Ketidakpuasan atas pelaksanaan Pemilu 2009 mencuat. Di tingkat nasional, sejumlah pemimpin partai politik, terutama yang merasa dicurangi karena tak mendapatkan suara yang signifikan, membuat pernyataan mengejutkan: Pemilu Legislatif 2009 merupakan Pemilu terburuk sepanjang sejarah bangsa.
Para tokoh lintas partai itu beralasan, ada jutaan warga yang memiliki hak konstitusi untuk memilih wakil rakyat harus kehilangan haknya karena tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Selain itu, sebut mereka, pelaksana Pemilu juga diwarnai dengan sejumlah kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi yang sistemik sehingga mengakibatkan kualitas pesta demokrasi buruk. Mereka kecewa dengan Pemilu meski tak berani menolak secara langsung.
Para tokoh partai ini juga menyoroti kinerja Pemerintah dan penyelenggara Pemilu (KPU) yang tidak netral, karena memihak dan menguntungkan partai ‘sekutu’ penguasa.
Suara-suara sumbang penolakan hasil Pemilu dengan menyatakan Pemilu 2009 merupakan pemilu terburuk, tentu mengundang persoalan. Bahwa wakil rakyat yang terpilih ‘cacat’ legitimasi. Apalagi, angka golput ditengarai mencapai jutaan orang.
Sementara, suara-suara penolakan hasil pemilu juga bergema di daerah-daerah. Di Aceh, sejumlah partai politik juga membuat pernyataan menolak hasil pemilu. Menurut mereka Pemilu di Aceh sarat intimidasi, adanya pemaksaan masyarakat untuk memilih partai tertentu, penyelenggara pemilu tidak netral karena membiarkan berbagai kecurangan terjadi.
Namun penyelenggara pemilu menegaskan, mereka sudah bekerja maksimal, dan menyukseskan Pemilu. Menurut mereka, penolakan itu sesuatu yang wajar, meski penolakan atas hasil pemilu itu tidak mempengaruhi proses rekap suara.
Kita sebenarnya ikut prihatin dengan adanya pernyataan penolakan hasil pemilu. Karena, penolakan itu sebagai bentuk kekecewaan parpol atas penyelenggaraan Pemilu, serta semakin membenarkan dugaan bahwa kualitas pemilu memang buruk. Namun, kita juga perlu realistis dan rasional, bahwa penolakan itu terlalu dini dilakukan sementara suara belum selesai dihitung. Seperti kata sejumlah pengamat, yang dilansir Harian Aceh, kemarin, jika ingin menolak hasil pemilu, seharusnya dilakukan setelah penghitungan suara selesai dihitung atau setelah KIP secara resmi mengeluarkan perolehan suara akhir.
Pun begitu, kita berharap penolakan itu harus disikapi secara bijak dan arif. Penolakan itu jangan sampai memunculkan masalah baru di Aceh. Kita mengakui, jika Pemilu di Aceh tak terlepas dari adanya intimidasi dan teror, tetapi, kita juga harus sadar bahwa Pemilu di Aceh tanpa diwarnai insiden kekerasan. Itu yang patut diacungi jempol. Soal ada partai yang menang dan kalah, hanyalah perkara biasa. Yang penting, kepada pemenang agar mampu menunaikan semua janji yang sudah disampaikan selama kampanye, serta mampu menjadi wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan aspirasi kelompok saja. Sementara yang kalah, harus menerima kenyataan bahwa, ternyata rakyat berkata lain.
Terpenting, kita juga berharap suara-suara penolakan parpol itu harus dijadikan sebagai masukan, bahwa penyelenggara pemilu ke depan, hendaknya tidak meninggalkan masalah. Sehingga ke depan, Pemilu semakin berkualitas, dan menghasilkan para wakil rakyat yang juga berkualitas.
Soal adanya laporan terjadinya intimidasi, teror dan pemaksaan masyarakat agar memilih partai tertentu, biarlah ditangani oleh pihak yang berwenang. Pengurus partai yang menolak itu hendaknya membuat laporan resmi yang didukung oleh fakta-fakta di lapangan, sehingga pihak KIP atau Panwaslu bisa mengeluarkan sebuah kebijakan atau sikap atas penolakan itu.
Jika hanya mengeluarkan laporan atau pernyataan dan dimuat di media, akan membuat masyarakat bingung. Masyarakat akan menilai, apakah laporan itu didasarkan atau fakta atau hanya semata-mata tidak siap menerima kekalahan. Tapi, kita harus arif dalam berpolitik. Tak ada proses politik yang berjalan sesuai dengan kemauan kita. Sering banyak kejutan-kejutan, dan itu di luar batas rasional kita. Kita harus siap dengannya. Karena, begitulah politik. (HA 170409)
Para tokoh lintas partai itu beralasan, ada jutaan warga yang memiliki hak konstitusi untuk memilih wakil rakyat harus kehilangan haknya karena tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Selain itu, sebut mereka, pelaksana Pemilu juga diwarnai dengan sejumlah kecurangan dan kesalahan administrasi serta substansi yang sistemik sehingga mengakibatkan kualitas pesta demokrasi buruk. Mereka kecewa dengan Pemilu meski tak berani menolak secara langsung.
Para tokoh partai ini juga menyoroti kinerja Pemerintah dan penyelenggara Pemilu (KPU) yang tidak netral, karena memihak dan menguntungkan partai ‘sekutu’ penguasa.
Suara-suara sumbang penolakan hasil Pemilu dengan menyatakan Pemilu 2009 merupakan pemilu terburuk, tentu mengundang persoalan. Bahwa wakil rakyat yang terpilih ‘cacat’ legitimasi. Apalagi, angka golput ditengarai mencapai jutaan orang.
Sementara, suara-suara penolakan hasil pemilu juga bergema di daerah-daerah. Di Aceh, sejumlah partai politik juga membuat pernyataan menolak hasil pemilu. Menurut mereka Pemilu di Aceh sarat intimidasi, adanya pemaksaan masyarakat untuk memilih partai tertentu, penyelenggara pemilu tidak netral karena membiarkan berbagai kecurangan terjadi.
Namun penyelenggara pemilu menegaskan, mereka sudah bekerja maksimal, dan menyukseskan Pemilu. Menurut mereka, penolakan itu sesuatu yang wajar, meski penolakan atas hasil pemilu itu tidak mempengaruhi proses rekap suara.
Kita sebenarnya ikut prihatin dengan adanya pernyataan penolakan hasil pemilu. Karena, penolakan itu sebagai bentuk kekecewaan parpol atas penyelenggaraan Pemilu, serta semakin membenarkan dugaan bahwa kualitas pemilu memang buruk. Namun, kita juga perlu realistis dan rasional, bahwa penolakan itu terlalu dini dilakukan sementara suara belum selesai dihitung. Seperti kata sejumlah pengamat, yang dilansir Harian Aceh, kemarin, jika ingin menolak hasil pemilu, seharusnya dilakukan setelah penghitungan suara selesai dihitung atau setelah KIP secara resmi mengeluarkan perolehan suara akhir.
Pun begitu, kita berharap penolakan itu harus disikapi secara bijak dan arif. Penolakan itu jangan sampai memunculkan masalah baru di Aceh. Kita mengakui, jika Pemilu di Aceh tak terlepas dari adanya intimidasi dan teror, tetapi, kita juga harus sadar bahwa Pemilu di Aceh tanpa diwarnai insiden kekerasan. Itu yang patut diacungi jempol. Soal ada partai yang menang dan kalah, hanyalah perkara biasa. Yang penting, kepada pemenang agar mampu menunaikan semua janji yang sudah disampaikan selama kampanye, serta mampu menjadi wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan aspirasi kelompok saja. Sementara yang kalah, harus menerima kenyataan bahwa, ternyata rakyat berkata lain.
Terpenting, kita juga berharap suara-suara penolakan parpol itu harus dijadikan sebagai masukan, bahwa penyelenggara pemilu ke depan, hendaknya tidak meninggalkan masalah. Sehingga ke depan, Pemilu semakin berkualitas, dan menghasilkan para wakil rakyat yang juga berkualitas.
Soal adanya laporan terjadinya intimidasi, teror dan pemaksaan masyarakat agar memilih partai tertentu, biarlah ditangani oleh pihak yang berwenang. Pengurus partai yang menolak itu hendaknya membuat laporan resmi yang didukung oleh fakta-fakta di lapangan, sehingga pihak KIP atau Panwaslu bisa mengeluarkan sebuah kebijakan atau sikap atas penolakan itu.
Jika hanya mengeluarkan laporan atau pernyataan dan dimuat di media, akan membuat masyarakat bingung. Masyarakat akan menilai, apakah laporan itu didasarkan atau fakta atau hanya semata-mata tidak siap menerima kekalahan. Tapi, kita harus arif dalam berpolitik. Tak ada proses politik yang berjalan sesuai dengan kemauan kita. Sering banyak kejutan-kejutan, dan itu di luar batas rasional kita. Kita harus siap dengannya. Karena, begitulah politik. (HA 170409)
Tags:
editorial