The only thing we learn from history is that we never learn from it—Sir Bertrand Russel
Apa yang berubah setelah kita menandatangani perdamaian? Pertanyaan itu sudah sering saya dengar. Jika ditanyakan sekarang, terus terang saya tidak mampu menjawabnya. Bukan hanya karena saya ‘tak merasakan’ ada perubahan, melainkan karena perubahan itu sendiri sesuatu yang absurd.
Banyak orang, seperti tercermin dalam pernyataan di media dan juga isu yang dilontarkan dalam demo, bahwa cukup banyak point dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Hal tersebut dirasakan sebagai kerikil tajam yang akan menghambat jalannya perdamaian. Mereka pun berharap UUPA direvisi agar sesuai dengan semangat MoU.
Jika dibuka kembali UUPA, didapati banyak point-point yang justru melenceng dari isi MoU. Malah, MoU sendiri tak dimasukkan sebagai landasan filosofis dan politis dalam rangka mewujudkan perdamaian abadi dan penyelesaian konflik Aceh di rujukan menimbang. Keteledoran (baca: disengajakan) anggota DPR yang merumuskan UUPA tersebut merupakan kesalahan pertama dan juga sekaligus paling fatal. Apalagi, diikuti dengan sejumlah kesalahan-kesalahan lain.
Hal ini sebenarnya dapat dimengerti karena seperti terbaca dalam berita, Wapres Jusuf Kalla baru 4 Agustus lalu menyerahkan draft asli MoU Helsinki kepada menteri sekretaris kabinet, Hatta Radjasa. "Kita tidak mau seperti Supersemar. Orang bertengkar satu halaman, dua halaman, tapi aslinya hilang," ujar Jusuf Kalla usai menyerahkan naskah tersebut. Dua naskah lainnya, masing-masing dipegang oleh GAM dan Martti Ahtisaari.
Saat pembahasan UUPA besar kemungkinan para anggota DPR RI tidak pernah melihat draft asli MoU. Ini sangat wajar karena para anggota dewan terhormat tersebut sama sekali tidak menyetujui pemerintah berdialog dengan GAM, ketika perundingan demi perundingan sedang digagas di Helsinki. Anggota dewan ini begitu takut kasus Aceh akan menjadi isu internasional dan diback-up media luar negeri. Mereka sangat takut jika kasus lepasnya Timor-timor terulang di Aceh. Sikap dewan ini juga mendapat dukungan penuh dari pihak TNI saat itu.
Saya teringat sepotong kalimat yang sempat terlontar dari seseorang yang dikirim berunding ke Helsinki, seperti dikutip Aboeprijadi Santoso, “Ngomong sama GAM di sini lebih enak, lebih gampang, ketimbang menjelaskan di Cilangkap atau Senayan.” (Acehkita.com, 26/04/05). Bisa dimengerti juga jika kemudian MoU Helsinki menjadi kesepakatan yang tak pernah diharapkan.
Dalam perjalanannya kemudian, bahkan hingga usia perdamaian menapaki angka empat tahun, banyak orang tak lagi ingat bahwa MoU Helsinki pernah disepakati kedua belah pihak. Apa yang kita saksikan hari ini, termasuk dalam beberapa peraturan, sama sekali tak lagi merujuk kepada MoU Helsinki, seperti tercermin dalam UUPA. Tak jarang pula keluar dari mulut pengambil kebijakan, bahwa MoU bukanlah produk undang-undang, dan hanya sebuah kesepakatan saja. Tak mengikat siapa pun. Mereka lupa bahwa ada penekanan penting dalam MoU, misalnya, “Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini (MoU, red),”
Yang terjadi kemudian kebalikan dari yang pernah disampaikan Jusuf Kalla, bahwa kita bukan bertengkar karena satu atau dua halaman, melainkan sejumlah point yang tak diakomodasi dalam UUPA. Sebut saja soal Peradilan HAM yang rumusannya lebih mundur dari UU No.26/2000 tentang Peradilan HAM, karena tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggar HAM di Aceh pada masa lalu tidak dapat disentuh oleh hukum (bandingkan pasal 227 UUPA dan butir 2.2 MoU Helsinki).
Soal ini cukup banyak mengundang perdebatan. Malah, orang Aceh diminta agar tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu. Malah disebutkan, jika terus mengingat masa lalu, orang Aceh tidak akan pernah maju. Mengungkit masa lalu, dianggap tidak ikhlas menerima perdamaian. Apakah benar demikian?
Filosof yang paling banyak disalahmengertikan, Friedrich Nietzsche, dalam sejumlah bukunya, seperti dikutip Ignas Kleden dalam Indonesia Sebuah Utopia, mengingatkan kita bahwa sejarah harus dihadapi dengan sikap ganda yang seimbang, yaitu mengingat dan sekaligus berlupa. Orang yang hanya sanggup berlupa akan menghadapi hidupnya sebagai beban yang sangat berat, karena dia harus mencoba segala sesuatunya sendiri dari nol dan cenderung mengulang-ulang kesalahan yang sudah berulangkali dibuat orang sebelumnya dalam sejarah. Sebaliknya, sebut Nietzsche, orang yang tak sanggup berlupa juga akan sulit bergerak maju, karena tertahan oleh demikian banyak ingatan akan peristiwa di masa lampau, yang terus menerus mengungkungnya dan menjadikannya tawanan masa silam, yang tak sanggup menerobos keluar dari ingatannya.
Tapi, Sir Bertrand Russel, pemenang Nobel untuk kesusastraan, seperti dikutip di awal tulisan ini, menekankan bahwa kita memang harus mempelajari sejarah dalam arti kita tidak boleh melupakan masa lalu. Meski, katanya, dalam kenyataan yang lebih sering terjadi adalah bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah! Lalu, pertanyaannya, apakah kejahatan-demi-kejahatan pada masa lalu harus didiamkan saja? Ada banyak tangis di sana. Rasa keadilan belum dirasakan oleh masyarakat yang menjadi korban. Para kombatan (bukan elit) dan juga masyarakat yang menjadi perisai para pihak bertikai, belum merasakan nikmat dari hadirnya perdamaian.
Perdamaian memang menjanjikan masa depan yang cerah, tetapi seperti pernah ditulis oleh Naguib Mahfouz yang dikutip dalam buku kebijaksanaan hidup sang peraih nobel itu, Life’s Wisdom (2009), bahwa beban perang sebagian besar jatuh ke prajurit biasa…para pimpinan menempati posisi yang lebih aman, merencanakan dan memikirkan jalan keluar. Bahkan, tegas Naguib menyimpulkan, tangan yang dapat menghasilkan uang selama perang akan menghasilkan dua kali lipat pada saat damai. Belakangan, parade kenikmatan yang diperagakan para elit cukup terasa. Mereka lupa, banyak masyarakat, terutama korban, masih berharap keadilan dari Negara.
Kita tidak ingin ke depan, MoU Helsinki akan dianggap sebagai kecelakaan sejarah. Apalagi, jika sampai harus bertengkar satu sama lain, karena masing-masing pihak memiliki sikap berbeda dalam memandang MoU Helsinki. Lebih elok, jika Pemerintah Aceh, DPRA dan pihak terkait mulai berpikir untuk memasukkan MoU Helsinki dalam kurikulum pendidikan. Biar anak cucu kita tak lupa pada sejarah, bahwa MoU Helsinki pernah ditandatangani nun jauh di sana di kota dingin Helsinki.
Apa yang berubah setelah kita menandatangani perdamaian? Pertanyaan itu sudah sering saya dengar. Jika ditanyakan sekarang, terus terang saya tidak mampu menjawabnya. Bukan hanya karena saya ‘tak merasakan’ ada perubahan, melainkan karena perubahan itu sendiri sesuatu yang absurd.
Banyak orang, seperti tercermin dalam pernyataan di media dan juga isu yang dilontarkan dalam demo, bahwa cukup banyak point dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Hal tersebut dirasakan sebagai kerikil tajam yang akan menghambat jalannya perdamaian. Mereka pun berharap UUPA direvisi agar sesuai dengan semangat MoU.
Jika dibuka kembali UUPA, didapati banyak point-point yang justru melenceng dari isi MoU. Malah, MoU sendiri tak dimasukkan sebagai landasan filosofis dan politis dalam rangka mewujudkan perdamaian abadi dan penyelesaian konflik Aceh di rujukan menimbang. Keteledoran (baca: disengajakan) anggota DPR yang merumuskan UUPA tersebut merupakan kesalahan pertama dan juga sekaligus paling fatal. Apalagi, diikuti dengan sejumlah kesalahan-kesalahan lain.
Hal ini sebenarnya dapat dimengerti karena seperti terbaca dalam berita, Wapres Jusuf Kalla baru 4 Agustus lalu menyerahkan draft asli MoU Helsinki kepada menteri sekretaris kabinet, Hatta Radjasa. "Kita tidak mau seperti Supersemar. Orang bertengkar satu halaman, dua halaman, tapi aslinya hilang," ujar Jusuf Kalla usai menyerahkan naskah tersebut. Dua naskah lainnya, masing-masing dipegang oleh GAM dan Martti Ahtisaari.
Saat pembahasan UUPA besar kemungkinan para anggota DPR RI tidak pernah melihat draft asli MoU. Ini sangat wajar karena para anggota dewan terhormat tersebut sama sekali tidak menyetujui pemerintah berdialog dengan GAM, ketika perundingan demi perundingan sedang digagas di Helsinki. Anggota dewan ini begitu takut kasus Aceh akan menjadi isu internasional dan diback-up media luar negeri. Mereka sangat takut jika kasus lepasnya Timor-timor terulang di Aceh. Sikap dewan ini juga mendapat dukungan penuh dari pihak TNI saat itu.
Saya teringat sepotong kalimat yang sempat terlontar dari seseorang yang dikirim berunding ke Helsinki, seperti dikutip Aboeprijadi Santoso, “Ngomong sama GAM di sini lebih enak, lebih gampang, ketimbang menjelaskan di Cilangkap atau Senayan.” (Acehkita.com, 26/04/05). Bisa dimengerti juga jika kemudian MoU Helsinki menjadi kesepakatan yang tak pernah diharapkan.
Dalam perjalanannya kemudian, bahkan hingga usia perdamaian menapaki angka empat tahun, banyak orang tak lagi ingat bahwa MoU Helsinki pernah disepakati kedua belah pihak. Apa yang kita saksikan hari ini, termasuk dalam beberapa peraturan, sama sekali tak lagi merujuk kepada MoU Helsinki, seperti tercermin dalam UUPA. Tak jarang pula keluar dari mulut pengambil kebijakan, bahwa MoU bukanlah produk undang-undang, dan hanya sebuah kesepakatan saja. Tak mengikat siapa pun. Mereka lupa bahwa ada penekanan penting dalam MoU, misalnya, “Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini (MoU, red),”
Yang terjadi kemudian kebalikan dari yang pernah disampaikan Jusuf Kalla, bahwa kita bukan bertengkar karena satu atau dua halaman, melainkan sejumlah point yang tak diakomodasi dalam UUPA. Sebut saja soal Peradilan HAM yang rumusannya lebih mundur dari UU No.26/2000 tentang Peradilan HAM, karena tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggar HAM di Aceh pada masa lalu tidak dapat disentuh oleh hukum (bandingkan pasal 227 UUPA dan butir 2.2 MoU Helsinki).
Soal ini cukup banyak mengundang perdebatan. Malah, orang Aceh diminta agar tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu. Malah disebutkan, jika terus mengingat masa lalu, orang Aceh tidak akan pernah maju. Mengungkit masa lalu, dianggap tidak ikhlas menerima perdamaian. Apakah benar demikian?
Filosof yang paling banyak disalahmengertikan, Friedrich Nietzsche, dalam sejumlah bukunya, seperti dikutip Ignas Kleden dalam Indonesia Sebuah Utopia, mengingatkan kita bahwa sejarah harus dihadapi dengan sikap ganda yang seimbang, yaitu mengingat dan sekaligus berlupa. Orang yang hanya sanggup berlupa akan menghadapi hidupnya sebagai beban yang sangat berat, karena dia harus mencoba segala sesuatunya sendiri dari nol dan cenderung mengulang-ulang kesalahan yang sudah berulangkali dibuat orang sebelumnya dalam sejarah. Sebaliknya, sebut Nietzsche, orang yang tak sanggup berlupa juga akan sulit bergerak maju, karena tertahan oleh demikian banyak ingatan akan peristiwa di masa lampau, yang terus menerus mengungkungnya dan menjadikannya tawanan masa silam, yang tak sanggup menerobos keluar dari ingatannya.
Tapi, Sir Bertrand Russel, pemenang Nobel untuk kesusastraan, seperti dikutip di awal tulisan ini, menekankan bahwa kita memang harus mempelajari sejarah dalam arti kita tidak boleh melupakan masa lalu. Meski, katanya, dalam kenyataan yang lebih sering terjadi adalah bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah! Lalu, pertanyaannya, apakah kejahatan-demi-kejahatan pada masa lalu harus didiamkan saja? Ada banyak tangis di sana. Rasa keadilan belum dirasakan oleh masyarakat yang menjadi korban. Para kombatan (bukan elit) dan juga masyarakat yang menjadi perisai para pihak bertikai, belum merasakan nikmat dari hadirnya perdamaian.
Perdamaian memang menjanjikan masa depan yang cerah, tetapi seperti pernah ditulis oleh Naguib Mahfouz yang dikutip dalam buku kebijaksanaan hidup sang peraih nobel itu, Life’s Wisdom (2009), bahwa beban perang sebagian besar jatuh ke prajurit biasa…para pimpinan menempati posisi yang lebih aman, merencanakan dan memikirkan jalan keluar. Bahkan, tegas Naguib menyimpulkan, tangan yang dapat menghasilkan uang selama perang akan menghasilkan dua kali lipat pada saat damai. Belakangan, parade kenikmatan yang diperagakan para elit cukup terasa. Mereka lupa, banyak masyarakat, terutama korban, masih berharap keadilan dari Negara.
Kita tidak ingin ke depan, MoU Helsinki akan dianggap sebagai kecelakaan sejarah. Apalagi, jika sampai harus bertengkar satu sama lain, karena masing-masing pihak memiliki sikap berbeda dalam memandang MoU Helsinki. Lebih elok, jika Pemerintah Aceh, DPRA dan pihak terkait mulai berpikir untuk memasukkan MoU Helsinki dalam kurikulum pendidikan. Biar anak cucu kita tak lupa pada sejarah, bahwa MoU Helsinki pernah ditandatangani nun jauh di sana di kota dingin Helsinki.
Tags:
Artikel