Warkah ini saya tulis sangat hati-hati. Bukan karena saya menulis tentang seorang kawan atau tentang pemikiran yang lama hinggap dalam ingatan orang Islam Aceh. Saya tulis warkah ini bukan juga karena saya benci pada perjuangan rakyat Palestina, atau saya mendukung agresi Israel. Saya menulis ini karena menangkap ada hal salah kaprah yang sudah kita lakukan.
Saya masih ingat, beberapa waktu lalu, seorang kawan begitu bangga saat menceritakan bahwa dia berhasil mendaratkan sebutir telur di wajah seorang duta besar (Dubes) negara adidaya. Kejadian tersebut terjadi ketika sang Dubes berkunjung ke Kampus Darussalam. Tak ada keterangan resmi yang saya terima, apakah kejadian tersebut benar-benar terjadi atau sekedar ‘propaganda’ kemenangan. Namun yang pasti, memang ada aksi menolak kedatangan sang Dubes.
Mendengar cerita si kawan itu, saya menangkap rasa bangga yang dia rasakan seperti yang pernah dirasakan Muntazar al Zaidi ketika sepatu kumalnya hampir mendarat di wajah Presiden Bush. Suatu kepuasan batin yang tak ternilai, seperti halnya aksi yang dilakukan sebuah front yang mengaku Islami ketika menggelar posko Jihad untuk Palestina.
Tapi, terus terang, saya sendiri tak sepakat dengan aksi kawan saya itu. Karena, meskipun benar telur sempat pecah di wajah sang Dubes, tapi itu tak akan menyelesaikan masalah. Karena dia hanyalah orang yang tertawan oleh petinggi negaranya. Kita mungkin sepakat dengan argumen kawan saya bahwa telur itu untuk bocah Palestina yang terpanggang oleh bom Israel. Tapi apakah melempar seorang Dubes bisa mengubah kebijakan negaranya? Tentu saja tidak.
Malah itu hanya memperburuk citra Aceh yang selama ini dikenal santun dan hormat pada tamu yang datang dengan niat baik-baik. Banyak contoh yang bisa kita perlihatkan, seperti mereka pernah membantu orang Aceh saat tsunami lalu. Ketika mereka datang membantu, rakyat Aceh menerimanya dengan penuh senyum. Dulu, ketika Aceh dibalut konflik, kita pernah mengharapkan bantuan mereka menghentikan konflik dan menekan pemerintah di Jakarta. Malah, saya pernah menyaksikan dua massa yang berbeda kepentingan, satu mewakili kelompok yang merasa merekalah penafsir Islam yang benar, dan satu kelompok lagi mewakili mahasiswa yang membela hak-hak rakyat Aceh. Jika yang pertama menentang kehadiran Dubes negeri adidaya ke Aceh, maka yang kedua menerimanya.
Kini, masalah itu muncul lagi. Karena solidaritas semu kita melabrak kesantunan Aceh. Padahal, orang Aceh teguh memegang prinsip, menerima tamu yang datang dengan niat baik.
Ketika hal ini saya ceritakan kepada kawan kerja di kantor, dia sampai mencak-mencak. Saya sempat terdiam ketika si kawan berucap: “Aneh, bantuan orang kita terima tetapi orangnya tidak kita terima.” Menurutnya, kita menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih.
Lalu, apakah kita tidak bisa membenci negara adidaya itu? Itu sangat tergantung persepsi masing-masing kita. Jika kita membenci atas dasar apa? Apa hanya karena mereka mendukung Yahudi? Ataukah ada alasan lain yang lebih masuk akal. Jika kita tidak membenci mereka, juga atas dasar apa.
Saya sendiri memilih tidak membenci mereka dan melihat masalah Palestina dengan kepala jernih tanpa tertawan oleh masalah bahwa yang dibantai itu orang Islam.
Saya sendiri lebih menganjurkan membenci negara Arab yang memilih jadi boneka negara adidaya dan berlagak ‘bencong’ yang cantik di depan Israel. Mereka yang lebih pantas kita kutuk dan memboikot produknya, daripada memboikot produk Amerika yang selama ini begitu membantu kampanye mengutuk Israel dan AS, termasuk kampanye antiproduk Yahudi.
Saya pernah mendapatkan satu selebaran yang berisi list produk Yahudi dan Amerika yang harus diboikot. Saya tertegun karena kertas yang saya pegang diketik dengan produk Amerika. Bukan hanya itu saja, saya juga sempat membuka blog atau komunitas solidaritas untuk Palestina yang semuanya dibuat menggunakan fasilitas yang disediakan oleh orang Amerika dan Yahudi seperti blogger, wordpress, multiply, facebook, dll.
Padahal yang seharusnya diboikot itu produk-produk orang Arab. Karena sifat ‘bencong’ mereka rakyat Palestina dikorbankan. Saya percaya, masalah Palestina tidak akan berlarut-larut seperti sekarang ini jika Negara Arab punya sikap tegas dan bersatu. Israel tidak akan berani membantai rakyat Palestina jika seluruh Negara Arab berada di shaff terdepan melawan setiap aksi biadab Israel. Palestina juga tidak membutuhkan bantuan dari kita jika seandainya saudaranya di Arab memiliki nurani.
Saya justru percaya, Palestina merupakan ladang ‘jihad’ untuk rakyatnya karena selama dikucilkan oleh tetangga-tetangganya.(HA 070209)
Saya masih ingat, beberapa waktu lalu, seorang kawan begitu bangga saat menceritakan bahwa dia berhasil mendaratkan sebutir telur di wajah seorang duta besar (Dubes) negara adidaya. Kejadian tersebut terjadi ketika sang Dubes berkunjung ke Kampus Darussalam. Tak ada keterangan resmi yang saya terima, apakah kejadian tersebut benar-benar terjadi atau sekedar ‘propaganda’ kemenangan. Namun yang pasti, memang ada aksi menolak kedatangan sang Dubes.
Mendengar cerita si kawan itu, saya menangkap rasa bangga yang dia rasakan seperti yang pernah dirasakan Muntazar al Zaidi ketika sepatu kumalnya hampir mendarat di wajah Presiden Bush. Suatu kepuasan batin yang tak ternilai, seperti halnya aksi yang dilakukan sebuah front yang mengaku Islami ketika menggelar posko Jihad untuk Palestina.
Tapi, terus terang, saya sendiri tak sepakat dengan aksi kawan saya itu. Karena, meskipun benar telur sempat pecah di wajah sang Dubes, tapi itu tak akan menyelesaikan masalah. Karena dia hanyalah orang yang tertawan oleh petinggi negaranya. Kita mungkin sepakat dengan argumen kawan saya bahwa telur itu untuk bocah Palestina yang terpanggang oleh bom Israel. Tapi apakah melempar seorang Dubes bisa mengubah kebijakan negaranya? Tentu saja tidak.
Malah itu hanya memperburuk citra Aceh yang selama ini dikenal santun dan hormat pada tamu yang datang dengan niat baik-baik. Banyak contoh yang bisa kita perlihatkan, seperti mereka pernah membantu orang Aceh saat tsunami lalu. Ketika mereka datang membantu, rakyat Aceh menerimanya dengan penuh senyum. Dulu, ketika Aceh dibalut konflik, kita pernah mengharapkan bantuan mereka menghentikan konflik dan menekan pemerintah di Jakarta. Malah, saya pernah menyaksikan dua massa yang berbeda kepentingan, satu mewakili kelompok yang merasa merekalah penafsir Islam yang benar, dan satu kelompok lagi mewakili mahasiswa yang membela hak-hak rakyat Aceh. Jika yang pertama menentang kehadiran Dubes negeri adidaya ke Aceh, maka yang kedua menerimanya.
Kini, masalah itu muncul lagi. Karena solidaritas semu kita melabrak kesantunan Aceh. Padahal, orang Aceh teguh memegang prinsip, menerima tamu yang datang dengan niat baik.
Ketika hal ini saya ceritakan kepada kawan kerja di kantor, dia sampai mencak-mencak. Saya sempat terdiam ketika si kawan berucap: “Aneh, bantuan orang kita terima tetapi orangnya tidak kita terima.” Menurutnya, kita menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih.
Lalu, apakah kita tidak bisa membenci negara adidaya itu? Itu sangat tergantung persepsi masing-masing kita. Jika kita membenci atas dasar apa? Apa hanya karena mereka mendukung Yahudi? Ataukah ada alasan lain yang lebih masuk akal. Jika kita tidak membenci mereka, juga atas dasar apa.
Saya sendiri memilih tidak membenci mereka dan melihat masalah Palestina dengan kepala jernih tanpa tertawan oleh masalah bahwa yang dibantai itu orang Islam.
Saya sendiri lebih menganjurkan membenci negara Arab yang memilih jadi boneka negara adidaya dan berlagak ‘bencong’ yang cantik di depan Israel. Mereka yang lebih pantas kita kutuk dan memboikot produknya, daripada memboikot produk Amerika yang selama ini begitu membantu kampanye mengutuk Israel dan AS, termasuk kampanye antiproduk Yahudi.
Saya pernah mendapatkan satu selebaran yang berisi list produk Yahudi dan Amerika yang harus diboikot. Saya tertegun karena kertas yang saya pegang diketik dengan produk Amerika. Bukan hanya itu saja, saya juga sempat membuka blog atau komunitas solidaritas untuk Palestina yang semuanya dibuat menggunakan fasilitas yang disediakan oleh orang Amerika dan Yahudi seperti blogger, wordpress, multiply, facebook, dll.
Padahal yang seharusnya diboikot itu produk-produk orang Arab. Karena sifat ‘bencong’ mereka rakyat Palestina dikorbankan. Saya percaya, masalah Palestina tidak akan berlarut-larut seperti sekarang ini jika Negara Arab punya sikap tegas dan bersatu. Israel tidak akan berani membantai rakyat Palestina jika seluruh Negara Arab berada di shaff terdepan melawan setiap aksi biadab Israel. Palestina juga tidak membutuhkan bantuan dari kita jika seandainya saudaranya di Arab memiliki nurani.
Saya justru percaya, Palestina merupakan ladang ‘jihad’ untuk rakyatnya karena selama dikucilkan oleh tetangga-tetangganya.(HA 070209)
Tags:
pojok