Dulu, saya sering mendengar ungkapan begini, ‘nasib Negara kita tak seperti ini jika dijajah oleh Inggris’ atau ‘kita seperti ini tak maju-maju karena dijajah Belanda’, atau ungkapan serupa, betapa nasib bangsa terjajah tak pernah lebih baik.
Saya sendiri bertanya, apakah kemajuan suatu Negara dipengaruhi oleh penjajahnya? Sulit untuk menjawabnya. Meski, sejumlah contoh diperlihatkan kepada kita, nasib yang lebih baik dari negara terjajah, yang kebetulan dijajah oleh penjajah profesional, katakanlah Inggris, seperti Malaysia, Singapore, Australia, India, dan banyak lagi yang tak mungkin kita sebutkan satu per satu.
Pokoknya, banyak orang menggugat kenapa bangsa kita tidak dijajah oleh si penjajah ini saja, atau penjajah itu saja. Kita selalu mengumpat masa silam, seolah-olah nasib kita hari ini akibat dari mendapat penjajah yang berbeda. Padahal, seperti kita tahu, yang namanya rakyat terjajah tak pernah bernasib baik. Seharusnya kita harus jadi bangsa yang tak pernah dijajah, seperti Thailand. Banyak hal negatif dirasakan jika kita masih terjajah, yaitu kita memiliki tuan. Sementara kita sendiri tetap sebagai rakyat terjajah.
Sebagai rakyat terjajah, dan kemudian merdeka, kita harus mengikuti sistem penjajah, seperti yang terjadi di Negara kita, di mana hukum masih menggunakan hukum produk penjajah, dan sama sekali tak cocok dengan budaya atau jiwa bangsa kita. Dan untuk mengubahnya, kita kekurangan pakar yang bisa mendesain produk hukum yang mencakup semua hal. Makanya, hingga kini KUHP tak pernah diubah, dan masih menggunakan produk Belanda. Kita tidak tahu, apakah ini ada hubungannya bahwa Negara kita sebenarnya masih terjajah?
Oya, sebenarnya bukan itu yang hendak saya sampaikan. Saya hanya ingin membagi sebuah berita pendek, bahwa Italia akan memberikan kompensasi sebanyak 3,5 miliar euro kepada Libya, karena pernah menjajah Negara tersebut, saat pemimpin Libya Moammar Khadafy mengunjungi negara itu. Jumlah itu akan dibayar hingga 25 tahun mendatang. Dengan kebijakan tersebut, Italia menjelmakan dirinya sebagai penjajah profesional; mengaku pernah berbuat salah di masa silam, dan menebus kesalahan itu dengan membayar kompensasi.
Kita tak perlu terkejut dengan uang 3,5 miliar euro tersebut, karena memang sangat banyak. Yang jelas uang sejumlah itu lebih dari cukup untuk sekedar membeli keperluan rumah tangga, atau bisa membuat penjual cendol meninggal sambil membungkus cendolnya. Jika dirupiahkan, jumlah tersebut lebih kurang sama dengan Rp50 triliun atau lima kali jumlah APBA kita.
Kita sebenarnya boleh juga berandai-andai. Andai saja Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia mau membayar kompensasi bukan berbentuk utang, tentu dana tersebut bisa digunakan untuk program menyejahterakan rakyat yang hingga kini masih hidup morat-marit dan phang-phoe tan soe pakoe. Karena kita tahu, Belanda menjajah Indonesia dalam waktu yang cukup lama, 350 tahun. Sementara Jepang lebih singkat hanya 3,5 tahun. Namun, dari berbagai cerita yang kita dengar, kekerasan dan kekejaman masa Jepang melebihi yang dilakukan Belanda. Tentu biaya kompensasi melebihi apa yang diberikan oleh Italia kepada Libya.
Jika kita mencoba berbicara dalam ranah lokal, Aceh, tentu banyak hal yang harus kita persoalkan. Seperti kita tahu, hingga kini Belanda belum mencabut maklumat perang atas Aceh yang pernah dimaklumkan 137 tahun silam. Jika Belanda mengaku dirinya bangsa bermoral dan penjajah profesional, tentu sudah jauh hari mempertanyakan kembali kebijakannya yang hingga ini ikut memberi andil runyamnya kondisi Aceh.
Namun, Belanda memilih menjadi penjajah tak profesional dan tak mau mengakui apalagi mencabut maklumat perang tersebut. Sebab jika itu dilakukan, tak hanya meruntuhkan moral Belanda di mata internasional, melainkan juga harus membayar semua kerugian yang diakibatkan oleh perang dan juga oleh kebijakannya yang salah tersebut.
Andai Belanda baik hati dan mau membayar akibat kerugian dari kebijakannya, meski tak seperti jumlah yang dibayarkan Italia kepada Libya, misalnya saja sebesar Rp30 triliun, kita bisa tersenyum. Para koruptor juga akan tersenyum, karena banyak yang bisa dikorupsi. Dengan uang itu kita bisa membuat Aceh menjadi lebih baik, jauh melebihi apa yang sudah dilakukan lembaga yang mengurusi rehab-rekons Aceh, yang sudah pergi itu. Tapi, apa boleh buat, Belanda memilih tetap bermusuhan dengan Aceh, entah sampai kapan. Kita hanya tahu pasti, yang namanya penjajah, ya…tak pernah punya niat berbuat baik. Entahlah!
Saya sendiri bertanya, apakah kemajuan suatu Negara dipengaruhi oleh penjajahnya? Sulit untuk menjawabnya. Meski, sejumlah contoh diperlihatkan kepada kita, nasib yang lebih baik dari negara terjajah, yang kebetulan dijajah oleh penjajah profesional, katakanlah Inggris, seperti Malaysia, Singapore, Australia, India, dan banyak lagi yang tak mungkin kita sebutkan satu per satu.
Pokoknya, banyak orang menggugat kenapa bangsa kita tidak dijajah oleh si penjajah ini saja, atau penjajah itu saja. Kita selalu mengumpat masa silam, seolah-olah nasib kita hari ini akibat dari mendapat penjajah yang berbeda. Padahal, seperti kita tahu, yang namanya rakyat terjajah tak pernah bernasib baik. Seharusnya kita harus jadi bangsa yang tak pernah dijajah, seperti Thailand. Banyak hal negatif dirasakan jika kita masih terjajah, yaitu kita memiliki tuan. Sementara kita sendiri tetap sebagai rakyat terjajah.
Sebagai rakyat terjajah, dan kemudian merdeka, kita harus mengikuti sistem penjajah, seperti yang terjadi di Negara kita, di mana hukum masih menggunakan hukum produk penjajah, dan sama sekali tak cocok dengan budaya atau jiwa bangsa kita. Dan untuk mengubahnya, kita kekurangan pakar yang bisa mendesain produk hukum yang mencakup semua hal. Makanya, hingga kini KUHP tak pernah diubah, dan masih menggunakan produk Belanda. Kita tidak tahu, apakah ini ada hubungannya bahwa Negara kita sebenarnya masih terjajah?
Oya, sebenarnya bukan itu yang hendak saya sampaikan. Saya hanya ingin membagi sebuah berita pendek, bahwa Italia akan memberikan kompensasi sebanyak 3,5 miliar euro kepada Libya, karena pernah menjajah Negara tersebut, saat pemimpin Libya Moammar Khadafy mengunjungi negara itu. Jumlah itu akan dibayar hingga 25 tahun mendatang. Dengan kebijakan tersebut, Italia menjelmakan dirinya sebagai penjajah profesional; mengaku pernah berbuat salah di masa silam, dan menebus kesalahan itu dengan membayar kompensasi.
Kita tak perlu terkejut dengan uang 3,5 miliar euro tersebut, karena memang sangat banyak. Yang jelas uang sejumlah itu lebih dari cukup untuk sekedar membeli keperluan rumah tangga, atau bisa membuat penjual cendol meninggal sambil membungkus cendolnya. Jika dirupiahkan, jumlah tersebut lebih kurang sama dengan Rp50 triliun atau lima kali jumlah APBA kita.
Kita sebenarnya boleh juga berandai-andai. Andai saja Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia mau membayar kompensasi bukan berbentuk utang, tentu dana tersebut bisa digunakan untuk program menyejahterakan rakyat yang hingga kini masih hidup morat-marit dan phang-phoe tan soe pakoe. Karena kita tahu, Belanda menjajah Indonesia dalam waktu yang cukup lama, 350 tahun. Sementara Jepang lebih singkat hanya 3,5 tahun. Namun, dari berbagai cerita yang kita dengar, kekerasan dan kekejaman masa Jepang melebihi yang dilakukan Belanda. Tentu biaya kompensasi melebihi apa yang diberikan oleh Italia kepada Libya.
Jika kita mencoba berbicara dalam ranah lokal, Aceh, tentu banyak hal yang harus kita persoalkan. Seperti kita tahu, hingga kini Belanda belum mencabut maklumat perang atas Aceh yang pernah dimaklumkan 137 tahun silam. Jika Belanda mengaku dirinya bangsa bermoral dan penjajah profesional, tentu sudah jauh hari mempertanyakan kembali kebijakannya yang hingga ini ikut memberi andil runyamnya kondisi Aceh.
Namun, Belanda memilih menjadi penjajah tak profesional dan tak mau mengakui apalagi mencabut maklumat perang tersebut. Sebab jika itu dilakukan, tak hanya meruntuhkan moral Belanda di mata internasional, melainkan juga harus membayar semua kerugian yang diakibatkan oleh perang dan juga oleh kebijakannya yang salah tersebut.
Andai Belanda baik hati dan mau membayar akibat kerugian dari kebijakannya, meski tak seperti jumlah yang dibayarkan Italia kepada Libya, misalnya saja sebesar Rp30 triliun, kita bisa tersenyum. Para koruptor juga akan tersenyum, karena banyak yang bisa dikorupsi. Dengan uang itu kita bisa membuat Aceh menjadi lebih baik, jauh melebihi apa yang sudah dilakukan lembaga yang mengurusi rehab-rekons Aceh, yang sudah pergi itu. Tapi, apa boleh buat, Belanda memilih tetap bermusuhan dengan Aceh, entah sampai kapan. Kita hanya tahu pasti, yang namanya penjajah, ya…tak pernah punya niat berbuat baik. Entahlah!
Tags:
pojok