Pembual

“Aku bukanlah seorang manusia, melainkan sebuah dinamit…membuat orang gelisah, itulah tugasku.”

Saya gelisah. Semua kita mungkin juga gelisah. Beberapa orang harap-harap cemas, meski tak ada peti mati yang kita siapkan. Orang-orang hanya gembira ketika pesta lima tahun datang. Tokoh-tokoh yang selama ini begitu sulit tersenyum, kini mengamalkan sunnah nabi, bahwa senyum adalah sedekah. Sementara rakyat di gampong-gampong yang hampir tak tercetak dalam peta, juga ikut bergembira. Pasalnya, makin banyak elite yang sawue mereka. Mereka ikut sejahtera.

Tapi tunggu dulu. Para elit itu bukan sedang bertaubat. Mereka bukan sudah mengubah paradigma bahwa tokoh juga sebenarnya hanya rakyat biasa, yang mendapat keberuntungan sedikit. Mereka hanya diuntungkan oleh situasi dan juga sistem. Kini, ketika sistem berubah, mereka kebingungan, dan saban hari berkunjung ke gampong-gampong yang tak ada dalam peta itu. Jika tetap mengesankan diri elitis, mereka pasti akan ditinggalkan.

Rakyat bukan lagi hamba laeh, dan mudah takluk setelah ayat-ayat suci dibacakan para pembual. Rakyat makin jeli dan sangat paham, siapa-siapa yang membaca ayat demi kursi. Sebab, di antara penjual ayat itu, banyak yang baru menghafal potongan-potongan ayat, terutama yang layak dijual. Selebihnya, tetap tak tersentuh, dan menjadi panas badannya mendengar lantunan kalam suci.

Lalu, setelah para tokoh itu makin rajin sawue gampong, dan mulai membuka lagi Al Quran yang lama tak disentuhnya, kita rakyat jelata ini bisa tidur nyenyak di rumah? Tak juga. Rakyat di gampong saya malah makin gelisah. Mereka saban hari didatangi para pembual dari macam bagoe kelompok. Semua pembual itu membual dengan bualan yang sama: “Pilih saya! Kita bangun negeri ini dengan meugah!” Betapa ego mereka.

Besoknya, datang para pembual lain, dengan bahasa-bahasa yang hampir sama. Rakyat sulit memahami bualan tersebut. Bukan hanya karena pembual berlindung di balik kebenaran ayat suci, melainkan juga karena mereka membuat rakyat bertanya-tanya arti sebuah kebenaran.

“Negeri kita akan jadi hebat jika semua pembual itu berkumpul dan mengubah bualan itu jadi kerja. Tapi, bukankah bualan tetap saja sebuah bualan?” ucapan teman saya menyadarkan saya bahwa membual saja tak cukup membangun negeri.

Tak puas sering dibuat gelisah oleh para pembual, saya membolak-balik buku tentang Nietzsche yang ditulis St. Sunardi (1996). Karena saya yakin, Nietzsche bisa menuntun saya memahami para pembual. Nietzsche dikenal sebagai orang yang tak pernah lelah mencari kebenaran. Katanya, “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa, percayalah. Jika engkau ingin murid kebenaran, carilah.” Nietzsche mengajak orang agar tidak puas pada satu keyakinan. Semua hal harus dipertanyakan, termasuk yang tabu sekalipun, jika menginginkan kebenaran.

Masalahnya, di mana kita harus mencari kebenaran? Pembual tak pernah berhenti memproduksi bualannya. Kehadiran mereka di Gampong kita membuat kita gelisah. Rakyat kita terpecah-pecah. Persatuan koyak. Ayah dan anak bertengkar. Suami-istri ribut, karena mengagumi warna yang berbeda. Dan warna itu pula, membuat Gampong kita mendidih. Darah-darah hendak ditumpahkan. Tapi, para pembual masih sanggup berucap: ‘Itulah bukti betapa tingginya kesadaran berdemokrasi masyarakat kita’. Aneh, demokrasi membuat kita boleh memaki, boleh membunuh dan boleh mengekang kebebasan orang lain. Apakah kita butuh demokrasi seperti itu?

Saya justru gelisah. Ucapan Nietzsche kembali tergiang, “Aku bukanlah seorang manusia, melainkan sebuah dinamit…membuat orang gelisah, itulah tugasku.” Dan kini, kita semua gelisah. Tapi bukan oleh dinamit, melainkan oleh hadirnya para pembual. Hom hai. (HA 190309)

Post a Comment

Previous Post Next Post