tempat kita. Tapi terserahlah, toh kita tak pernah melihat atau menciumnya. Kita hanya menyaksikan dari TV atau dari berita-berita yang dimuat di Koran.
Sepatu itu mendadak terkenal karena dilemparkan ke arah presiden negeri adidaya, adikuasa, superpower atau polisi dunia. Sepatu yang mendadak terkenal tersebut hampir saja mengenai wajah presiden negeri paman sam. Pun begitu, kita belum mendengar orang-orang memeriksa mereknya. Padahal, jika itu dilakukan, bisa menjadi iklan gratis untuk perusahaan yang mengeluarkan sepatu tersebut.
Tapi, apa peduli kita dengan sepatu itu? Toh, di mana-mana, fungsi sepatu tetap sama, hanya alas kaki biasa. Posisinya selalu paling rendah, dan diinjak-injak setiap hari. Jika kita ke Mesjid, sebagus dan semahal apapun sepatu kita, tetap tak boleh dibawa masuk ke dalam. Malah, ketika ke masjid kita ‘dianjurkan’ tidak memakai yang mahal-mahal. Anjuran tersebut bukan peraturan baku, melainkan anjuran spontanitas karena pencuri sepatu hingga kini masih betah mengincar sepatu mahal di masjid.
Jika kita bertamu ke rumah orang, kita juga musti melepaskannya. Sebab, meski sepatu yang kita beli mahal, tetap saja tak elok dan tak dibenarkan dibawa masuk ke dalam. Karena, sepatu masih dilihat sebagai benda yang kotor karena sering menginjak tanah. Bagian bawahnya pasti tak bebas dari najis (meski kita tak mengetahuinya apakah terkena najis atau tidak).
Oya, di Irak atau dalam budaya Arab, sepatu melambangkan penghinaan. Kita masih ingat bagaimana ketika Saddam Husein yang digulingkan pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat, rakyat Irak yang membencinya memukuli patung Saddam menggunakan sepatu, dengan tujuan menghina dan merendahkan. Dipukul dengan sepatu kesannya lebih nista dibandingkan dengan ditembak atau dibunuh. Karena, sasarannya bukan mencelakai, melainkan membunuh karakter. Coba saja tampar orang menggunakan sepatu, pasti kesannya lebih dalam ketimbang menampar pakai tangan.
Tapi, saya justru menangkap kesan lain di balik aksi Muntadar al-Zeidi, koresponden televisi Al-Baghdadiya yang melempar sepatu ke wajah Bush. Menurut saya, itulah bentuk perlawanan atas hegemoni Barat terhadap bangsa Timur. Sebab, selama ini, dalam perspektif Barat (Eropa dan Amerika), Timur selalu dipandang rendah dan tak berani melawan.
Pada masa kolonialisme, muncul anggapan bahwa ras Eropa, termasuk Amerika, dianggap sebagai ras yang paling sempurna dan berkuasa atas ras yang lain. Edward Said, dalam Orientalism, sampai menulis, bahwa dalam konsepsi-diri Eropa, rakyat terjajah itu dipandang irasional, sementara orang Eropa rasional. Jika yang pertama tidak beradab, sensual dan malas, Eropa adalah peradaban itu sendiri. Sehingga muncul pertentangan-pertentangan di antara ‘yang dikenal’ (Eropa, Barat dan kita), dengan ‘yang asing’ (Orient, Timur, Mereka). Dikotomi demikian sengaja dibuat oleh Eropa untuk tujuan pembedaan. Jika Timur itu statis, Eropa dilihat berkembang dan maju ke depan; Timur harus feminim agar Eropa bisa menjadi maskulin.(Baca: Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism; 2000)
Nah, aksi Muntadar, si pelempar sepatu, seperti ingin menggugat pemahaman-pemahaman yang menganggap Timur itu rendah. Bahwa, Timur sudah tak layak lagi dipandang sebelah mata. Sebab, seorang presiden dari Negara yang sangat berkuasa hanya pantas mendapat tamparan sepatu. Dan itu dilakukan di ujung tahun, sebagai permakluman bahwa Bush hanyalah seekor (maaf) anjing yang pantas dilempari sepatu, seperti diucapkan Muntadar. Mungkin itulah kado perpisahan paling buruk Bush, sebelum mengakhiri tugasnya sebagai Presiden AS pada 20 Januari mendatang.(HA 181208)
Apakah sepatu si jurnalis Irak itu begitu mahal, sehingga orang-orang ramai membicarakannya? Tak juga. Malah, sepatu tersebut bisa jadi hanya sepatu murah, dan bahkan sudah kumal. Bisa jadi juga sepatu tersebut mengeluarkan bau yang menyengat seperti kebanyakan sepatu di tempat kita. Tapi terserahlah, toh kita tak pernah melihat atau menciumnya. Kita hanya menyaksikan dari TV atau dari berita-berita yang dimuat di Koran.
Sepatu itu mendadak terkenal karena dilemparkan ke arah presiden negeri adidaya, adikuasa, superpower atau polisi dunia. Sepatu yang mendadak terkenal tersebut hampir saja mengenai wajah presiden negeri paman sam. Pun begitu, kita belum mendengar orang-orang memeriksa mereknya. Padahal, jika itu dilakukan, bisa menjadi iklan gratis untuk perusahaan yang mengeluarkan sepatu tersebut.
Tapi, apa peduli kita dengan sepatu itu? Toh, di mana-mana, fungsi sepatu tetap sama, hanya alas kaki biasa. Posisinya selalu paling rendah, dan diinjak-injak setiap hari. Jika kita ke Mesjid, sebagus dan semahal apapun sepatu kita, tetap tak boleh dibawa masuk ke dalam. Malah, ketika ke masjid kita ‘dianjurkan’ tidak memakai yang mahal-mahal. Anjuran tersebut bukan peraturan baku, melainkan anjuran spontanitas karena pencuri sepatu hingga kini masih betah mengincar sepatu mahal di masjid.
Jika kita bertamu ke rumah orang, kita juga musti melepaskannya. Sebab, meski sepatu yang kita beli mahal, tetap saja tak elok dan tak dibenarkan dibawa masuk ke dalam. Karena, sepatu masih dilihat sebagai benda yang kotor karena sering menginjak tanah. Bagian bawahnya pasti tak bebas dari najis (meski kita tak mengetahuinya apakah terkena najis atau tidak).
Oya, di Irak atau dalam budaya Arab, sepatu melambangkan penghinaan. Kita masih ingat bagaimana ketika Saddam Husein yang digulingkan pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat, rakyat Irak yang membencinya memukuli patung Saddam menggunakan sepatu, dengan tujuan menghina dan merendahkan. Dipukul dengan sepatu kesannya lebih nista dibandingkan dengan ditembak atau dibunuh. Karena, sasarannya bukan mencelakai, melainkan membunuh karakter. Coba saja tampar orang menggunakan sepatu, pasti kesannya lebih dalam ketimbang menampar pakai tangan.
Tapi, saya justru menangkap kesan lain di balik aksi Muntadar al-Zeidi, koresponden televisi Al-Baghdadiya yang melempar sepatu ke wajah Bush. Menurut saya, itulah bentuk perlawanan atas hegemoni Barat terhadap bangsa Timur. Sebab, selama ini, dalam perspektif Barat (Eropa dan Amerika), Timur selalu dipandang rendah dan tak berani melawan.
Pada masa kolonialisme, muncul anggapan bahwa ras Eropa, termasuk Amerika, dianggap sebagai ras yang paling sempurna dan berkuasa atas ras yang lain. Edward Said, dalam Orientalism, sampai menulis, bahwa dalam konsepsi-diri Eropa, rakyat terjajah itu dipandang irasional, sementara orang Eropa rasional. Jika yang pertama tidak beradab, sensual dan malas, Eropa adalah peradaban itu sendiri. Sehingga muncul pertentangan-pertentangan di antara ‘yang dikenal’ (Eropa, Barat dan kita), dengan ‘yang asing’ (Orient, Timur, Mereka). Dikotomi demikian sengaja dibuat oleh Eropa untuk tujuan pembedaan. Jika Timur itu statis, Eropa dilihat berkembang dan maju ke depan; Timur harus feminim agar Eropa bisa menjadi maskulin.(Baca: Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism; 2000)
Nah, aksi Muntadar, si pelempar sepatu, seperti ingin menggugat pemahaman-pemahaman yang menganggap Timur itu rendah. Bahwa, Timur sudah tak layak lagi dipandang sebelah mata. Sebab, seorang presiden dari Negara yang sangat berkuasa hanya pantas mendapat tamparan sepatu. Dan itu dilakukan di ujung tahun, sebagai permakluman bahwa Bush hanyalah seekor (maaf) anjing yang pantas dilempari sepatu, seperti diucapkan Muntadar. Mungkin itulah kado perpisahan paling buruk Bush, sebelum mengakhiri tugasnya sebagai Presiden AS pada 20 Januari mendatang.(HA 181208)
Tags:
pojok