Aku masih ingin menulis. Aku masih ingin jadi penulis. Aku masih ingin tulisanku bisa menggugah orang dan setelah itu menciptakan perubahan, terutama untuk dirinya. Bukankah keinginan itu sangatlah wajar?
Lalu, jika keinginan-keinginan itu sesuatu yang wajar, kenapa ada orang yang menuduhku provokator, merusak Aceh, dan (dengan kata-kata menyakitkan) sebagai aneuk bajueng? Apa yang dia ketahui tentang aneuk bajueng? sehingga bebas mengeluarkan kata-kata itu. Padahal aku tahu, mulutnya sangat fasih berbicara tentang Aceh masa depan yang gemilang.
Aku sudah cukup bersabar, dan memilih diam saja. Aku tak sedikitpun menggugat kata-kata yang dia lontarkan. Karena aku pikir untuk apa? Pembelaanku jelas tak mengubah pendiriannya, dan mencabut kata-kata yang sudah diucapkan. Makanya, aku tak menulis apalagi menghujatnya. Berbicara padanya, sama seperti bernyanyi di pantat kerbau. Kerbau tak merasa terhibur dengannya.
Tapi, perlu diketahui, aku masih mau bermimpi: bukan mimpi menyulap Aceh jadi modern hanya dengan melontarkan pernyataan di media. Bukan pula mimpi membuat rakyat Aceh sejahtera, seperti yang sering kudengar. Aku hanya mau bermimpi, bahwa aku punya mimpi: minimal mengubah hidupku sendiri. Karena tanpa mengubah hidupku sendiri, omong kosong aku berbicara tentang perubahan. Bukankah perubahan dimulai dari diri kita sendiri?
Karena itu, tolonglah pahami diriku. Aku tak menulis untuk menghancurkan kekuasaannya, yang sebenarnya aku punya andil atas kekuasaan yang dinikmati itu. Aku tak pernah meminta emas dan perak, seperti yang dilakukan orang-orang yang dulu tak pernah mendukungnya. Malah, aku pun tak pernah meminta berfoto dengannya, dan dengan foto itu aku menggertak semua orang yang layak untuk digertak. Aku yakin, dia masih ingat bahwa kami tak pernah berpose bersama.
Entahlah, tak ada artinya aku banyak bicara. Karena sekarang sepertinya aku tak pantas berbicara lagi. Dulu mungkin dia butuh penaku, karena posisinya tertekan dan dihujat di sana-sini. Tapi sekarang dia banyak pembela, dan sama sekali tak perlu belaanku. Namun, sekali lagi, aku masih mau bermimpi, dan karena itu hargailah mimpiku. Kuharap dia tak terusik dengan mimpiku, termasuk dengan hasil-hasil dari mimpi yang kugubah jadi tulisan. Yakinlah, tulisanku tak kan meruntuhkan kekuasaannya, tak akan membakar wibawanya yang dulu mungkin pernah kubela. Aku hanya menulis untuk mereka, yang masih ingin berbuat untuk sebuah perubahan. Entah sekarang, atau untuk masa depan yang kian tak pasti. Maka, marilah kita bermimpi. Bermimpi dengan mimpi yang sama.
Lalu, jika keinginan-keinginan itu sesuatu yang wajar, kenapa ada orang yang menuduhku provokator, merusak Aceh, dan (dengan kata-kata menyakitkan) sebagai aneuk bajueng? Apa yang dia ketahui tentang aneuk bajueng? sehingga bebas mengeluarkan kata-kata itu. Padahal aku tahu, mulutnya sangat fasih berbicara tentang Aceh masa depan yang gemilang.
Aku sudah cukup bersabar, dan memilih diam saja. Aku tak sedikitpun menggugat kata-kata yang dia lontarkan. Karena aku pikir untuk apa? Pembelaanku jelas tak mengubah pendiriannya, dan mencabut kata-kata yang sudah diucapkan. Makanya, aku tak menulis apalagi menghujatnya. Berbicara padanya, sama seperti bernyanyi di pantat kerbau. Kerbau tak merasa terhibur dengannya.
Tapi, perlu diketahui, aku masih mau bermimpi: bukan mimpi menyulap Aceh jadi modern hanya dengan melontarkan pernyataan di media. Bukan pula mimpi membuat rakyat Aceh sejahtera, seperti yang sering kudengar. Aku hanya mau bermimpi, bahwa aku punya mimpi: minimal mengubah hidupku sendiri. Karena tanpa mengubah hidupku sendiri, omong kosong aku berbicara tentang perubahan. Bukankah perubahan dimulai dari diri kita sendiri?
Karena itu, tolonglah pahami diriku. Aku tak menulis untuk menghancurkan kekuasaannya, yang sebenarnya aku punya andil atas kekuasaan yang dinikmati itu. Aku tak pernah meminta emas dan perak, seperti yang dilakukan orang-orang yang dulu tak pernah mendukungnya. Malah, aku pun tak pernah meminta berfoto dengannya, dan dengan foto itu aku menggertak semua orang yang layak untuk digertak. Aku yakin, dia masih ingat bahwa kami tak pernah berpose bersama.
Entahlah, tak ada artinya aku banyak bicara. Karena sekarang sepertinya aku tak pantas berbicara lagi. Dulu mungkin dia butuh penaku, karena posisinya tertekan dan dihujat di sana-sini. Tapi sekarang dia banyak pembela, dan sama sekali tak perlu belaanku. Namun, sekali lagi, aku masih mau bermimpi, dan karena itu hargailah mimpiku. Kuharap dia tak terusik dengan mimpiku, termasuk dengan hasil-hasil dari mimpi yang kugubah jadi tulisan. Yakinlah, tulisanku tak kan meruntuhkan kekuasaannya, tak akan membakar wibawanya yang dulu mungkin pernah kubela. Aku hanya menulis untuk mereka, yang masih ingin berbuat untuk sebuah perubahan. Entah sekarang, atau untuk masa depan yang kian tak pasti. Maka, marilah kita bermimpi. Bermimpi dengan mimpi yang sama.
Tags:
serba serbi