Aku ingin bercerita tentang mon tuha. Mon itu terletak persis sekitar 100 meter di belakang rumahku. Dulu, waktu masih kecil, aku paling takut sama mon itu. Kata orang-orang di kampungku, mon itu berhantu, ada penghuninya. Siapa saja yang mendekati mon itu, langsung jatuh sakit. Benar juga, ada beberapa anak kecil memang yang jatuh sakit, sehabis mendekati mon itu. Sehingga tak ada anak-anak yang berani mendekat, termasuk aku.
Oya, orang tuaku biasanya membuang sampah atau sesuatu yang dianggap sampah ke mon itu. Tapi, mereka membuangnya dengan melempar dari jauh. Setelah melempar tak ada yang melihat lagi ke arah mon itu, termasuk sekadar memperhatikan apakah yang dibuang itu tepat masuk dalam mon atau tidak.
Pernah suatu hari, aku diminta untuk membuang bulu ayam dan sisik ikan yang habis dikelupas. Ingin rasanya aku menolak. Tapi, tak tega membantah perintah.
“Ingat jangan sampai dekat-dekat dengan mon,” pesan ibuku. “Langsung pulang habis melempar, jangan berlama-lama,” sambungnya. Besoknya, entah karena membuang sampah ke mon itu, aku jatuh sakit dan tak bisa ke sekolah.
Tak jauh dari mon itu, ada sebuah lubang (kami menyebutnya paya) yang dalamnya tak sampai satu meter. Selalu digenangi air. Letaknya hanya beberapa meter dari mon yang dibatasi sebuah kuburan. Ada beberapa pohon yang tumbuh di sekitar paya itu.
Di atas kuburan, tumbuh sebatang pohon jambu. Buahnya cukup manis. Tak jauh dari kuburan itu ada juga pohon jambu yang lebih besar. Buahnya juga manis. Salah satu dahannya condong ke dalam kebun milik keluargaku.
Kami biasanya memetik buah jambu itu dengan melempar, karena tak bisa dipanjat. Batangnya terlalu besar untuk kami yang masih anak-anak. Apalagi, di batang pohon jambu itu banyak ulat-ulat yang membuat kulit gatal-gatal. Melempar pakai galah adalah cara yang paling aman. Itu pun kami lakukan secara ramai-ramai. Biasanya kami melakukannya sehabis main bola di tanah lapang tak jauh dari pohon jambu itu.
Sebenarnya ada juga di antara teman kami yang mencoba memanjat pohon itu, tetapi biasanya setelah ada deal bahwa yang menunggu di bawah tidak lari. Soalnya, sering setelah memanjat pohon, kawan-kawan di bawah setelah mendapatkan beberapa jambu langsung pergi. Sehingga jadilah si pemanjat tinggal sendiri di atas pohon. Jadinya, ya menjerit minta tolong tak henti-henti sampai satu kampung ribut. Makanya kenapa tak ada di antara kami yang berani memanjat. Hehehe.
Di lubang (paya) yang letaknya tak jauh dari mon tuha dan sering digenangi air itu terdapat sehelai kain putih. Entah siapa yang meletakkannya. Ada yang mengatakan, kain itu sudah ada sebelum kami lahir dan diletakkan oleh seorang yang digambarkan cukup tua. Tapi tak ada yang mengenal siapa orang tua itu. Dari jauh kain itu sangat jelas terlihat. Bulu kami selalu merinding jika melihat kain itu. Setelah melihat, biasanya kami akan ambil langkah seribu tanpa aba-aba terlebih dulu.
Rasanya tak usah aku cerita bagaimana suasana kampungku jika di malam hari. Bunyi jangkrik dan burung hantu saja sudah membuat tidur kita tak nyaman. Anak tetangga saja yang menangis tengah malam, sudah menjadikan suasana cukup mencekam. Sama mencekamnya ketika diberlakukan jam malam oleh militer saat itu. Anehnya, setiap malam, aku selalu terjaga, meski tak berani membuka mata. Sudah kebiasaan, jika tidur kaki dan kepala kututupi semuanya. Tak ada bagian tubuhku yang terlihat dari luar. Meski panas dan pengap, aku merasa lebih nyaman. Bukan apa-apa, sedikit saja terbuka, rasanya seperti ada orang asing yang melihat kita…(hehehe). Aku begitu takut pada malam.
Begitu terbangun tengah malam, aku mencoba mendengar apakah ada suara-suara aneh dari belakang rumahku. Karena malam kemarin, ibuku bercerita ada suara tangisan yang diikuti dengan gerak-gerik yang terdengar seperti tulang-tulang. Dia berjalan mendekat. Ibuku sendiri mengaku sangat takut dan memilih melanjutkan tidur, meski mata tak juga mau terpejam.
Tapi, aku tak mendengar apa-apa malam itu. Hanya sesekali terdengar suara burung jampok. Suara itu sendiri sebenarnya sudah cukup membuatku panas dingin dan tak henti-hentinya membaca doa-doa agar lekas tertidur. Doa yang aku baca itu pun lebih banyak sepotong-potong karena terhenti ketika ada suara krek-krok-kruk. Padahal hanya suara ayam yang meloncak pindah tempat tidur.
Anehnya, setiap malam aku terjaga. Padahal, sebelumnya aku selalu terjaga jika adzan subuh berkumandang. Tapi, sejak kejadian terbakarnya kios di ujung jalan yang juga tak jauh dari rumahnya, aku menjadi sulit untuk tidur. Terus terang, aku baru sekali melihat api yang membumbung sangat tinggi dengan warna yang cukup menyiksa mata siapa saja yang memandang. Aku dan ibuku yang berdiri tak jauh dari lokasi, ikut merasakan bagaimana panasnya api itu. Tak henti-hentinya aku menangis karena begitu takut. Aku merengek-rengek minta pulang dan tak ingin melihat api itu. Selepas itu, aku selalu ketakukan. Jika malam tak bisa tidur.
Selain itu, ada kejadian lain yang membuatku tak bisa tidur. Sejak kecil, di kampungku (dan di kampung-kampung lain juga sama) diberlakukan jam malam. Tak boleh ada yang keluyuran malam hari. Masyarakat diminta jaga malam (secara bergiliran). Jika ada yang keluyuran di malam hari harus ditangkap dan dibawa ke pos jaga. Jika orang itu bukan warga kampung harus diamankan di pos jaga sampai aparat (militer) dari kecamatan singgah di pos itu. Tak perlu aku ceritakan bagaimana nasib orang itu. Semua kita sudah tahu, jika mereka bakal disekolahkan. Seorang teungku saja yang keluar hendak mengambil air wudhuk untuk salat subuh ditangkap dan setelah itu ditembak.
Aku tahu kejadian ini setelah mendengar cerita dari orang tuaku, esok harinya dan setelah aku mencium mayat saat mau ke sekolah. Menurut cerita , si Teungku itu dibawa oleh tentara yang ditangkap dari sebuah kampung yang tak kutahu apa namanya. Pertama tentara itu menawarkan apakah petugas ronda (petugas jaga malam) dari kampung sebelah kampungku mau mengeksekusi anggota GPK (sebutan yang dulu cukup populer di kampungku). Tapi petugas jaga malam menolaknya secara halus.
“Karena orang ini bapak-bapak (dulu orang harus menyebut tentara dengan bapak, ed) yang tangkap, ya lebih baik terserah bapak mau diapain,” jawab petugas jaga, malam itu. Tak lama kemudian, Teungku itu pun ditembak.
Aku yang masih kecil bisa mendengar bunyi letusan senjata dari para tentara itu. Selepas kejadian itu, aku tak bisa tidur nyenyak. Setiap malam, aku terjaga. Karena sudah terbiasa, aku pasang kuping baik-baik dan mencoba mendengar suara apa saja malam itu. Apakah ada suara tijem jampok, bunyi tulang-beluang yang lagi berjalan atau bunyi letusan senjata. Aku merasa, masa kecilku begitu terganggu.
Tapi ada yang patut disyukuri dari kondisi itu. Aku begitu pandai membuat senjata mainan dari pelepah rumbia dan bermain perang-perangan dengan sesama anak-anak lainnya. Kami cukup hafal cara memegang senjata, cara berjalan dan juga cara merayap, saat mengintai musuh. Sejak kecil kami sudah belajar cara berperang. Pendidikan yang tak ternilai, dan kami tak perlu ikut wajib militer seperti di Negara-negara lain. Hehehe.
***
Sebenarnya, aku tak mau mengingat lagi soal mon tuha. Tapi, beberapa waktu lalu, tak jauh dari mon itu sudah dibangun sebuah kandang lembu. Di sekeliling mon itu tak lagi angker, beda dengan beberapa tahun lalu. Padahal dulu, di sekeliling mon itu penuh semak belukar. Kita tak pernah tahu apakah ada mon di situ atau tidak, jika tak ada cerita. Kini, mon itu tak lagi dalam karena sudah dipenuhi sampah.
Tak ada lagi orang yang takut mendekat, meski dulu diberitakan siapa saja yang mendekat akan langsung jatuh sakit. Aku juga jika pulang ke kampung selalu lewat belakang dan harus melewati mon tuha itu, tak lagi takut. Dulu, mendengar mon tuha disebut saja aku sudah tutup telinga dengan mata kupejam.
Karena penasaran, aku mencoba bertanya soal mon tuha itu. Bagaimana mon itu terbentuk dan kenapa begitu angker. Jawaban yang aku terima sama sekali tak memuaskan, meski ada beberapa hal yang patut diberi catatan. Mon itu, katanya, dulu digali saat masa DI/TII untuk menimbun tentara pemerintah. Namun, saat masa DOM (Daerah Operasi Militer), mon itu digunakan sebagai tempat untuk orang GPK yang habis ditembak. Aku meragukan cerita itu, meski tak bisa kubantah. Begitulah cerita mon tuha yang aku tahu, dan kutulis kembali karena tak ada topik yang cocok untuk aku tulis. Sayang jika Laptop terus nganggur. Hehehe.
Mon Tuha: Sumur Tua
Sumber Foto: Liocandra
Oya, orang tuaku biasanya membuang sampah atau sesuatu yang dianggap sampah ke mon itu. Tapi, mereka membuangnya dengan melempar dari jauh. Setelah melempar tak ada yang melihat lagi ke arah mon itu, termasuk sekadar memperhatikan apakah yang dibuang itu tepat masuk dalam mon atau tidak.
Pernah suatu hari, aku diminta untuk membuang bulu ayam dan sisik ikan yang habis dikelupas. Ingin rasanya aku menolak. Tapi, tak tega membantah perintah.
“Ingat jangan sampai dekat-dekat dengan mon,” pesan ibuku. “Langsung pulang habis melempar, jangan berlama-lama,” sambungnya. Besoknya, entah karena membuang sampah ke mon itu, aku jatuh sakit dan tak bisa ke sekolah.
Tak jauh dari mon itu, ada sebuah lubang (kami menyebutnya paya) yang dalamnya tak sampai satu meter. Selalu digenangi air. Letaknya hanya beberapa meter dari mon yang dibatasi sebuah kuburan. Ada beberapa pohon yang tumbuh di sekitar paya itu.
Di atas kuburan, tumbuh sebatang pohon jambu. Buahnya cukup manis. Tak jauh dari kuburan itu ada juga pohon jambu yang lebih besar. Buahnya juga manis. Salah satu dahannya condong ke dalam kebun milik keluargaku.
Kami biasanya memetik buah jambu itu dengan melempar, karena tak bisa dipanjat. Batangnya terlalu besar untuk kami yang masih anak-anak. Apalagi, di batang pohon jambu itu banyak ulat-ulat yang membuat kulit gatal-gatal. Melempar pakai galah adalah cara yang paling aman. Itu pun kami lakukan secara ramai-ramai. Biasanya kami melakukannya sehabis main bola di tanah lapang tak jauh dari pohon jambu itu.
Sebenarnya ada juga di antara teman kami yang mencoba memanjat pohon itu, tetapi biasanya setelah ada deal bahwa yang menunggu di bawah tidak lari. Soalnya, sering setelah memanjat pohon, kawan-kawan di bawah setelah mendapatkan beberapa jambu langsung pergi. Sehingga jadilah si pemanjat tinggal sendiri di atas pohon. Jadinya, ya menjerit minta tolong tak henti-henti sampai satu kampung ribut. Makanya kenapa tak ada di antara kami yang berani memanjat. Hehehe.
Di lubang (paya) yang letaknya tak jauh dari mon tuha dan sering digenangi air itu terdapat sehelai kain putih. Entah siapa yang meletakkannya. Ada yang mengatakan, kain itu sudah ada sebelum kami lahir dan diletakkan oleh seorang yang digambarkan cukup tua. Tapi tak ada yang mengenal siapa orang tua itu. Dari jauh kain itu sangat jelas terlihat. Bulu kami selalu merinding jika melihat kain itu. Setelah melihat, biasanya kami akan ambil langkah seribu tanpa aba-aba terlebih dulu.
Rasanya tak usah aku cerita bagaimana suasana kampungku jika di malam hari. Bunyi jangkrik dan burung hantu saja sudah membuat tidur kita tak nyaman. Anak tetangga saja yang menangis tengah malam, sudah menjadikan suasana cukup mencekam. Sama mencekamnya ketika diberlakukan jam malam oleh militer saat itu. Anehnya, setiap malam, aku selalu terjaga, meski tak berani membuka mata. Sudah kebiasaan, jika tidur kaki dan kepala kututupi semuanya. Tak ada bagian tubuhku yang terlihat dari luar. Meski panas dan pengap, aku merasa lebih nyaman. Bukan apa-apa, sedikit saja terbuka, rasanya seperti ada orang asing yang melihat kita…(hehehe). Aku begitu takut pada malam.
Begitu terbangun tengah malam, aku mencoba mendengar apakah ada suara-suara aneh dari belakang rumahku. Karena malam kemarin, ibuku bercerita ada suara tangisan yang diikuti dengan gerak-gerik yang terdengar seperti tulang-tulang. Dia berjalan mendekat. Ibuku sendiri mengaku sangat takut dan memilih melanjutkan tidur, meski mata tak juga mau terpejam.
Tapi, aku tak mendengar apa-apa malam itu. Hanya sesekali terdengar suara burung jampok. Suara itu sendiri sebenarnya sudah cukup membuatku panas dingin dan tak henti-hentinya membaca doa-doa agar lekas tertidur. Doa yang aku baca itu pun lebih banyak sepotong-potong karena terhenti ketika ada suara krek-krok-kruk. Padahal hanya suara ayam yang meloncak pindah tempat tidur.
Anehnya, setiap malam aku terjaga. Padahal, sebelumnya aku selalu terjaga jika adzan subuh berkumandang. Tapi, sejak kejadian terbakarnya kios di ujung jalan yang juga tak jauh dari rumahnya, aku menjadi sulit untuk tidur. Terus terang, aku baru sekali melihat api yang membumbung sangat tinggi dengan warna yang cukup menyiksa mata siapa saja yang memandang. Aku dan ibuku yang berdiri tak jauh dari lokasi, ikut merasakan bagaimana panasnya api itu. Tak henti-hentinya aku menangis karena begitu takut. Aku merengek-rengek minta pulang dan tak ingin melihat api itu. Selepas itu, aku selalu ketakukan. Jika malam tak bisa tidur.
Selain itu, ada kejadian lain yang membuatku tak bisa tidur. Sejak kecil, di kampungku (dan di kampung-kampung lain juga sama) diberlakukan jam malam. Tak boleh ada yang keluyuran malam hari. Masyarakat diminta jaga malam (secara bergiliran). Jika ada yang keluyuran di malam hari harus ditangkap dan dibawa ke pos jaga. Jika orang itu bukan warga kampung harus diamankan di pos jaga sampai aparat (militer) dari kecamatan singgah di pos itu. Tak perlu aku ceritakan bagaimana nasib orang itu. Semua kita sudah tahu, jika mereka bakal disekolahkan. Seorang teungku saja yang keluar hendak mengambil air wudhuk untuk salat subuh ditangkap dan setelah itu ditembak.
Aku tahu kejadian ini setelah mendengar cerita dari orang tuaku, esok harinya dan setelah aku mencium mayat saat mau ke sekolah. Menurut cerita , si Teungku itu dibawa oleh tentara yang ditangkap dari sebuah kampung yang tak kutahu apa namanya. Pertama tentara itu menawarkan apakah petugas ronda (petugas jaga malam) dari kampung sebelah kampungku mau mengeksekusi anggota GPK (sebutan yang dulu cukup populer di kampungku). Tapi petugas jaga malam menolaknya secara halus.
“Karena orang ini bapak-bapak (dulu orang harus menyebut tentara dengan bapak, ed) yang tangkap, ya lebih baik terserah bapak mau diapain,” jawab petugas jaga, malam itu. Tak lama kemudian, Teungku itu pun ditembak.
Aku yang masih kecil bisa mendengar bunyi letusan senjata dari para tentara itu. Selepas kejadian itu, aku tak bisa tidur nyenyak. Setiap malam, aku terjaga. Karena sudah terbiasa, aku pasang kuping baik-baik dan mencoba mendengar suara apa saja malam itu. Apakah ada suara tijem jampok, bunyi tulang-beluang yang lagi berjalan atau bunyi letusan senjata. Aku merasa, masa kecilku begitu terganggu.
Tapi ada yang patut disyukuri dari kondisi itu. Aku begitu pandai membuat senjata mainan dari pelepah rumbia dan bermain perang-perangan dengan sesama anak-anak lainnya. Kami cukup hafal cara memegang senjata, cara berjalan dan juga cara merayap, saat mengintai musuh. Sejak kecil kami sudah belajar cara berperang. Pendidikan yang tak ternilai, dan kami tak perlu ikut wajib militer seperti di Negara-negara lain. Hehehe.
***
Sebenarnya, aku tak mau mengingat lagi soal mon tuha. Tapi, beberapa waktu lalu, tak jauh dari mon itu sudah dibangun sebuah kandang lembu. Di sekeliling mon itu tak lagi angker, beda dengan beberapa tahun lalu. Padahal dulu, di sekeliling mon itu penuh semak belukar. Kita tak pernah tahu apakah ada mon di situ atau tidak, jika tak ada cerita. Kini, mon itu tak lagi dalam karena sudah dipenuhi sampah.
Tak ada lagi orang yang takut mendekat, meski dulu diberitakan siapa saja yang mendekat akan langsung jatuh sakit. Aku juga jika pulang ke kampung selalu lewat belakang dan harus melewati mon tuha itu, tak lagi takut. Dulu, mendengar mon tuha disebut saja aku sudah tutup telinga dengan mata kupejam.
Karena penasaran, aku mencoba bertanya soal mon tuha itu. Bagaimana mon itu terbentuk dan kenapa begitu angker. Jawaban yang aku terima sama sekali tak memuaskan, meski ada beberapa hal yang patut diberi catatan. Mon itu, katanya, dulu digali saat masa DI/TII untuk menimbun tentara pemerintah. Namun, saat masa DOM (Daerah Operasi Militer), mon itu digunakan sebagai tempat untuk orang GPK yang habis ditembak. Aku meragukan cerita itu, meski tak bisa kubantah. Begitulah cerita mon tuha yang aku tahu, dan kutulis kembali karena tak ada topik yang cocok untuk aku tulis. Sayang jika Laptop terus nganggur. Hehehe.
Mon Tuha: Sumur Tua
Sumber Foto: Liocandra
Tags:
cerita