Hampir sebulan, saya tak pernah mengisi Blog ini lagi. Kawan-kawan yang membaca blog ini pasti mengumpat kenapa tak pernah diupdate lagi? Apakah pemiliknya sudah bosan atau sudah kehilangan ide untuk menulis? Tak ingin membuat pembaca bertambah kecewa, saya mencoba menulis tulisan (sampah) ini, semoga berkenan. Saya hanya ingin mengulang kejadian unik dan pesan di dalamnya di bulan November ini. Silahkan dibaca saja. Jika tak berkenan, anggap saja tulisan ini hanya sekedar membuat blog tetap terisi, sehingga om google selalu mengindexnya.
Di bulan November, sudah sepantasnya saya bergembira. Ada sejarah yang tercipta di bulan November ini, dan sejarah itu bukan hanya menjadi milik saya, melainkan milik orang-orang. Bagi orang Aceh, terutama yang masih punya ingatan kuat, November adalah bulan sebuah pemberontakan damai dikumandangkan. Bagi saya, November adalah bulan tanda kehidupan. Sementara bagi Indonesia, November adalah bulan untuk menghormati para pahlawan.
Lalu, apa istimewanya? Tanggal 8 November, sepuluh tahun lalu, di Masjid Raya Banda Aceh, jutaan rakyat baik laki maupun perempuan, tua-muda, ulama dan bukan ulama, semua berkumpul. Mereka berbicara dengan bahasa yang sama; bahasa perjuangan. Tak henti-hentinya kata-kata itu diulang-ulang, sehingga siapa saja yang mendengar bisa merasakan aura kemarahan yang memuncak. Mereka yang berkumpul menyemut itu, menawarkan satu solusi untuk menghentikan kemarahan: referendum! Ya…mereka meminta status Aceh diputuskan, apakah bergabung atau berpisah dari Indonesia, melalui sebuah jajak pendapat yang dipantau dan diawasi lembaga internasional.
Pada tanggal 9 November, dua puluh delapan tahun yang lalu, seorang bocah lahir dan memperdengarkan tangisannya kepada dunia. Tak ada yang istimewa dari bocah itu. Kehidupannya tak lebih beruntung dari bocah yang lahir sebelum atau sesudahnya. Dia kurus. Lahir dari sebuah keluarga miskin, di mana pemasukan dan pengeluaran jauh tak seimbang. Tetapi, bocah itu terlalu baik untuk langsung mati begitu dilahirkan. Kini, dia bukan lagi bocah, tetapi sudah menjadi orang dewasa yang berusia 28 tahun.
Sementara apa yang terjadi pada 10 November. Orang-orang pasti akan mengingat peristiwa penting saat Bung Tomo mengumandangkan perlawanan sampai darah penghabisan mengusir Belanda. Arek-arek Surabaya dengan gagah berani dan pantang menyerah, berjuang mati-matian membela Indonesia yang baru diproklamirkan.
Mengikuti alur tanggal di atas, 8, 9, dan 10 November, jelas terlihat posisi laki-laki yang kini berusia 28 tahun terjepit oleh dua sikap besar dan bertolak belakang. Jika tanggal 8 November, orang-orang Aceh dengan kemarahan yang memuncak meminta cerai dari Indonesia, maka tanggal 10 November orang-orang mengingat jasa pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raga untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan. Saya sendiri tak tahu, apakah sikap saya lebih berat ke sikap 8 November atau 10 November? Saya tak tahu.
Tapi sekarang lupakan soal terjepit secara ideologis itu. Lupakan soal tanggal atau peristiwa yang mengitarinya. Saya hanya ingin bercerita, soal posisi saya yang benar-benar terjepit, sampai kawan-kawan menyebutnya ‘kado terburuk’ untuk ulang tahun saya. Sebagai pendukung Manchester United (MU), saya selalu berharap klub yang diarsiteki Alex Ferguson selalu menuai kemenangan dalam setiap laga. Tapi, sebagai orang yang percaya bola itu bulat, saya tak bisa membuat vonis bahwa klub kesayangan saya akan selalu menang. Saya harus realistis. Ada 2x45 menit yang harus dijalani untuk menentukan hasil akhir: menang atau kalah. Saya yakin, hanya klub terbaik dan memiliki teknik, kompak, serta tahu letak posisi lawanlah yang selalu keluar sebagai pemenang, di luar faktor keberuntungan atau sentuhan dewi fortuna.
Namun, kejadian pada Minggu (8/11) atau malam Senin, benar-benar (sama sekali) tak saya harapkan. Laga Manchester United vs Chelsea, jauh-jauh hari saya tunggu-tunggu. Inilah momen bagi MU untuk memuncaki klasemen sementara. Sebagai pendukung, malam itu saya bekerja seperti biasa, penuh semangat, dan ingin cepat-cepat keluar dari kantor. Dan berhasil. Saking bersemangatnya, saya menulis sebuah ‘status’ di Facebook: Red Army tahu apa yang harus dilakukan di Stamford Bridge. Tak perlu menunggu bermenit-menit, langsung ada yang memberikan tanggapan. “Jika MU kalah itu merupakan sebuah kado terburuk”. Ucapan itu cukup berbeda dengan ucapan selamat ulang tahun (terima kasih-terima kasih) yang sudah mulai mengisi wall saya.
Begitu pertandingan sudah dimulai, jantung saya berdegub cukup keras. Pasalnya, di tempat saya menonton (Jambo Kupi), orang-orang sepertinya lebih banyak mendukung Chelsea. Selalu ada teriakan, sorakan dan aplusan begitu pemain Chelsea muncul di layar. Kondisi itu begitu kontras, saat pemain MU muncul di layar, hanya ada satu dua pendukung fanatik seperti saya, yang memberi aplusan. Di situ saja saya sudah merasakan suasana terjepit.
Ada kejadian aneh, seorang yang duduk di depan saya, pria berkacamata, menoleh ke belakang dan meminta korek untuk membakar rokoknya. Sambil basa-basi, dia tanya saya pendukung mana, yang langsung saya jawab, “Kita mungkin bermusuhan!” Sepertinya dia maklum, karena saya pendukung MU dan dia pegang Chelsea. Hal itu saya tahu setiap gawang MU terancam dia selalu bertepuk tangan dan pernah sekali sampai meloncat kegirangannya.
Waktu yang tak diharapkan itu pun terjadi. Sebuah tandukang John Terry, membuat pendukung MU seperti saya bungkam dan tak percaya. Pasca gol dari kapten Chelsea itu, Hp saya tak henti-hentinya berbunyi, yang mengabarkan bahwa MU akan kalah. Hal yang sama juga terjadi di Facebook, status update saya itu sudah ramai dikomen, ada yang mendukung MU dan tak sedikit pula yang mengabarkan MU akan kalah. Waktu sepertinya begitu cepat berjalan. Doa tak lagi mempan untuk mengiringi perjuangan anak-anak Red Devils. Hasil akhirnya pun tak berubah, 1-0 untuk Chelsea. Kalah. Besoknya, koran-koran menulis, ‘MU tak pernah menang melawan tim big four.”
Lalu, apa istimewanya? Tanggal 8 November, sepuluh tahun lalu, di Masjid Raya Banda Aceh, jutaan rakyat baik laki maupun perempuan, tua-muda, ulama dan bukan ulama, semua berkumpul. Mereka berbicara dengan bahasa yang sama; bahasa perjuangan. Tak henti-hentinya kata-kata itu diulang-ulang, sehingga siapa saja yang mendengar bisa merasakan aura kemarahan yang memuncak. Mereka yang berkumpul menyemut itu, menawarkan satu solusi untuk menghentikan kemarahan: referendum! Ya…mereka meminta status Aceh diputuskan, apakah bergabung atau berpisah dari Indonesia, melalui sebuah jajak pendapat yang dipantau dan diawasi lembaga internasional.
Pada tanggal 9 November, dua puluh delapan tahun yang lalu, seorang bocah lahir dan memperdengarkan tangisannya kepada dunia. Tak ada yang istimewa dari bocah itu. Kehidupannya tak lebih beruntung dari bocah yang lahir sebelum atau sesudahnya. Dia kurus. Lahir dari sebuah keluarga miskin, di mana pemasukan dan pengeluaran jauh tak seimbang. Tetapi, bocah itu terlalu baik untuk langsung mati begitu dilahirkan. Kini, dia bukan lagi bocah, tetapi sudah menjadi orang dewasa yang berusia 28 tahun.
Sementara apa yang terjadi pada 10 November. Orang-orang pasti akan mengingat peristiwa penting saat Bung Tomo mengumandangkan perlawanan sampai darah penghabisan mengusir Belanda. Arek-arek Surabaya dengan gagah berani dan pantang menyerah, berjuang mati-matian membela Indonesia yang baru diproklamirkan.
Mengikuti alur tanggal di atas, 8, 9, dan 10 November, jelas terlihat posisi laki-laki yang kini berusia 28 tahun terjepit oleh dua sikap besar dan bertolak belakang. Jika tanggal 8 November, orang-orang Aceh dengan kemarahan yang memuncak meminta cerai dari Indonesia, maka tanggal 10 November orang-orang mengingat jasa pahlawan yang mengorbankan jiwa dan raga untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan. Saya sendiri tak tahu, apakah sikap saya lebih berat ke sikap 8 November atau 10 November? Saya tak tahu.
Tapi sekarang lupakan soal terjepit secara ideologis itu. Lupakan soal tanggal atau peristiwa yang mengitarinya. Saya hanya ingin bercerita, soal posisi saya yang benar-benar terjepit, sampai kawan-kawan menyebutnya ‘kado terburuk’ untuk ulang tahun saya. Sebagai pendukung Manchester United (MU), saya selalu berharap klub yang diarsiteki Alex Ferguson selalu menuai kemenangan dalam setiap laga. Tapi, sebagai orang yang percaya bola itu bulat, saya tak bisa membuat vonis bahwa klub kesayangan saya akan selalu menang. Saya harus realistis. Ada 2x45 menit yang harus dijalani untuk menentukan hasil akhir: menang atau kalah. Saya yakin, hanya klub terbaik dan memiliki teknik, kompak, serta tahu letak posisi lawanlah yang selalu keluar sebagai pemenang, di luar faktor keberuntungan atau sentuhan dewi fortuna.
Namun, kejadian pada Minggu (8/11) atau malam Senin, benar-benar (sama sekali) tak saya harapkan. Laga Manchester United vs Chelsea, jauh-jauh hari saya tunggu-tunggu. Inilah momen bagi MU untuk memuncaki klasemen sementara. Sebagai pendukung, malam itu saya bekerja seperti biasa, penuh semangat, dan ingin cepat-cepat keluar dari kantor. Dan berhasil. Saking bersemangatnya, saya menulis sebuah ‘status’ di Facebook: Red Army tahu apa yang harus dilakukan di Stamford Bridge. Tak perlu menunggu bermenit-menit, langsung ada yang memberikan tanggapan. “Jika MU kalah itu merupakan sebuah kado terburuk”. Ucapan itu cukup berbeda dengan ucapan selamat ulang tahun (terima kasih-terima kasih) yang sudah mulai mengisi wall saya.
Begitu pertandingan sudah dimulai, jantung saya berdegub cukup keras. Pasalnya, di tempat saya menonton (Jambo Kupi), orang-orang sepertinya lebih banyak mendukung Chelsea. Selalu ada teriakan, sorakan dan aplusan begitu pemain Chelsea muncul di layar. Kondisi itu begitu kontras, saat pemain MU muncul di layar, hanya ada satu dua pendukung fanatik seperti saya, yang memberi aplusan. Di situ saja saya sudah merasakan suasana terjepit.
Ada kejadian aneh, seorang yang duduk di depan saya, pria berkacamata, menoleh ke belakang dan meminta korek untuk membakar rokoknya. Sambil basa-basi, dia tanya saya pendukung mana, yang langsung saya jawab, “Kita mungkin bermusuhan!” Sepertinya dia maklum, karena saya pendukung MU dan dia pegang Chelsea. Hal itu saya tahu setiap gawang MU terancam dia selalu bertepuk tangan dan pernah sekali sampai meloncat kegirangannya.
Waktu yang tak diharapkan itu pun terjadi. Sebuah tandukang John Terry, membuat pendukung MU seperti saya bungkam dan tak percaya. Pasca gol dari kapten Chelsea itu, Hp saya tak henti-hentinya berbunyi, yang mengabarkan bahwa MU akan kalah. Hal yang sama juga terjadi di Facebook, status update saya itu sudah ramai dikomen, ada yang mendukung MU dan tak sedikit pula yang mengabarkan MU akan kalah. Waktu sepertinya begitu cepat berjalan. Doa tak lagi mempan untuk mengiringi perjuangan anak-anak Red Devils. Hasil akhirnya pun tak berubah, 1-0 untuk Chelsea. Kalah. Besoknya, koran-koran menulis, ‘MU tak pernah menang melawan tim big four.”