Berita yang dilansir Harian Aceh, kemarin, soal penjualan aset Aceh membuat kita terkaget-kaget. Pasalnya dewan yang salah satu fungsinya melakukan pengawasan kerja eksekutif (pemerintah) mengaku penjualan aset Aceh tanpa sepengetahuan mereka. Untuk soal-soal krusial seperti itu, apalagi yang dijual aset daerah, sudah sepatutnya pihak DPRA diberitahu.
Tapi, seperti dimuat Harian Aceh, pihak DPRA merasa tidak diikutsertakan dan diberitahu soal penjualan tersebut. “Kami di Komisi A DPRA tidak diberitahukan sedikit pun tentang penjualan aset ini, ini jelas sebuah kegiatan yang melanggar hukum sehingga kami meminta kasus ini diusut tuntas oleh KPK,” kata Ketua Komisi A DPR Aceh, Khairul Amal.
Kini kasus penjualan aset jadi sorotan lembaga antikorupsi, karena dari data-data yang didapatkan mereka, penjualan aset tersebut diduga melibatkan pejabat tinggi di Aceh seperti Kadis Bina Marga dan Gubernur. Terkuaknya kasus ini ini tentu saja cukup ironis, mengingat, saat awal-awal Pemerintahan Irwandi-Nazar dilantik sudah mengikrarkan akan mengikis habis praktik korupsi yang sudah membudaya di Negeri ini. Tak hanya itu, pemerintah yang terpilih dari jalur independen juga bercita-cita membebaskan Aceh dari praktik korupsi pada 2015. Tapi, kasus-demi-kasus, dan terakhir peristiwa penahanan Mohd Ilyas, Kadis Pendidikan, yang juga tersangkut korupsi, semakin membuat kita ragu. Mampukah Aceh menyongsong era bebas korupsi seperti diinginkan Pemerintah Aceh?
Merebaknya kasus korupsi itu membuat kita harus menelan ludah. Pasalnya, sejak dulu orang-orang di luar Aceh sudah tak lagi menyebut Aceh dengan Serambi Mekkah, melainkan Serambi Korupsi, terutama saat Gubernur Aceh waktu itu, Abdullah Puteh divonis penjara. Kasus korupsi Abdullah Puteh setidaknya selalu menjadi rujukan (saat itu) ketika pembahasan mengenai korupsi dibicarakan. Bukan tidak mungkin, dengan banyaknya kasus korupsi mencuat di tubuh Pemerintah Aceh akhir-akhir ini, orang-orang juga akan menuding Aceh sebagai tempat para ‘pencuri atau penjarah’ uang rakyat bersemedi.
Cepat atau lambat, kita tentu berharap, agar kasus penjualan aset Aceh itu segera terungkap, dan siapa saja yang ikut menikmati atau bertanggung agar bisa diproses sesuai hukum yang berlaku. Kita tidak ingin kasus itu berlarut-larut, dan menjadi bahan pergunjingan yang tiada habisnya. Tak cukup energi kita untuk terus membicarakan kasus yang sebenarnya sudah cukup membuat kita malu. Kita sepakat seperti disampaikan Affan Ramli, pengamat kebijakan publik, yang meminta agar di tubuh Pemerintah Aceh tidak memelihara budaya penjualan aset Aceh tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. “Karena aset itu harta Negara atau harta publik. Menjual harta milik publik tidak sama dengan menjual warisan keluarga masing-masing,” katanya seperti dikutip Harian Aceh, kemarin.
Selain itu, yang membuat kita bertanya-tanya mengenai kasus penjualan aset yang mulai mencuat ke permukaan pada pertengahan 2008 lalu, di internal pejabat teras Aceh, seperti Sekda terkesan tak mengetahui persoalan dan seperti ada yang ditutupi. “Saya belum mau berkomentar mengenai hal ini. Tanya saja sama yang bersangkutan seperti Kadis Bina Marga atau Gubernur. Mereka yang punya wewenang terkait hal ini,” ujarnya. Kita menangkap kesan, ada yang tidak beres dalam kasus penjualan aset ini. Buktinya, Sekda saja tidak tahu menahu, meski Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, Hamid Zein, kepada wartawan mengaku apa yang dilakukan Gubernur dengan mengeluarkan izin penjualan besi jembatan tidak bertentangan dengan hukum. Hamid mengaku ada penyimpangan di tingkat pelaksana.
Kita cukup menyayangkan pernyataan yang terkesan buru-buru seperti disampaikan Hamid Zein tersebut. Pasalnya, bertentang atau tidaknya apa yang dilakukan oleh seorang Gubernur biarlah hukum yang mengeluarkannya. Hukum yang akan menjawab, apakah suatu tindakan itu melanggar hukum atau tidak. Makanya, agar tidak terjadi polemik macam-macam, marilah kita menunggu pemeriksaan dari KPK dan juga kemungkinan kasus tersebut dengan penetapan tersangka. Semoga hukum benar-benar berlaku adil dalam kasus ini. Biar tak ada dusta di antara kita.(HA 110909)
Tapi, seperti dimuat Harian Aceh, pihak DPRA merasa tidak diikutsertakan dan diberitahu soal penjualan tersebut. “Kami di Komisi A DPRA tidak diberitahukan sedikit pun tentang penjualan aset ini, ini jelas sebuah kegiatan yang melanggar hukum sehingga kami meminta kasus ini diusut tuntas oleh KPK,” kata Ketua Komisi A DPR Aceh, Khairul Amal.
Kini kasus penjualan aset jadi sorotan lembaga antikorupsi, karena dari data-data yang didapatkan mereka, penjualan aset tersebut diduga melibatkan pejabat tinggi di Aceh seperti Kadis Bina Marga dan Gubernur. Terkuaknya kasus ini ini tentu saja cukup ironis, mengingat, saat awal-awal Pemerintahan Irwandi-Nazar dilantik sudah mengikrarkan akan mengikis habis praktik korupsi yang sudah membudaya di Negeri ini. Tak hanya itu, pemerintah yang terpilih dari jalur independen juga bercita-cita membebaskan Aceh dari praktik korupsi pada 2015. Tapi, kasus-demi-kasus, dan terakhir peristiwa penahanan Mohd Ilyas, Kadis Pendidikan, yang juga tersangkut korupsi, semakin membuat kita ragu. Mampukah Aceh menyongsong era bebas korupsi seperti diinginkan Pemerintah Aceh?
Merebaknya kasus korupsi itu membuat kita harus menelan ludah. Pasalnya, sejak dulu orang-orang di luar Aceh sudah tak lagi menyebut Aceh dengan Serambi Mekkah, melainkan Serambi Korupsi, terutama saat Gubernur Aceh waktu itu, Abdullah Puteh divonis penjara. Kasus korupsi Abdullah Puteh setidaknya selalu menjadi rujukan (saat itu) ketika pembahasan mengenai korupsi dibicarakan. Bukan tidak mungkin, dengan banyaknya kasus korupsi mencuat di tubuh Pemerintah Aceh akhir-akhir ini, orang-orang juga akan menuding Aceh sebagai tempat para ‘pencuri atau penjarah’ uang rakyat bersemedi.
Cepat atau lambat, kita tentu berharap, agar kasus penjualan aset Aceh itu segera terungkap, dan siapa saja yang ikut menikmati atau bertanggung agar bisa diproses sesuai hukum yang berlaku. Kita tidak ingin kasus itu berlarut-larut, dan menjadi bahan pergunjingan yang tiada habisnya. Tak cukup energi kita untuk terus membicarakan kasus yang sebenarnya sudah cukup membuat kita malu. Kita sepakat seperti disampaikan Affan Ramli, pengamat kebijakan publik, yang meminta agar di tubuh Pemerintah Aceh tidak memelihara budaya penjualan aset Aceh tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. “Karena aset itu harta Negara atau harta publik. Menjual harta milik publik tidak sama dengan menjual warisan keluarga masing-masing,” katanya seperti dikutip Harian Aceh, kemarin.
Selain itu, yang membuat kita bertanya-tanya mengenai kasus penjualan aset yang mulai mencuat ke permukaan pada pertengahan 2008 lalu, di internal pejabat teras Aceh, seperti Sekda terkesan tak mengetahui persoalan dan seperti ada yang ditutupi. “Saya belum mau berkomentar mengenai hal ini. Tanya saja sama yang bersangkutan seperti Kadis Bina Marga atau Gubernur. Mereka yang punya wewenang terkait hal ini,” ujarnya. Kita menangkap kesan, ada yang tidak beres dalam kasus penjualan aset ini. Buktinya, Sekda saja tidak tahu menahu, meski Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, Hamid Zein, kepada wartawan mengaku apa yang dilakukan Gubernur dengan mengeluarkan izin penjualan besi jembatan tidak bertentangan dengan hukum. Hamid mengaku ada penyimpangan di tingkat pelaksana.
Kita cukup menyayangkan pernyataan yang terkesan buru-buru seperti disampaikan Hamid Zein tersebut. Pasalnya, bertentang atau tidaknya apa yang dilakukan oleh seorang Gubernur biarlah hukum yang mengeluarkannya. Hukum yang akan menjawab, apakah suatu tindakan itu melanggar hukum atau tidak. Makanya, agar tidak terjadi polemik macam-macam, marilah kita menunggu pemeriksaan dari KPK dan juga kemungkinan kasus tersebut dengan penetapan tersangka. Semoga hukum benar-benar berlaku adil dalam kasus ini. Biar tak ada dusta di antara kita.(HA 110909)
Tags:
editorial