Ketika kita terjaga, kita berbagi satu semesta bersama, tetapi ketika kita tidur kita berpaling ke dunia masing-masing—Heraklitus.
Saya ingin mengajak agar anda mendengar impian-impian anda, bukan impian orang lain. Meski kita yakini, terutama kita orang Aceh, selalu diajak bermimpi dengan mimpi orang lain. Kita tak henti-hentinya ditawari angin syurga, yang sebenarnya kita tak pernah tahu bagaimana. Tapi itulah kita, mudah tergoda dan terpedaya. Sehingga membuat kita gampang percaya, dan menjadi tidak kreatif. Padahal, seperti kita tahu, ketika bermimpi, kita bisa menentukan nasib kita sendiri, tanpa perlu meminta bantu sama orang lain.
Lalu, kenapa ketika terjaga kita begitu mudah lupa dan malah terpedaya dengan orang lain. Kenapa kita menggantungkan nasib kita sama orang lain, padahal kita bisa mengubah nasib kita sendiri. Meski di dunia nyata, tapi kita menamsilkan diri kita hidup di dunia maya. Sesuatu yang tidak pasti, tapi kita lupa menyadarinya.
Kondisi ini, bukan pembenaran bahwa saya lebih senang bermimpi sekarang. Tetapi, saya mempelajari kisah-kisah orang besar, mereka selalu memulai dengan sebuah impian, dan ketika itu orang menertawakannya. Tapi itulah risiko yang harus kita hadapi. Memulai itu selalu lebih sulit, tapi yakinlah, ketika permulaan itu mengasyikkan, bakal banyak orang tak berniat mengakhirinya.
‘Anjing menggonggong pada apa yang tidak dipahaminya’ begitulah salah satu petuah kreatif Heraklitus, yang patut kita renungi.
Ketika kita mengutarakan kritik, kita akan mendapatkan jawaban seperti ungkapan tersebut. Seolah-olah kita hanya sekedar mengeluarkan kritik tanpa mengetahui duduk persoalannya. Padahal, apa yang disampaikan tersebut sebenarnya adalah masukan berharga, tetapi mereka lupa merenungkannya. Itulah buah kesombongan besar. Kita tak bisa memadamkan kesombongan, karena itu meruntuhkan ego.
Saya begitu senang dan sekaligus terenyuh, melihat cara kawan-kawan (jikapun saya masih boleh menyebutnya kawan) saya berpolitik. Saya yakini mereka berpolitik secara benar—bahwa dalam berpolitik kita tidak boleh kaku. Karena dalam berpolitik, kita haruslah jadi orang yang plin-plan dan boleh pragmatis apalagi oportunis. Makanya, mereka bisa menjadi tim sukses capres ini dan itu, meski mereka tak menjadikan capres itu sebagai ‘tuhannya’.
Kawan-kawan saya tadi sedang membangun mimpi, entah untuk ke sekian kali. Kekalahan dan nasib buruk saat pemilu legislatif kemarin yang meruntuhkan kesombongan dan ego, tak sedikitpun membuat mereka kapok dan menyerah. Seolah-olah terjun dalam politik adalah garis nasib yang harus diikuti dengan serius. Dan kini garis nasib itu pula yang membuat mereka berbeda dalam mendukung. Pertanyaan kita, apa yang sebenarnya mereka cari? Popularitaskah atau sebagai pundi-pundi rupiah? Kita tak tahu pasti.
Hanya saja, saya pernah mendengar cerita kawan saya, bahwa seorang tokoh partai dan sudah terlalu tua dalam dunia politik berujar, “kita mendukung dia bukan untuk gotong royong dan karena keikhlasan. Jika kita ikhlas dan sekadar gotong royong, mending kita tidak berada di sini, tempat kita di Meunasah atau Mesjid”. Duh…bukankah pernyataan itu menunjukkan bahwa dalam politik praktis tak pernah mengikutsertakan prinsip dan ideologi. Orang akan melulu berbicara, “apa yang bisa kita dapatkan dengan mendukung dia”. Ukuran yang kita gunakan adalah kalkulasi material. Makanya, politik tak semata-mata bicara soal bagaimana meraih kekuasaan semata, melainkan juga bagaimana dukungan kita diukur dengan berapa harga yang harus dibayar. Cocok jika ada yang mengatakan, bahwa politik sebenarnya berbicara, “siapa mendapatkan apa dan bagaimana mendapatkannya”. Tapi keikutsertaan kawan-kawan saya dalam politik, bisa jadi tak seperti ungkapan ‘anjing menggonggong pada apa yang tidak dipahaminya’.
Karena, ketika berpolitik, mereka sudah sangat paham dengan pilihan yang dipilihnya, dan sangat sadar. Mereka pasti sudah membuat kalkusi keuntungan apa yang akan mereka peroleh nantinya? Tapi, mungkin mereka lupa dengan Epigram Heraklitus seperti yang saya kutip di atas, ‘Ketika kita terjaga, kita berbagi satu semesta bersama, tetapi ketika kita tidur kita berpaling ke dunia masing-masing’. Mudah-mudahan mereka mengingatnya. Karena, bisa jadi sekarang mereka berjalan bersama-sama, kampanye bersama, dan memenangkan sang kandidat bersama-sama, tapi bagaimana setelah kandidat itu menang? Apakah mereka masih bersama? Atau mereka seperti kembali ke alam mimpi, dan sibuk dengan dunia masing-masing: ada mimpi indah, ada mimpi buruk. Namanya juga mimpi, tak bisa direkayasa. Homhai. (HA 220609)
Saya ingin mengajak agar anda mendengar impian-impian anda, bukan impian orang lain. Meski kita yakini, terutama kita orang Aceh, selalu diajak bermimpi dengan mimpi orang lain. Kita tak henti-hentinya ditawari angin syurga, yang sebenarnya kita tak pernah tahu bagaimana. Tapi itulah kita, mudah tergoda dan terpedaya. Sehingga membuat kita gampang percaya, dan menjadi tidak kreatif. Padahal, seperti kita tahu, ketika bermimpi, kita bisa menentukan nasib kita sendiri, tanpa perlu meminta bantu sama orang lain.
Lalu, kenapa ketika terjaga kita begitu mudah lupa dan malah terpedaya dengan orang lain. Kenapa kita menggantungkan nasib kita sama orang lain, padahal kita bisa mengubah nasib kita sendiri. Meski di dunia nyata, tapi kita menamsilkan diri kita hidup di dunia maya. Sesuatu yang tidak pasti, tapi kita lupa menyadarinya.
Kondisi ini, bukan pembenaran bahwa saya lebih senang bermimpi sekarang. Tetapi, saya mempelajari kisah-kisah orang besar, mereka selalu memulai dengan sebuah impian, dan ketika itu orang menertawakannya. Tapi itulah risiko yang harus kita hadapi. Memulai itu selalu lebih sulit, tapi yakinlah, ketika permulaan itu mengasyikkan, bakal banyak orang tak berniat mengakhirinya.
‘Anjing menggonggong pada apa yang tidak dipahaminya’ begitulah salah satu petuah kreatif Heraklitus, yang patut kita renungi.
Ketika kita mengutarakan kritik, kita akan mendapatkan jawaban seperti ungkapan tersebut. Seolah-olah kita hanya sekedar mengeluarkan kritik tanpa mengetahui duduk persoalannya. Padahal, apa yang disampaikan tersebut sebenarnya adalah masukan berharga, tetapi mereka lupa merenungkannya. Itulah buah kesombongan besar. Kita tak bisa memadamkan kesombongan, karena itu meruntuhkan ego.
Saya begitu senang dan sekaligus terenyuh, melihat cara kawan-kawan (jikapun saya masih boleh menyebutnya kawan) saya berpolitik. Saya yakini mereka berpolitik secara benar—bahwa dalam berpolitik kita tidak boleh kaku. Karena dalam berpolitik, kita haruslah jadi orang yang plin-plan dan boleh pragmatis apalagi oportunis. Makanya, mereka bisa menjadi tim sukses capres ini dan itu, meski mereka tak menjadikan capres itu sebagai ‘tuhannya’.
Kawan-kawan saya tadi sedang membangun mimpi, entah untuk ke sekian kali. Kekalahan dan nasib buruk saat pemilu legislatif kemarin yang meruntuhkan kesombongan dan ego, tak sedikitpun membuat mereka kapok dan menyerah. Seolah-olah terjun dalam politik adalah garis nasib yang harus diikuti dengan serius. Dan kini garis nasib itu pula yang membuat mereka berbeda dalam mendukung. Pertanyaan kita, apa yang sebenarnya mereka cari? Popularitaskah atau sebagai pundi-pundi rupiah? Kita tak tahu pasti.
Hanya saja, saya pernah mendengar cerita kawan saya, bahwa seorang tokoh partai dan sudah terlalu tua dalam dunia politik berujar, “kita mendukung dia bukan untuk gotong royong dan karena keikhlasan. Jika kita ikhlas dan sekadar gotong royong, mending kita tidak berada di sini, tempat kita di Meunasah atau Mesjid”. Duh…bukankah pernyataan itu menunjukkan bahwa dalam politik praktis tak pernah mengikutsertakan prinsip dan ideologi. Orang akan melulu berbicara, “apa yang bisa kita dapatkan dengan mendukung dia”. Ukuran yang kita gunakan adalah kalkulasi material. Makanya, politik tak semata-mata bicara soal bagaimana meraih kekuasaan semata, melainkan juga bagaimana dukungan kita diukur dengan berapa harga yang harus dibayar. Cocok jika ada yang mengatakan, bahwa politik sebenarnya berbicara, “siapa mendapatkan apa dan bagaimana mendapatkannya”. Tapi keikutsertaan kawan-kawan saya dalam politik, bisa jadi tak seperti ungkapan ‘anjing menggonggong pada apa yang tidak dipahaminya’.
Karena, ketika berpolitik, mereka sudah sangat paham dengan pilihan yang dipilihnya, dan sangat sadar. Mereka pasti sudah membuat kalkusi keuntungan apa yang akan mereka peroleh nantinya? Tapi, mungkin mereka lupa dengan Epigram Heraklitus seperti yang saya kutip di atas, ‘Ketika kita terjaga, kita berbagi satu semesta bersama, tetapi ketika kita tidur kita berpaling ke dunia masing-masing’. Mudah-mudahan mereka mengingatnya. Karena, bisa jadi sekarang mereka berjalan bersama-sama, kampanye bersama, dan memenangkan sang kandidat bersama-sama, tapi bagaimana setelah kandidat itu menang? Apakah mereka masih bersama? Atau mereka seperti kembali ke alam mimpi, dan sibuk dengan dunia masing-masing: ada mimpi indah, ada mimpi buruk. Namanya juga mimpi, tak bisa direkayasa. Homhai. (HA 220609)
Tags:
pojok