Pemilu sudah usai. Tak ada insiden kekerasan. Di semua wilayah, prosesi pemilihan berjalan lancar, meskipun ada laporan terjadi intimidasi dan pemaksaan untuk memilih partai tertentu. Tetapi, tak ada kekerasan fisik yang bisa mencoreng pelaksanaan Pemilu damai. Kondisi ini semakin membuktikan, bahwa rakyat Aceh bisa menjaga suasana perdamaian, dan mampu berpolitik secara santun. Hal ini tentu saja berbeda di tempat-tempat lain, di mana pelaksanaan Pemilu sering berwujud dan berakhir dengan aksi anarkis.
Padahal sebelumnya, menjelang pelaksanaan Pemilu, kondisi Aceh memanas. Setiap hari kita disuguhi berita penggranatan sekretariat Partai, pembunuhan atau penembakan pengurus partai, sertai berita tentang penghilangan atau perusakan atribut sejumlah partai. Namun, ketegangan itu hanya terjadi setelah Pemilu berlangsung. Saat pelaksanaan pemilu, kita tak mendengar ada TPS yang dibakar, ada petugas pemilihan yang kena bogem, atau perusakan kertas suara. Pemilu berjalan tertib, meski intimidasi dilaporkan masih terjadi. Tetapi, secara keseluruhan, Pemilu di Aceh tanpa insiden.
Kini, masyarakat menunggu hasil Pemilu. Meski, secara samar-samar tapi pasti, pemenangnya pun sudah diketahui: Partai Aceh unggul. Malah, sebenarnya, sebelum Pemilu dilakukan, hasilnya sudah bisa diprediksi, karena hampir di semua wilayah posisi Partai Aceh berada di atas angin. Saat masa kampanye, massa PA mengalahkan massa partai lain, baik lokal maupun nasional. Selain itu, infiltrasi mereka di Gampong-gampong menguat. Struktur mereka berjalan, dan itu menguntungkan, karena mereka selalu berada di dalam masyarakat.
Menarik disimak adalah, kemenangan Partai Aceh juga diikuti dengan perolehan suara Partai Demokrat yang cukup signifikan.Bisa disebut, kemenangan keduanya merupakan kemenangan militansi dan juga kemenangan untuk mempertahankan perdamaian, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti sering didengungkan petinggi PA di media.
Dari kemenangan tersebut terbaca, PA dan Demokrat berjalan beriringan, seperti sudah ada ‘komando’ yang mengaturnya. Sebut saja, posisi Sofyan Dawood, sebagai koordinator pemenangan SBY di Aceh dan beberapa provinsi di Sumatera, dan pada kampanye terakhir PA bertindak sebagai Juru Kampanye. Selain itu, kepemimpinan Kodam di Aceh yang dipimpin mantan Danjen Kopassus, seperti membenarkan, bahwa ada ‘komando’ yang mengatur kemenangan PA dan Demokrat, karena Danjen Kopassus sekarang adalah famili sang Presiden.
Terlepas dari asumsi-asumsi tersebut, kita berharap, kemenangan PA dan Demokrat di Aceh, harus dibaca sebagai keinginan orang Aceh untuk terus mendukung perdamaian. Kepemimpinan SBY dianggap bisa merawat perdamaian secara berkelanjutan.
Selain itu, kita berharap kemenangan PA dan Demokrat tidak dipahami sebagai kemenangan kelompok, melainkan kemenangan seluruh rakyat Aceh, seperti tercermin dalam pernyataan Ketua DPA Partai Aceh, Muzakkir Manaf, yang menyebutkan bahwa kemenangan PA sebagai kemenangan rakyat Aceh. Kemenangan mutlak tersebut, hendaknya tidak menjadikan PA merasa sudah di atas angin, dan karena itu mengabaikan keberadaan komponen-komponen yang lain. Kita sangat berharap, tidak terjadi tirani mayoritas yang justru menggiring Aceh dalam kondisi tidak menentu. Sebab, seperti kita yakini bersama, untuk mengubah Aceh tidak cukup mengandalkan satu kelompok saja, melainkan perlu melibatkan kelompok lain, yang juga memiliki peran dan pendapat. Pendapat-pendapat mereka juga perlu didengar.
Kemenangan itu juga harus dipahami sebagai kemauan untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Pasalnya, memenangkan Pemilu demi sebuah kursi atau kekuasaan bukanlah segala-galanya. Hakikat demokrasi bukan siapa mengalahkan siapa, melainkan bagaimana amanah yang diberikan oleh rakyat dijaga dan dipergunakan seperlunya. Banyak hal dan masalah yang mesti diselesaikan. Seperti, misalnya, bagaimana menjaga keberlanjutan perdamaian Aceh, termasuk memperjuangkan penyempurnaan UU PA. Itulah Aceh, tapi nyata!(HA 110409)
Padahal sebelumnya, menjelang pelaksanaan Pemilu, kondisi Aceh memanas. Setiap hari kita disuguhi berita penggranatan sekretariat Partai, pembunuhan atau penembakan pengurus partai, sertai berita tentang penghilangan atau perusakan atribut sejumlah partai. Namun, ketegangan itu hanya terjadi setelah Pemilu berlangsung. Saat pelaksanaan pemilu, kita tak mendengar ada TPS yang dibakar, ada petugas pemilihan yang kena bogem, atau perusakan kertas suara. Pemilu berjalan tertib, meski intimidasi dilaporkan masih terjadi. Tetapi, secara keseluruhan, Pemilu di Aceh tanpa insiden.
Kini, masyarakat menunggu hasil Pemilu. Meski, secara samar-samar tapi pasti, pemenangnya pun sudah diketahui: Partai Aceh unggul. Malah, sebenarnya, sebelum Pemilu dilakukan, hasilnya sudah bisa diprediksi, karena hampir di semua wilayah posisi Partai Aceh berada di atas angin. Saat masa kampanye, massa PA mengalahkan massa partai lain, baik lokal maupun nasional. Selain itu, infiltrasi mereka di Gampong-gampong menguat. Struktur mereka berjalan, dan itu menguntungkan, karena mereka selalu berada di dalam masyarakat.
Menarik disimak adalah, kemenangan Partai Aceh juga diikuti dengan perolehan suara Partai Demokrat yang cukup signifikan.Bisa disebut, kemenangan keduanya merupakan kemenangan militansi dan juga kemenangan untuk mempertahankan perdamaian, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti sering didengungkan petinggi PA di media.
Dari kemenangan tersebut terbaca, PA dan Demokrat berjalan beriringan, seperti sudah ada ‘komando’ yang mengaturnya. Sebut saja, posisi Sofyan Dawood, sebagai koordinator pemenangan SBY di Aceh dan beberapa provinsi di Sumatera, dan pada kampanye terakhir PA bertindak sebagai Juru Kampanye. Selain itu, kepemimpinan Kodam di Aceh yang dipimpin mantan Danjen Kopassus, seperti membenarkan, bahwa ada ‘komando’ yang mengatur kemenangan PA dan Demokrat, karena Danjen Kopassus sekarang adalah famili sang Presiden.
Terlepas dari asumsi-asumsi tersebut, kita berharap, kemenangan PA dan Demokrat di Aceh, harus dibaca sebagai keinginan orang Aceh untuk terus mendukung perdamaian. Kepemimpinan SBY dianggap bisa merawat perdamaian secara berkelanjutan.
Selain itu, kita berharap kemenangan PA dan Demokrat tidak dipahami sebagai kemenangan kelompok, melainkan kemenangan seluruh rakyat Aceh, seperti tercermin dalam pernyataan Ketua DPA Partai Aceh, Muzakkir Manaf, yang menyebutkan bahwa kemenangan PA sebagai kemenangan rakyat Aceh. Kemenangan mutlak tersebut, hendaknya tidak menjadikan PA merasa sudah di atas angin, dan karena itu mengabaikan keberadaan komponen-komponen yang lain. Kita sangat berharap, tidak terjadi tirani mayoritas yang justru menggiring Aceh dalam kondisi tidak menentu. Sebab, seperti kita yakini bersama, untuk mengubah Aceh tidak cukup mengandalkan satu kelompok saja, melainkan perlu melibatkan kelompok lain, yang juga memiliki peran dan pendapat. Pendapat-pendapat mereka juga perlu didengar.
Kemenangan itu juga harus dipahami sebagai kemauan untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Pasalnya, memenangkan Pemilu demi sebuah kursi atau kekuasaan bukanlah segala-galanya. Hakikat demokrasi bukan siapa mengalahkan siapa, melainkan bagaimana amanah yang diberikan oleh rakyat dijaga dan dipergunakan seperlunya. Banyak hal dan masalah yang mesti diselesaikan. Seperti, misalnya, bagaimana menjaga keberlanjutan perdamaian Aceh, termasuk memperjuangkan penyempurnaan UU PA. Itulah Aceh, tapi nyata!(HA 110409)
Tags:
editorial