April 2043, hanya ada satu orang kiri yang membaca Koran. Demikian Philip Meyer, membuat kesimpulan. Seperti ditulis dalam The Vanishing Newspaper, empat tahun silam, Meyer membuat kesimpulan lebih radikal lagi, bahwa pembaca koran terakhir akan menghilang pada September 2043 (The last daily reader will disappear in September 2043). Semua orang terperangah dengan tesis Meyer tersebut. Benarkah nasib Koran cetak begitu tragis pada tahun 2043?
Kita tak tahu, apakah tesis itu benar-benar jadi kenyataan atau hanya sekedar peringatan Meyer, bahwa jika Koran tidak segera berbenah, bukan mustahil, bahwa pada 2043, tak ada lagi orang yang membaca Koran.
Kehadiran New Journalism berupa media online dan blog, sedikit banyak sudah membenarkan tesis Meyer. Orang-orang sekarang ini lebih gampang membaca Koran di warung kopi, sambil memainkan tombol handphone (hp) atau melalui Laptop mungilnya.
Malah, kejadian yang terjadi pada detik itu saja, langsung bisa diketahui hanya dengan membuka Hp atau Laptop. Sementara Koran, baru menyajikan berita itu keesokan harinya. Faktor kecepatan, menjadikan media online atau blog lebih unggul sedikit di depan tentang aktualitas berita.
Kita tak perlu menunggu pada tahun seperti disebutkan oleh Meyer, karena kini orang-orang mulai meninggalkan membaca Koran (kecuali di Gampong-gampong yang tak ada akses internet).
Kesimpulan Meyer tak semata-mata karena faktor aktualitas dan kecepatan. Meyer menghitung, harga-harga kertas saat itu meningkat tajam, sehingga perusahaan harus mengeluarkan cost produksi yang lebih mahal. Ketika harga kertas naik, otomatis berpengaruh terhadap biaya produksi. Karena antara pengeluaran dan pemasukan untuk perusahaan menjadi tak seimbang lagi. Apalagi, lahan iklan saat itu juga sudah mulai digarap oleh media online, di luar radio dan televisi.
Saat itulah, kata Meyer memprediksi, bahwa kuartal pertama 2043, akan menjadi saat terakhir ketika Koran cetak meninggal di Amerika, karena saat itu, hari terakhir manusia membaca Koran. Jika benar seperti digambarkan Meyer—karena tak tahan lagi dengan membengkaknya biaya produksi—maka pemilik Koran memilih untuk tak terbit lagi.
Jika masih hidup pada tahun 2043 seperti disebutkan Meyer, kita akan menyaksikan pemandangan sangat aneh: dunia bebas dari Koran cetak. Tragis sekali. Penemuan Julius Caesar, penguasa Roma, seperti kita baca dalam buku-buku sejarah lahirnya jurnalistik, ketika untuk pertama kalinya menggunakan lempengan batu dan kayu menuliskan pengumuman-pengumuman penting untuk para pembantu dan juga informasi bagi rakyatnya, hanya menjadi sejarah usang. Orang-orang yang lahir pada masa depan akan lupa, bahwa sejarah media cetak yang kita kenal hari ini, bermula dari Acta Diurna, seperti diperkenalkan Julius Caesar.
Kita juga akan lupa dengan Laurens J. Coster, yang menemukan mesin cetak untuk pertama kali, sebelum dikembangkan Guttenberg. Kita akan lupa bahwa atas jasa Guttenberg-lah, kita bisa membaca Koran hari ini. Semua itu hanya tinggal kenangan.
Saya sendiri ketika membaca tesis Meyer, setengah tak percaya. Soalnya, jika benar pada tahun 2043 koran akan mati, berarti dunia saat itu pasti demikian canggih. Interaksi antar manusia dilakukan tak lagi berbentuk tatap muka. Masing-masing orang masih bisa berhubungan meski perbedaan jarak ratusan mil.
Orang-orang juga mengakses internet, tanpa terkendala. Di Gampong-gampong kita yang hari ini belum tersambung jaringan telepon, pada tahun 2043 nantinya semua rumah memiliki internet. Komunikasi dengan tetangga juga dilakukan via internet. Semua hal menggunakan fasilitas internet. Akibatnya, manusia tak bisa membebaskan diri dari internet.
Ketika dunia begitu canggihnya, silaturahmi antar manusia bisa dilakukan secara lebih intens, meski tanpa bertatap muka. Manusia-manusia menjadi sangat individualis, mengurung diri di kamar, tanpa perlu berhubungan dengan manusia lain. Sebab, dengan mengurung diri di kamar, manusia masih bisa mengetahui perkembangan di luar, masih bisa berbicara dengan tetangga, seperti menggunakan fasilitas chatting, yang sekarang saja sudah menjamur.
Koran Terus Berguguran
Ketika semua terkoneksi internet, manusia hanya cukup duduk di kamar, dan semua informasi dari belahan dunia tersaji di depan mata. Orang-orang tak perlu lagi membaca Koran, jika sekedar membaca berita-berita terbaru. Akibatnya, oplah Koran juga akan menurun, karena orang-orang beralih ke media online.
Sebuah fakta menarik patut dicatat. Di Amerika Serikat, seperti disampaikan Gene Mater, jumlah Koran terus menurun sejak tahun 1959. Tercatat, sebanyak 300 ribu lebih Koran sudah tutup sejak itu. Penyebabnya, tak lain karena keuntungan dari Koran yang terus menurun, sejak lahirnya media online.
Wally Dean, direktur online broadcast di Committee of Concerned Journalistics (CCJ) seperti dikutip Detikcom, mencatat hal yang sama. Oplah Koran, sebutnya, terus menurun seiring pesatnya perkembangan media online. Oplah tersebut turun sebesar 1 persen setiap tahunnya dalam 20 tahun terakhir ini.
Malah, sebut Dean, dewasa ini pembaca media cetak mulai beralih ke media online. Persentasenya juga lumayan besar, sebesar 50 persen. Hal itu terjadi, karena banyak manusia menjadi semakin sibuk, sehingga setiap detik waktu adalah sangat bermakna. Mereka hampir tidak memiliki waktu untuk sekedar membaca Koran pagi. Sejak pagi mereka sudah harus berangkat ke kantor, dan pulangnya sudah larut malam. Mereka tak sempat lagi membuka Koran. Alternatif satu-satunya agar tetap ter-update dengan informasi terbaru, mereka cukup membuka handphone, dan mengakses informasi yang mereka butuhkan.
Berita terbaru yang kita baca dari media menunjukkan bukti bahwa sejumlah Koran di Amerika terpaksa gulung tikar, selain karena oplah terus merosot juga orang-orang mulai berpaling ke media online. Bayangkan saja, Tribune Company yang memiliki Koran-koran besar seperti Los Angeles Times, Chicago Tribune, dan lain-lain mengajukan diri bangkrut.
Keputusan itu diambil Tribune Company setelah pemasukan mereka turun cukup tajam, dan juga menanggung hutang 13 miliar dollar AS.
Nasib yang sama dialami surat kabar The Philadelphia Inquire dan Philadelphia Daily News. Minggu (22/2), mereka mangajukan bangkrut. Philadelphia Newaspaper Inc, milik Philadelphia Media Holding LLC, merupakan perusahaan surat kabar kedua yang mengajukan diri bangkrut dalam waktu dua hari atau yang keempat dalam beberapa bulan terakhir. Perusahaan ini diperkirakan memiliki sebesar US$390 juta.
Seperti tak ingin mengalami nasib seperti Koran lainnya di Amerika, Rocky Mountain News, Koran nomor satu dan terbesar di Colorado, Amerika Serikat beralih ke media online di www.iwantmyrocky.com. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan Koran yang sudah berdiri selama 150 tahun. Perusahaan ini mengumumkan kehilangan pendapatan USD 11 juta atau sekitar Rp11 miliar dalam kurun waktu Sembilan bulan.
Kenapa nasib Koran cetak begitu tragis? Salah satu faktornya karena hartas kertas yang melambung tinggi.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Seperti dipublikasikan milis Media Care, sepanjang tahun 2000-2002, 1.300 penerbitan sudah gulung tikar. Media-media berguguran, selain tidak mampu bersaing dengan media online yang menjamur juga karena harga kertas yang terus meroket.
Blog dan Media Online
Seperti disinggung di atas, kehadiran blog dan juga media online yang menjamur akhir-akhir ini berpengaruh terhadap media cetak. Saya sendiri akhir-akhir ini jarang membaca Koran. Hampir setiap kesempatan saya mengakses internet untuk mengetahui berita-berita terbaru, baik melalui Laptop maupun via hp. Saya hampir tak pernah ketinggalan berita terkini. Bahkan, sambil ngopi-ngopi bareng teman di Solong, saya selalu menyempatkan diri membuka situs berita, blog dan sekarang facebook. Situs yang terakhir, sudah tiga hari saya non-aktifkan, karena terlalu memperbudak saya, sehingga menjadi tidak produktif.
Apa yang saya lakukan juga sering dilakukan para eksekutif muda, para caleg, aktivis atau pekerja ngo. Mereka selalu meng-update informasi terbaru via hp atau laptop, yang terkoneksi internet. Mereka mengaku tak mau ketinggalan dengan informasi terbaru. “Saya tidak perlu menunggu besok hanya untuk mengetahui kejadian yang baru saja terjadi,” begitu mereka beralasan.
Mengantisipasi hal itu, beberapa media besar, mulai mengembangkan edisi online untuk Koran yang diterbitkannya. Kebijakan itu ditempuh untuk memanjakan pembacanya dengan berita-berita terbaru. Selain itu, agar tidak dianggap menoton, sekedar memaksakan berita ke pembaca, beberapa media juga mulai membangun interaksi dengan pembacanya melalui blog, di mana para pembaca juga dapat berpartisipasi membagi informasi kepada pembaca lain. Banyak juga Media yang mengembangkan format citizens journalism sehingga orang tak hanya menikmati berita, melainkan juga membagi berita.
Nah, ketika semua orang kini bisa mengakses informasi di mana saja, termasuk berita-terbaru, masihkah Koran dibutuhkan? Bukankah masa depan Koran kian terancam, dengan menjamurnya media online dan blog. Apakah media cetak akan ditinggalkan pembacannya? Kita ragu menjawabnya, karena ramalan Meyer masih terlalu lama. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.dbs
Harian Aceh, Minggu 080309
Kita tak tahu, apakah tesis itu benar-benar jadi kenyataan atau hanya sekedar peringatan Meyer, bahwa jika Koran tidak segera berbenah, bukan mustahil, bahwa pada 2043, tak ada lagi orang yang membaca Koran.
Kehadiran New Journalism berupa media online dan blog, sedikit banyak sudah membenarkan tesis Meyer. Orang-orang sekarang ini lebih gampang membaca Koran di warung kopi, sambil memainkan tombol handphone (hp) atau melalui Laptop mungilnya.
Malah, kejadian yang terjadi pada detik itu saja, langsung bisa diketahui hanya dengan membuka Hp atau Laptop. Sementara Koran, baru menyajikan berita itu keesokan harinya. Faktor kecepatan, menjadikan media online atau blog lebih unggul sedikit di depan tentang aktualitas berita.
Kita tak perlu menunggu pada tahun seperti disebutkan oleh Meyer, karena kini orang-orang mulai meninggalkan membaca Koran (kecuali di Gampong-gampong yang tak ada akses internet).
Kesimpulan Meyer tak semata-mata karena faktor aktualitas dan kecepatan. Meyer menghitung, harga-harga kertas saat itu meningkat tajam, sehingga perusahaan harus mengeluarkan cost produksi yang lebih mahal. Ketika harga kertas naik, otomatis berpengaruh terhadap biaya produksi. Karena antara pengeluaran dan pemasukan untuk perusahaan menjadi tak seimbang lagi. Apalagi, lahan iklan saat itu juga sudah mulai digarap oleh media online, di luar radio dan televisi.
Saat itulah, kata Meyer memprediksi, bahwa kuartal pertama 2043, akan menjadi saat terakhir ketika Koran cetak meninggal di Amerika, karena saat itu, hari terakhir manusia membaca Koran. Jika benar seperti digambarkan Meyer—karena tak tahan lagi dengan membengkaknya biaya produksi—maka pemilik Koran memilih untuk tak terbit lagi.
Jika masih hidup pada tahun 2043 seperti disebutkan Meyer, kita akan menyaksikan pemandangan sangat aneh: dunia bebas dari Koran cetak. Tragis sekali. Penemuan Julius Caesar, penguasa Roma, seperti kita baca dalam buku-buku sejarah lahirnya jurnalistik, ketika untuk pertama kalinya menggunakan lempengan batu dan kayu menuliskan pengumuman-pengumuman penting untuk para pembantu dan juga informasi bagi rakyatnya, hanya menjadi sejarah usang. Orang-orang yang lahir pada masa depan akan lupa, bahwa sejarah media cetak yang kita kenal hari ini, bermula dari Acta Diurna, seperti diperkenalkan Julius Caesar.
Kita juga akan lupa dengan Laurens J. Coster, yang menemukan mesin cetak untuk pertama kali, sebelum dikembangkan Guttenberg. Kita akan lupa bahwa atas jasa Guttenberg-lah, kita bisa membaca Koran hari ini. Semua itu hanya tinggal kenangan.
Saya sendiri ketika membaca tesis Meyer, setengah tak percaya. Soalnya, jika benar pada tahun 2043 koran akan mati, berarti dunia saat itu pasti demikian canggih. Interaksi antar manusia dilakukan tak lagi berbentuk tatap muka. Masing-masing orang masih bisa berhubungan meski perbedaan jarak ratusan mil.
Orang-orang juga mengakses internet, tanpa terkendala. Di Gampong-gampong kita yang hari ini belum tersambung jaringan telepon, pada tahun 2043 nantinya semua rumah memiliki internet. Komunikasi dengan tetangga juga dilakukan via internet. Semua hal menggunakan fasilitas internet. Akibatnya, manusia tak bisa membebaskan diri dari internet.
Ketika dunia begitu canggihnya, silaturahmi antar manusia bisa dilakukan secara lebih intens, meski tanpa bertatap muka. Manusia-manusia menjadi sangat individualis, mengurung diri di kamar, tanpa perlu berhubungan dengan manusia lain. Sebab, dengan mengurung diri di kamar, manusia masih bisa mengetahui perkembangan di luar, masih bisa berbicara dengan tetangga, seperti menggunakan fasilitas chatting, yang sekarang saja sudah menjamur.
Koran Terus Berguguran
Ketika semua terkoneksi internet, manusia hanya cukup duduk di kamar, dan semua informasi dari belahan dunia tersaji di depan mata. Orang-orang tak perlu lagi membaca Koran, jika sekedar membaca berita-berita terbaru. Akibatnya, oplah Koran juga akan menurun, karena orang-orang beralih ke media online.
Sebuah fakta menarik patut dicatat. Di Amerika Serikat, seperti disampaikan Gene Mater, jumlah Koran terus menurun sejak tahun 1959. Tercatat, sebanyak 300 ribu lebih Koran sudah tutup sejak itu. Penyebabnya, tak lain karena keuntungan dari Koran yang terus menurun, sejak lahirnya media online.
Wally Dean, direktur online broadcast di Committee of Concerned Journalistics (CCJ) seperti dikutip Detikcom, mencatat hal yang sama. Oplah Koran, sebutnya, terus menurun seiring pesatnya perkembangan media online. Oplah tersebut turun sebesar 1 persen setiap tahunnya dalam 20 tahun terakhir ini.
Malah, sebut Dean, dewasa ini pembaca media cetak mulai beralih ke media online. Persentasenya juga lumayan besar, sebesar 50 persen. Hal itu terjadi, karena banyak manusia menjadi semakin sibuk, sehingga setiap detik waktu adalah sangat bermakna. Mereka hampir tidak memiliki waktu untuk sekedar membaca Koran pagi. Sejak pagi mereka sudah harus berangkat ke kantor, dan pulangnya sudah larut malam. Mereka tak sempat lagi membuka Koran. Alternatif satu-satunya agar tetap ter-update dengan informasi terbaru, mereka cukup membuka handphone, dan mengakses informasi yang mereka butuhkan.
Berita terbaru yang kita baca dari media menunjukkan bukti bahwa sejumlah Koran di Amerika terpaksa gulung tikar, selain karena oplah terus merosot juga orang-orang mulai berpaling ke media online. Bayangkan saja, Tribune Company yang memiliki Koran-koran besar seperti Los Angeles Times, Chicago Tribune, dan lain-lain mengajukan diri bangkrut.
Keputusan itu diambil Tribune Company setelah pemasukan mereka turun cukup tajam, dan juga menanggung hutang 13 miliar dollar AS.
Nasib yang sama dialami surat kabar The Philadelphia Inquire dan Philadelphia Daily News. Minggu (22/2), mereka mangajukan bangkrut. Philadelphia Newaspaper Inc, milik Philadelphia Media Holding LLC, merupakan perusahaan surat kabar kedua yang mengajukan diri bangkrut dalam waktu dua hari atau yang keempat dalam beberapa bulan terakhir. Perusahaan ini diperkirakan memiliki sebesar US$390 juta.
Seperti tak ingin mengalami nasib seperti Koran lainnya di Amerika, Rocky Mountain News, Koran nomor satu dan terbesar di Colorado, Amerika Serikat beralih ke media online di www.iwantmyrocky.com. Hal itu dilakukan untuk menyelamatkan Koran yang sudah berdiri selama 150 tahun. Perusahaan ini mengumumkan kehilangan pendapatan USD 11 juta atau sekitar Rp11 miliar dalam kurun waktu Sembilan bulan.
Kenapa nasib Koran cetak begitu tragis? Salah satu faktornya karena hartas kertas yang melambung tinggi.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Seperti dipublikasikan milis Media Care, sepanjang tahun 2000-2002, 1.300 penerbitan sudah gulung tikar. Media-media berguguran, selain tidak mampu bersaing dengan media online yang menjamur juga karena harga kertas yang terus meroket.
Blog dan Media Online
Seperti disinggung di atas, kehadiran blog dan juga media online yang menjamur akhir-akhir ini berpengaruh terhadap media cetak. Saya sendiri akhir-akhir ini jarang membaca Koran. Hampir setiap kesempatan saya mengakses internet untuk mengetahui berita-berita terbaru, baik melalui Laptop maupun via hp. Saya hampir tak pernah ketinggalan berita terkini. Bahkan, sambil ngopi-ngopi bareng teman di Solong, saya selalu menyempatkan diri membuka situs berita, blog dan sekarang facebook. Situs yang terakhir, sudah tiga hari saya non-aktifkan, karena terlalu memperbudak saya, sehingga menjadi tidak produktif.
Apa yang saya lakukan juga sering dilakukan para eksekutif muda, para caleg, aktivis atau pekerja ngo. Mereka selalu meng-update informasi terbaru via hp atau laptop, yang terkoneksi internet. Mereka mengaku tak mau ketinggalan dengan informasi terbaru. “Saya tidak perlu menunggu besok hanya untuk mengetahui kejadian yang baru saja terjadi,” begitu mereka beralasan.
Mengantisipasi hal itu, beberapa media besar, mulai mengembangkan edisi online untuk Koran yang diterbitkannya. Kebijakan itu ditempuh untuk memanjakan pembacanya dengan berita-berita terbaru. Selain itu, agar tidak dianggap menoton, sekedar memaksakan berita ke pembaca, beberapa media juga mulai membangun interaksi dengan pembacanya melalui blog, di mana para pembaca juga dapat berpartisipasi membagi informasi kepada pembaca lain. Banyak juga Media yang mengembangkan format citizens journalism sehingga orang tak hanya menikmati berita, melainkan juga membagi berita.
Nah, ketika semua orang kini bisa mengakses informasi di mana saja, termasuk berita-terbaru, masihkah Koran dibutuhkan? Bukankah masa depan Koran kian terancam, dengan menjamurnya media online dan blog. Apakah media cetak akan ditinggalkan pembacannya? Kita ragu menjawabnya, karena ramalan Meyer masih terlalu lama. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.dbs
Harian Aceh, Minggu 080309
Tags:
Essay