Hah…ternyata hari ini, Kamis (9/4) Pemilu. Saya hampir saja lupa jika tak diingatkan kawan. “Hp lon ka heng,” katanya. Saya heran, apa hubungannya Hp heng dengan Pemilu? “Dari beuklam, hana pre-pre ditamong SMS lam Hp, mandum yue pileh droe,” lanjutnya. Karena, SMS yang masuk nggak henti-henti, sementara daya tampung Hp-nya terbatas, kini Hp-nya nggak bisa digunakan lagi. “Pemilu merugikan saya,” omelnya.
Di tempat lain, cerita kawan saya, seorang Caleg terpaksa harus batal menikah, karena salah kirim SMS. Sebabnya, si caleg iseng-iseng minta dukungan sama calon mertua, ternyata berbuah petaka. Pasalnya, mertuanya juga seorang caleg di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Si mertua tentu saja marah. Coba, calon menantu minta sang mertua mencontreng namanya, sementara mertua juga caleg, meski dari partai berbeda. Akibatnya, cukup fatal: bapak itu tak mengizinkan anaknya menikah, karena belum jadi menantu sudah menjegal masa depannya.
Saya yang mendengar kisah itu, terpaksa geleng-geleng kepala. Aneh saja. Ternyata Pemilu, banyak warna-warninya. Mulai dari orang rajin bersedekah, heng Hp hingga seorang caleg harus gagal menikah. Belum lagi, kejadian di Gampong teman saya. Di Gampongnya, kata kawan saya, jamaah Magrib menjelang Pemilu jadi berkurang. Para jamaah, tidak mau lagi Shalat Magrib di Meunasah, karena Imum Meunasah mendukung partai berbeda. Kini, di Meunasah yang dibangun secara swadaya itu, hanya sang Imum Meunasah yang Shalat. Sementara warga Gampongnya memilih Shalat di rumah masing-masing. Banyak juga di antara mereka yang tidak pernah Shalat.
Sementara cerita Apa Maun, lain lagi. Dirinya memilih me-non-aktifkan Hp-nya. Katanya, nada tanda SMS masuk membuat hidupnya terganggu. Bayangkan, setiap menit sekali, Hp-nya berbunyi dan terus berbunyi. Kata-kata indah yang terkesan dibuat-buat terpampang di layar Hp-nya. Isinya sama semua: pilih saya atau partai saya. “Pede banget jadi orang. Mereka tak pernah ngaca diri, apa pantas dipilih?” ucapnya.
Dia beralasan, tak punya cukup waktu untuk membaca SMS yang kadang-kadang masuk berbarengan. Jika terlalu menyimak SMS yang masuk, dia tak sempat mengirim SMS ke temannya, mengajak taruhan bola. Maklum, dia penggemar sepakbola. Katanya, para caleg itu cuma buang-buang pulsa Hp. Pasalnya, besok, banyak warga tak bisa memilih, bukan karena tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), melainkan tak bisa bangun pagi terlalu cepat. Liga Champions baru berakhir jam 4 pagi. Jadi, SMS yang meminta dukungan sama sekali tak efektif. “Pane meurumpok pileh singoh, beudoh eh mantong poh 12,” katanya beralasan.
Kawan saya yang lain lagi, memilih cuek. Dia tak terlalu terganggu dengan banyaknya SMS yang masuk. Menurutnya, orang yang sedang mencari kerja selalu melakukan hal-hal luar biasa dan tak pernah menyerah. Kapan lagi mengirim SMS ke teman jika tak sekarang. “Coba jika setelah Pemilu ternyata dia tak terpilih, apakah kita akan bisa menerima SMS darinya lagi?” tanyanya. Menurutnya, setelah Pemilu, banyak caleg tak mampu mengetik satu kata pun untuk mengabari teman, masyarakat, koneksi atau orang Gampongnya, bahwa dirinya tak terpilih. Belum lagi jika yang bersangkutan menjadi gila (pungo) karena tak terpilih. Jangankan berharap dapat SMS, diajak minum kopi pun sudah tak sempat lagi.
Kita yang merasa sebagai temannya, sesekali pasti akan menjenguknya. Selepas itu kita juga menjadi malas. Bukan apa-apa, karena untuk pergi ke Jalan Kakap (lokasi Rumah Sakit Jiwa), langkah kita pasti sangat berat, meski pun di Jalan itu kawan kita sedang menginap dan menjalani terapi.
Duh, kasihan sekali nasibnya. Jika masa kampanye kita sering melihatnya tersenyum di baliho-baliho atau spanduk, sekarang kita yang dibuat tersenyum karena ulah anehnya. Bukan apa-apa. Seperti cerita banyak kawan, di RSJ, banyak pasien yang berperilaku aneh: ada yang mandi dengan abu, bermesraan dengan tameh rumah sakit atau menyiram tong sampah. Duh, dunia ini memang aneh.(HA 090409)
Di tempat lain, cerita kawan saya, seorang Caleg terpaksa harus batal menikah, karena salah kirim SMS. Sebabnya, si caleg iseng-iseng minta dukungan sama calon mertua, ternyata berbuah petaka. Pasalnya, mertuanya juga seorang caleg di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Si mertua tentu saja marah. Coba, calon menantu minta sang mertua mencontreng namanya, sementara mertua juga caleg, meski dari partai berbeda. Akibatnya, cukup fatal: bapak itu tak mengizinkan anaknya menikah, karena belum jadi menantu sudah menjegal masa depannya.
Saya yang mendengar kisah itu, terpaksa geleng-geleng kepala. Aneh saja. Ternyata Pemilu, banyak warna-warninya. Mulai dari orang rajin bersedekah, heng Hp hingga seorang caleg harus gagal menikah. Belum lagi, kejadian di Gampong teman saya. Di Gampongnya, kata kawan saya, jamaah Magrib menjelang Pemilu jadi berkurang. Para jamaah, tidak mau lagi Shalat Magrib di Meunasah, karena Imum Meunasah mendukung partai berbeda. Kini, di Meunasah yang dibangun secara swadaya itu, hanya sang Imum Meunasah yang Shalat. Sementara warga Gampongnya memilih Shalat di rumah masing-masing. Banyak juga di antara mereka yang tidak pernah Shalat.
Sementara cerita Apa Maun, lain lagi. Dirinya memilih me-non-aktifkan Hp-nya. Katanya, nada tanda SMS masuk membuat hidupnya terganggu. Bayangkan, setiap menit sekali, Hp-nya berbunyi dan terus berbunyi. Kata-kata indah yang terkesan dibuat-buat terpampang di layar Hp-nya. Isinya sama semua: pilih saya atau partai saya. “Pede banget jadi orang. Mereka tak pernah ngaca diri, apa pantas dipilih?” ucapnya.
Dia beralasan, tak punya cukup waktu untuk membaca SMS yang kadang-kadang masuk berbarengan. Jika terlalu menyimak SMS yang masuk, dia tak sempat mengirim SMS ke temannya, mengajak taruhan bola. Maklum, dia penggemar sepakbola. Katanya, para caleg itu cuma buang-buang pulsa Hp. Pasalnya, besok, banyak warga tak bisa memilih, bukan karena tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), melainkan tak bisa bangun pagi terlalu cepat. Liga Champions baru berakhir jam 4 pagi. Jadi, SMS yang meminta dukungan sama sekali tak efektif. “Pane meurumpok pileh singoh, beudoh eh mantong poh 12,” katanya beralasan.
Kawan saya yang lain lagi, memilih cuek. Dia tak terlalu terganggu dengan banyaknya SMS yang masuk. Menurutnya, orang yang sedang mencari kerja selalu melakukan hal-hal luar biasa dan tak pernah menyerah. Kapan lagi mengirim SMS ke teman jika tak sekarang. “Coba jika setelah Pemilu ternyata dia tak terpilih, apakah kita akan bisa menerima SMS darinya lagi?” tanyanya. Menurutnya, setelah Pemilu, banyak caleg tak mampu mengetik satu kata pun untuk mengabari teman, masyarakat, koneksi atau orang Gampongnya, bahwa dirinya tak terpilih. Belum lagi jika yang bersangkutan menjadi gila (pungo) karena tak terpilih. Jangankan berharap dapat SMS, diajak minum kopi pun sudah tak sempat lagi.
Kita yang merasa sebagai temannya, sesekali pasti akan menjenguknya. Selepas itu kita juga menjadi malas. Bukan apa-apa, karena untuk pergi ke Jalan Kakap (lokasi Rumah Sakit Jiwa), langkah kita pasti sangat berat, meski pun di Jalan itu kawan kita sedang menginap dan menjalani terapi.
Duh, kasihan sekali nasibnya. Jika masa kampanye kita sering melihatnya tersenyum di baliho-baliho atau spanduk, sekarang kita yang dibuat tersenyum karena ulah anehnya. Bukan apa-apa. Seperti cerita banyak kawan, di RSJ, banyak pasien yang berperilaku aneh: ada yang mandi dengan abu, bermesraan dengan tameh rumah sakit atau menyiram tong sampah. Duh, dunia ini memang aneh.(HA 090409)
Tags:
pojok