Saya ingin bercerita tentang Apa Dollah. Umurnya sudah melebihi 70-an. Tapi di usianya yang renta, dia masih mampu tersenyum. Tak tampak wajahnya berkerut. Kulitnya masih kencang. Dia terlihat masih kuat, seperti saat zaman perang dengan Belanda dan Jepang. Pun begitu, dia sama sekali tak masuk dalam kategori tokoh, karena hanya tentara biasa. Apa Dollah kembali jadi rakyat ketika perang sudah usai.
Meskipun dia pernah berjasa pada negeri ini, tetapi tak pernah sekali pun Koran mengutip pernyataannya. Pasalnya dia bukan tokoh terkenal atau pejabat penting. Surat kabar sekarang lebih suka mengutip pernyataan tokoh-tokoh penting atau pejabat. Jadilah, nama Apa Dollah tenggelam bagai ditelan bumi.
Namun, saya ingin membuat sejarah dan menjadi orang pertama yang memasukkan nama Apa Dollah dalam surat kabar. Harapan saya hanya agar dia masih tetap tersenyum meski ajalnya hampir tiba. Bukan apa-apa, karena ada lusinan cucunya ingin mendengar kisah heroiknya ketika bertempur melawan Belanda dan Jepang dengan bermodalkan sebilah rencong.
Sebenarnya, masa muda Apa Dollah tak begitu menarik diceritakan. Dia hanya penjual pakaian keliling. Tapi, pengaruh Hikayat Prang Sabi menyadarkannya, dan membiusnya untuk berperang melawan Kaphe Belanda. Apa Dollah terpengaruh dengan salah satu syair karangan Tgk Syik Pante Kulu, bahwa akan ada ribuan bidadari menyambutnya jika syahid dalam perang sabil tersebut.
Namun, harapan Apa Dollah bertemu bidadari idamannya tak terwujud, karena perang tak mengakhiri hidupnya. Jadilah Apa Dollah masih hidup hingga kini, besok atau sampai lusa, sebelum ajal menjemputnya.
Saya bertemu dia di sebuah rangkang di pinggir sawah. Pertemuan dengannya sama sekali tak layak disebut bersejarah, karena tak ada para petinggi atau orang berpengaruh yang mempertemukannya. Pertemuan kami jadinya tak layak disebut pertemuan politik, karena kami berdua bukan politisi. Yang saya ingat, selepas membuang hajat di WC di ujung desa, saya mampir sebentar di pos jaga melepaskan penat. Tak lama, Apa Dollah dengan bersenjatakan parang puntong, ikut beristirahat di bale yang terkenal di Kampung kami.
“Hai aneuk muda, pue katrep neupiyoh hek di sinoe (Hai anak muda, apa sudah lama singgah di sini)?” tanyanya.
Saya maklum saja ketika Apa Dollah tak menyebut nama saya. Karena sebelumnya, kami tak pernah bicara. Saya juga jarang pulang kampung kecuali ada momen penting seperti Hari Raya, Maulid atau ada kawinan saudara.
“Hana trep lom, ban lon piyoh mantong (Belum lama, baru saja saya singgah),” jawab saya.
Setelah bicara beberapa lama, saya jadi tahu kalau dia Apa Dollah, orang yang pernah diisukan meninggal karena tidak pulang ke kampung selama 5 tahun.
Kami pun terlibat pembicaraan serius. Apa Dollah bercerita tentang kisah masa silamnya yang begitu heroik. Saat bercerita, sesekali suaranya meninggi, tapi tak sampai memekak telinga. Semangatnya masih semangat muda, padahal usianya sudah menjelang senja.
Kami lama bercerita, dari soal padi yang mati kekeringan hingga soal pembebasan lahan warga yang tidak dibayar dengan harga semestinya. Sesekali Apa Dollah menyumpahi pemerintah yang menurutnya masih abai dengan kesejahteraan rakyat. Pejabat, katanya, tidak diajarkan sifat sombong, lebih-lebih kepada rakyat yang memilihnya. Apa Dollah wajar mengatakan itu, karena hingga kini, tak sekalipun dia melihat pemimpin yang dipilihnya salat Jumat di Masjid yang puluhan tahun silam sudah berdiri di kampungnya.
Saya hanya diam saja mendengar omongannya, dan tak sedikitpun menyanggahnya. Dia berbicara terus, tanpa henti. Tak sekalipun saya potong. Meski dalam hati saya sempat mengomel, apakah bicara tak henti dapat disebut komunikasi?
Kini, saya tak pernah bertemu dengannya lagi. Saya jarang pulang. Jika pun pulang, hampir tak pernah bisa bicara dengannya di bale yang terletak di ujung desa.
Terakhir, saya dapat kabar, Apa Dollah menghembuskan nafas terakhir, tanda nyawa terpisah dari tubuh kekarnya. Orang-orang di kampung menyebut, meninggalnya Apa Dollah melalui proses normal, tanpa mengidap penyakit apapun. Saya tak puas. Karena menurut saya, meninggal Apa Dollah pasti ada apa-apanya.
Dari teman dekat, saya dapat bocoran informasi, bahwa Apa Dollah meninggal dunia karena tak tahan dengan fenomena politik yang terjadi di daerahnya. Pasalnya, ada ribuan calon anggota legislatif (Caleg) yang menjual tampang di setiap sudut Gampong, simpang jalan atau bangunan. Apa Dollah yang sudah hidup tiga zaman bingung, dan tidak tahu harus memilih siapa. Setiap melihat gambar Caleg, dia selalu bingung menjatuhkan pilihan. Akibatnya sangat fatal: meninggal.
Saya yang mendengar kisah teman saya itu, jadi terkejut. Bagaimana mungkin, sosok yang begitu mendambakan mati syahid saat perang dengan Belanda dan Jepang, meninggal gara-gara tidak tahu harus memilih partai atau Caleg mana dalam Pemilu April nanti. Hah! (HA 140309)
Meskipun dia pernah berjasa pada negeri ini, tetapi tak pernah sekali pun Koran mengutip pernyataannya. Pasalnya dia bukan tokoh terkenal atau pejabat penting. Surat kabar sekarang lebih suka mengutip pernyataan tokoh-tokoh penting atau pejabat. Jadilah, nama Apa Dollah tenggelam bagai ditelan bumi.
Namun, saya ingin membuat sejarah dan menjadi orang pertama yang memasukkan nama Apa Dollah dalam surat kabar. Harapan saya hanya agar dia masih tetap tersenyum meski ajalnya hampir tiba. Bukan apa-apa, karena ada lusinan cucunya ingin mendengar kisah heroiknya ketika bertempur melawan Belanda dan Jepang dengan bermodalkan sebilah rencong.
Sebenarnya, masa muda Apa Dollah tak begitu menarik diceritakan. Dia hanya penjual pakaian keliling. Tapi, pengaruh Hikayat Prang Sabi menyadarkannya, dan membiusnya untuk berperang melawan Kaphe Belanda. Apa Dollah terpengaruh dengan salah satu syair karangan Tgk Syik Pante Kulu, bahwa akan ada ribuan bidadari menyambutnya jika syahid dalam perang sabil tersebut.
Namun, harapan Apa Dollah bertemu bidadari idamannya tak terwujud, karena perang tak mengakhiri hidupnya. Jadilah Apa Dollah masih hidup hingga kini, besok atau sampai lusa, sebelum ajal menjemputnya.
Saya bertemu dia di sebuah rangkang di pinggir sawah. Pertemuan dengannya sama sekali tak layak disebut bersejarah, karena tak ada para petinggi atau orang berpengaruh yang mempertemukannya. Pertemuan kami jadinya tak layak disebut pertemuan politik, karena kami berdua bukan politisi. Yang saya ingat, selepas membuang hajat di WC di ujung desa, saya mampir sebentar di pos jaga melepaskan penat. Tak lama, Apa Dollah dengan bersenjatakan parang puntong, ikut beristirahat di bale yang terkenal di Kampung kami.
“Hai aneuk muda, pue katrep neupiyoh hek di sinoe (Hai anak muda, apa sudah lama singgah di sini)?” tanyanya.
Saya maklum saja ketika Apa Dollah tak menyebut nama saya. Karena sebelumnya, kami tak pernah bicara. Saya juga jarang pulang kampung kecuali ada momen penting seperti Hari Raya, Maulid atau ada kawinan saudara.
“Hana trep lom, ban lon piyoh mantong (Belum lama, baru saja saya singgah),” jawab saya.
Setelah bicara beberapa lama, saya jadi tahu kalau dia Apa Dollah, orang yang pernah diisukan meninggal karena tidak pulang ke kampung selama 5 tahun.
Kami pun terlibat pembicaraan serius. Apa Dollah bercerita tentang kisah masa silamnya yang begitu heroik. Saat bercerita, sesekali suaranya meninggi, tapi tak sampai memekak telinga. Semangatnya masih semangat muda, padahal usianya sudah menjelang senja.
Kami lama bercerita, dari soal padi yang mati kekeringan hingga soal pembebasan lahan warga yang tidak dibayar dengan harga semestinya. Sesekali Apa Dollah menyumpahi pemerintah yang menurutnya masih abai dengan kesejahteraan rakyat. Pejabat, katanya, tidak diajarkan sifat sombong, lebih-lebih kepada rakyat yang memilihnya. Apa Dollah wajar mengatakan itu, karena hingga kini, tak sekalipun dia melihat pemimpin yang dipilihnya salat Jumat di Masjid yang puluhan tahun silam sudah berdiri di kampungnya.
Saya hanya diam saja mendengar omongannya, dan tak sedikitpun menyanggahnya. Dia berbicara terus, tanpa henti. Tak sekalipun saya potong. Meski dalam hati saya sempat mengomel, apakah bicara tak henti dapat disebut komunikasi?
Kini, saya tak pernah bertemu dengannya lagi. Saya jarang pulang. Jika pun pulang, hampir tak pernah bisa bicara dengannya di bale yang terletak di ujung desa.
Terakhir, saya dapat kabar, Apa Dollah menghembuskan nafas terakhir, tanda nyawa terpisah dari tubuh kekarnya. Orang-orang di kampung menyebut, meninggalnya Apa Dollah melalui proses normal, tanpa mengidap penyakit apapun. Saya tak puas. Karena menurut saya, meninggal Apa Dollah pasti ada apa-apanya.
Dari teman dekat, saya dapat bocoran informasi, bahwa Apa Dollah meninggal dunia karena tak tahan dengan fenomena politik yang terjadi di daerahnya. Pasalnya, ada ribuan calon anggota legislatif (Caleg) yang menjual tampang di setiap sudut Gampong, simpang jalan atau bangunan. Apa Dollah yang sudah hidup tiga zaman bingung, dan tidak tahu harus memilih siapa. Setiap melihat gambar Caleg, dia selalu bingung menjatuhkan pilihan. Akibatnya sangat fatal: meninggal.
Saya yang mendengar kisah teman saya itu, jadi terkejut. Bagaimana mungkin, sosok yang begitu mendambakan mati syahid saat perang dengan Belanda dan Jepang, meninggal gara-gara tidak tahu harus memilih partai atau Caleg mana dalam Pemilu April nanti. Hah! (HA 140309)
Tags:
pojok