Khawarij

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V berakhir antiklimaks. Kegiatan yang seharusnya menjadi ajang pemersatu Aceh setelah sempat memanas dengan munculnya tuntutan ‘pemisahan diri’ dari rakyat pantai tengah (ALA) dan pantai barat selatan (ABAS) akhirnya justru berakhir panas. Kedatangan Presiden SBY ke Aceh untuk membuka PKA secara resmi seperti memantik kembali api permusuhan yang sudah lama ditabuh oleh pejuang ALA dan ABAS.


“Kami maklum, mungkin keberadaan kami memang tidak diakui, tidak dianggap,” kata Bupati Aceh Selatan, Tgk Husein Yusuf, seperti dikutip sebuah Koran lokal, kemarin.
Bupati juga memutuskan menarik diri dari arena PKA yang masih berlangsung beberapa hari lagi. Masalahnya hanya karena Presiden SBY yang sebelumnya diagendakan mengunjungi anjungan Aceh Selatan, tiba-tiba membatalkannya. Sebagai bentuk protes, Bupati juga membuka baju adat yang dikenakannya, karena merasa adat sudah dilecehkan. “Gara-gara setitik nila, rusak susu sebelanga,” rasanya pepatah itu cocok untuk menggambarkan bagaimana PKA yang didesain untuk merekatkan Aceh melalui budaya, gagal memenuhi target.

Sebenarnya, sudah lama tercium bahwa penyelenggaraan PKA bakal menuai masalah, tak hanya karena pelaksanaan tersebut dilakukan melalui proses tender, melainkan juga banyak tokoh-tokoh budaya/seniman tak diajak untuk memberikan kontribusinya. Jumlah dana yang miliaran rupiah jadi sumber masalah. Karena bukan tak mungkin, dana-dana tersebut akan berpencar berserakan, masuk kedalam kantong-kantong orang-orang yang memiliki kantong. Pemerintah Aceh sebagai panitia PKA, pada akhirnya akan menuai kecaman.

Seorang kawan menceritakan (saya tak bisa memastikan apakah benar terjadi demikian), bahwa pemenang tender, yang sering disebut EO pernah berucap, bahwa jika pada akhirnya PKA gagal mencapai target, mereka sama sekali tak akan dipersalahkan dan merasa salah. Mereka kembali ke Jakarta. Yang akan dipersalahkan dan digugat oleh rakyat Aceh adalah Pemerintah Aceh selaku penyelenggara.

Dari cerita kawan-kawan media, saya juga mencatat kekecewaan yang mendalam, ketika pihak ‘pemenang tender untuk menyelenggarakan PKA’ dengan berulang-ulang mengatakan bahwa untuk mempublikasikan agar PKA berlangsung meriah, mereka hanya memilih satu media cetak dan TV. “Apa mereka tidak tahu bahwa di Aceh bukan hanya ada satu Koran!” gugatnya.

Seorang kawan saya lainnya memberitahu bahwa pawai budaya yang melibatkan ribuan orang, sangat minim publikasi. Untuk acara sekaliber PKA, terutama yang melibatkan jumlah massa besar seharusnya masuk televisi. Tapi menurut kawan saya, pawai budaya tersebut sama sekali tak masuk televisi. “Jika PKA dimaksudkan untuk memperkenalkan budaya Aceh kepada orang luar, berarti penyelenggaraan PKA sudah gagal,” katanya. “Jika hanya memperkenalkan budaya Aceh atau mempromosikan hasil dari setiap kabupaten, sangat naïf melibatkan EO. Penyelenggaraan PKA tak perlu ditender,” lanjutnya.

Saya tak akan mempersoalkan bahwa belakangan arena PKA menjadi arena pasar malam, dan sebagian menuding menyuburkan praktik mesum dan melanggar Syariat Islam. Karena itu bukan wewenang saya, melainkan sudah ada Satpol-PP dan WH. Jika Satpol-PP dan WH yang biasanya sangat garang mengintai dan mengejar orang-orang yang nongkrong di Café atau di pinggir pantai, ternyata hanya diam saja, kita seharusnya menggugat mereka. Kenapa pesta yang dibuat para tuan-tuan itu tak pernah diusik meski diyakini di areal PKA tersebut sudah terjadi praktik-praktik yang melanggar syariat?

Terlepas dari itu, ada yang perlu dicatat, bahwa kita sudah memperlihatkan watak budaya asli kita. Kita seharusnya sedih ketika ada pimpinan daerah yang membuka baju adat di muka umum. Karena itu akan meruntuhkan martabat kita orang Aceh di mata orang luar. Saya sendiri menerima beberapa kiriman SMS mengenai insiden buka baju Bupati Aceh Selatan. Salah satu isinya, “untung saja Presiden SBY jadi masuk ke stand PKA Kota Banda Aceh, kalau tidak maka ditakutkan Wakil Walikota Banda Aceh akan buka pakaiannya juga karena ikut-ikutan Bupati Aceh Selatan.” Coba jika itu terjadi, apa yang harus diucapkan? Entahlah, saya tak selera menjawabnya.

Saya justru khawatir jika PKA cenderung menjadi ajang pemisahan diri sebagian saudara kita dari pantai barat selatan dan ALA. Bukan tidak mungkin, sebagai bentuk solidaritas, kabupaten-kabupaten lain akan ikut-ikutan menarik diri dari arena PKA mengikuti Aceh Selatan. Lalu, dimanakah letak makna PKA lagi ketika mulai dieja Peu Kabeih Aceh! (HA 080809)

Post a Comment

Previous Post Next Post