Sudah cukup alasan untuk saya tidak mencoblos. Sebab, pemilu yang bakal berlangsung ini bukan pesta rakyat, tapi pesta para tuan. Rakyat hanya penggembira saja. Pemain yang sebenarnya adalah elit. Coba perhatikan dalam setiap kampanye yang hari-hari ini sedang semarak, bukankah lebih mirip orang yang sedang naik kelas—bergembira, tertawa dan sama sekali tak peduli dengan keadaan yang terjadi di rumahnya.
Saya sendiri heran saat melihat banyak rakyat larut ketika diajak menari dalam irama elit. Mereka tak sadar bahwa ketika pulang ke rumah, dapur mereka harus berasap. Mereka tak sadar ketika membuka tutop raga, tak ada isinya, kecuali nasi putih yang sudah tak panas lagi. Beruntung, ketika mereka ditawari meramaikan kampanye dikasih uang Rp50 ribu, karena jumlah tersebut lebih dari cukup untuk membeli ikan di pasar dan jadi teman makan malam. Tapi, bukankah banyak dari rakyat yang berjubel-jubel itu tak mendapatkan apa-apa, kecuali janji dan janji. Tidakkah rakyat bertanya, apakah mereka dapat hidup dengan janji-janji, yang tak pernah berhenti diproduksi itu?
Tapi bukan karena itu saya meminta rakyat tidak mencoblos. Semalam, kawan-kawan wartawan membaca kertas suara, yang disebutnya lebih besar dari ukuran bluet. Saya terus terang terganggu dengan ukuran kertas suara yang terlalu besar. Bukan hanya ribet ketika dipegang, melainkan juga membuat mata kita sakit jika harus mencari ratusan (bahkan ribuan) nama yang sedang ‘mencari kerja’ menjadi anggota dewan. Rakyat yang cerdas juga harus putar otak untuk mencari kandidat yang akan dipilihnya (karena terpikat dengan janji manis), yang kelak juga akan dilupakan oleh si pembuat janji, karena terlalu banyak nama. Jangan tanyakan bagaimana mak wa, nyak maneh, atau po limah Gampong lon akan memilih? Sebab, banyak di antara mereka tak bisa membaca. Siapa yang akan menuntun mereka untuk mencontreng kandidat yang akan dipilihnya? Lalu, jika ada yang menuntun, apakah mereka memilih sesuai dengan hati nurani?
Jika pun tak ada yang menuntun, tahukah mereka dengan orang yang akan dipilihnya? Bukankah mencari nama—yang jumlahnya ribuan—menghabiskan banyak waktu. Bukankah itu sudah mengurangi waktu mereka mencari rezeki? Karena toh orang yang dipilihnya tak bakal mampu merealisasikan janjinya dalam sekejap. Mereka harus berpikir anak-anaknya, istrinya, atau suaminya harus tetap makan, meski itu hari pencoblosan. Bukankah pemilu membuat mereka kehilangan kesempatan mencari sesuap nasi untuk keluarganya.
Belum lagi, ketika mereka ke tempat pemungutan suara, suara-suara intimidasi yang meminta mereka memilih partai tertentu membuat mereka bukan lagi pemilik sah kedaulatan. Pikiran mereka sudah dihegemoni sehingga tak bisa memberi suara sesuai hati nurani. Tak hanya intimidasi, mereka juga diancam dengan risiko bakal dibakar rumah sampai cap pengkhianat jika tak memilih partai tertentu. Padahal, dengan partai tertentu itu, tak ada jaminan kita akan sejahtera.
Duh, hari-hari ini saya menyaksikan teror atas nama politik sudah sangat dekat. Seorang kawan saya harus dipapah pulang ke rumah setelah dipukul partai tertentu. Lalu kita bertanya, apakah dengan membunuh, mengancam, meneror, dan mengintimidasi kita bisa mendapatkan simpati rakyat? Hanya rakyat bodoh yang akan memilih partai itu. Meski, partai itu merepresentasikan diri sebagai pemilik sah suara rakyat Aceh. Tapi, apakah hanya dengan sendirian, partai itu bisa memimpin Aceh? Saya belum cukup logika menjawabnya. Biarlah waktu dan rakyat Aceh yang akan menjawabnya.
Pun begitu, saya selalu berharap, rakyat kita semakin pintar, dan tidak disilaukan matanya ketika hendak memilih. Sebab, ada banyak setan sekarang berhimpun di dalam parpol, terserah apakah itu partai lokal atau partai nasional. Mereka tak mengubah apapun, kecuali nasibnya sendiri. Rakyat tetap begini-begini saja: miskin, terasing, dan jadi objek penipuan mereka. Karena itu, mari kita menjadi rakyat cerdas dan punya kuasa penuh atas suara kita. Apakah kuasa itu kita gunakan atau tidak. Tak boleh seorang pun memaksa kita memilih, apalagi jika yang harus kita pilih adalah 'setan'. Semoga mereka itu mendengar suara kita, bahwa kita sedang menolak deelat 'setan'. (HA 260309)
Saya sendiri heran saat melihat banyak rakyat larut ketika diajak menari dalam irama elit. Mereka tak sadar bahwa ketika pulang ke rumah, dapur mereka harus berasap. Mereka tak sadar ketika membuka tutop raga, tak ada isinya, kecuali nasi putih yang sudah tak panas lagi. Beruntung, ketika mereka ditawari meramaikan kampanye dikasih uang Rp50 ribu, karena jumlah tersebut lebih dari cukup untuk membeli ikan di pasar dan jadi teman makan malam. Tapi, bukankah banyak dari rakyat yang berjubel-jubel itu tak mendapatkan apa-apa, kecuali janji dan janji. Tidakkah rakyat bertanya, apakah mereka dapat hidup dengan janji-janji, yang tak pernah berhenti diproduksi itu?
Tapi bukan karena itu saya meminta rakyat tidak mencoblos. Semalam, kawan-kawan wartawan membaca kertas suara, yang disebutnya lebih besar dari ukuran bluet. Saya terus terang terganggu dengan ukuran kertas suara yang terlalu besar. Bukan hanya ribet ketika dipegang, melainkan juga membuat mata kita sakit jika harus mencari ratusan (bahkan ribuan) nama yang sedang ‘mencari kerja’ menjadi anggota dewan. Rakyat yang cerdas juga harus putar otak untuk mencari kandidat yang akan dipilihnya (karena terpikat dengan janji manis), yang kelak juga akan dilupakan oleh si pembuat janji, karena terlalu banyak nama. Jangan tanyakan bagaimana mak wa, nyak maneh, atau po limah Gampong lon akan memilih? Sebab, banyak di antara mereka tak bisa membaca. Siapa yang akan menuntun mereka untuk mencontreng kandidat yang akan dipilihnya? Lalu, jika ada yang menuntun, apakah mereka memilih sesuai dengan hati nurani?
Jika pun tak ada yang menuntun, tahukah mereka dengan orang yang akan dipilihnya? Bukankah mencari nama—yang jumlahnya ribuan—menghabiskan banyak waktu. Bukankah itu sudah mengurangi waktu mereka mencari rezeki? Karena toh orang yang dipilihnya tak bakal mampu merealisasikan janjinya dalam sekejap. Mereka harus berpikir anak-anaknya, istrinya, atau suaminya harus tetap makan, meski itu hari pencoblosan. Bukankah pemilu membuat mereka kehilangan kesempatan mencari sesuap nasi untuk keluarganya.
Belum lagi, ketika mereka ke tempat pemungutan suara, suara-suara intimidasi yang meminta mereka memilih partai tertentu membuat mereka bukan lagi pemilik sah kedaulatan. Pikiran mereka sudah dihegemoni sehingga tak bisa memberi suara sesuai hati nurani. Tak hanya intimidasi, mereka juga diancam dengan risiko bakal dibakar rumah sampai cap pengkhianat jika tak memilih partai tertentu. Padahal, dengan partai tertentu itu, tak ada jaminan kita akan sejahtera.
Duh, hari-hari ini saya menyaksikan teror atas nama politik sudah sangat dekat. Seorang kawan saya harus dipapah pulang ke rumah setelah dipukul partai tertentu. Lalu kita bertanya, apakah dengan membunuh, mengancam, meneror, dan mengintimidasi kita bisa mendapatkan simpati rakyat? Hanya rakyat bodoh yang akan memilih partai itu. Meski, partai itu merepresentasikan diri sebagai pemilik sah suara rakyat Aceh. Tapi, apakah hanya dengan sendirian, partai itu bisa memimpin Aceh? Saya belum cukup logika menjawabnya. Biarlah waktu dan rakyat Aceh yang akan menjawabnya.
Pun begitu, saya selalu berharap, rakyat kita semakin pintar, dan tidak disilaukan matanya ketika hendak memilih. Sebab, ada banyak setan sekarang berhimpun di dalam parpol, terserah apakah itu partai lokal atau partai nasional. Mereka tak mengubah apapun, kecuali nasibnya sendiri. Rakyat tetap begini-begini saja: miskin, terasing, dan jadi objek penipuan mereka. Karena itu, mari kita menjadi rakyat cerdas dan punya kuasa penuh atas suara kita. Apakah kuasa itu kita gunakan atau tidak. Tak boleh seorang pun memaksa kita memilih, apalagi jika yang harus kita pilih adalah 'setan'. Semoga mereka itu mendengar suara kita, bahwa kita sedang menolak deelat 'setan'. (HA 260309)
Tags:
pojok