Kawan-kawan, saya berharap tak marah dengan tulisan ini. Seburuk apapun sebuah tulisan, dia tetap punya hak untuk dibaca dan diberi tanggapan; baik atau buruk. Begitu juga dengan tulisan saya ini, murni hanya sebuah mimpi saya. Tak masalah jika gara-gara menulis ini saya akan dianggap sebagai ‘pungo’ (gila). Begitulah, saya tak ingin sesuatu yang saya pikirkan hanya terganjal di kepala. Saya ingin berbagi dengan orang lain, meski itu akan dianggap sebuah kegilaan.
Kegilaan saya berawal dari Pidato Pengantar RAPBN dan Nota Keuangan 2010 yang disampaikan Presiden SBY di hadapan Rapat Paripurna Luar Biasa DPR, 3 Agustus silam. Saat itu—kemudian jadi perbincangan hangat, termasuk mengenai siapa saja yang nantinya mengisi posisi basah itu—Presiden membocorkan beberapa departemen yang akan mendapatkan alokasi anggaran cukup besar, dari sebelumnya.
Di hadapan anggota dewan terhormat, Presiden menyebutkan, Departemen Pendidikan Nasional akan memperoleh anggaran (masih direncanakan) sebesar Rp51,8 triliun. Disusul Departemen Pertahanan sebesar Rp40,7 triliun, dan Departemen Umum (Rp34,3 triliun). Selain itu, Departemen Agama juga ketiban rezeki, karena akan mendapatkan Rp26,0 triliun, berikutnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Rp25,8 triliun), Departemen Kesehatan (20,8 triliun) dan Departemen Perhubungan sebesar Rp16,0 triliun.
Saya bukan bermimpi bagaimana uang sejumlah itu masuk ke rekening saya. Apalagi bermimpi bisa menjadi salah satu anggota Kabinet biar bisa mengelola dana sebanyak itu. Sama sekali saya tak punya minat. Saya hanya anak kampung dan belum ‘boleh’ mengurusi hal-hal besar. Tapi saya tak akan mengatakannya di hadapan publik, apalagi di hadapan masyarakat sendiri, bahwa kita belum boleh mengurusi hal-hal besar.
Biarlah itu menjadi haknya sang juru bicara. Dia yang berhak mengatakannya. Hehehe.
Namun, mendengar ada dana yang cukup besar itu, pikiran saya langsung melayang ke Inggris, Spanyol, dan Italia. Apa hubungannya dana itu dengan ketiga negara yang saya sebutkan? Memang sih tak ada hubungan. Tapi coba saja kita hubung-hubungkan, biar terhubung. “Bagaimana jika beberapa Departemen itu berembuk (tentunya dengan persetujuan DPR) untuk menyisihkan beberapa triliun saja dana itu untuk membeli klub Sepakbola, apakah itu di Inggris, Spanyol atau Italia?”
Pasti ada yang bilang, itu hanya terwujud dalam mimpi. Tetapi, memiliki impian sudah lebih dari cukup daripada tidak memiliki sama sekali. Minimal kita sudah punya impian, dan orang-orang akan menilainya, apakah itu hanya akan berlalu sebagai mimpi atau akan ada orang nantinya untuk mewujudkan mimpi itu. Toh, dari buku-buku biografi tokoh-tokoh besar dunia yang bisa kita baca, semua penemuan mereka berangkat dari sebuah impian. Pada akhirnya, mereka menemukan hal-hal besar, yang sebelumnya mungkin hanya dianggap mimpi belaka.
Soal membeli klub sepakbola ini, sebelumnya sudah pernah saya tulis dalam salah satu tulisan saya di buku Aceh Pungo, dengan judul Investasi. Ide membeli klub sepakbola saya usulkan karena banyaknya dana APBA (di tempat lain dikenal APBD) yang tersisa karena minimnya serapan anggaran. Meski dana itu nantinya jadi dana SILPA, lebih bagus juga jika digunakan untuk membali klub sepakbola. Saya sempat membuka Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) dan saya baca berulang-kali. Kesimpulan saya, Pemerintah Aceh bisa membeli klub sepakbola sebagai investasi, termasuk di luar negeri. Alasan saya sederhana saja, misalnya, daripada mengurusi investor yang ‘masih’ berencana menanamkan modalnya di Aceh, lebih baik jika Pemerintah Aceh melakukan ekspansi investasi di luar negeri. Apalagi Aceh bebas melakukan kerjasama ekonomi dan investasi dengan luar negeri, seperti disebutkan dalam UU PA, yaitu “Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” (pasal 165 ayat (1)).
Ide itu semakin masuk akal karena harga klub sepakbola juga tidak begitu mahal seperti harga Manchester City, hanya 200 juta poundsterteling (3,4 triliun). Dengan dana lebih (sisa) yang dimiliki Pemerintah Aceh mampu melakukannya, apalagi untuk ukuran dana Pemerintah Pusat, seperti sudah kita sebutkan di atas. Tentu lebih dari cukup, belum lagi jika dana itu dari hasil sharing beberapa Departemen (dengan fokus bidang hampir sama).
Harga Manchester City tentu saja lebih murah, jika dibandingkan dengan harga klub big four (sebutan untuk klub langganan empat besar seperti Manchester United, Chelsea, Liverpool dan Arsenal). Sebut saja Liverpool, yang menurut laporan Majalah Forbes harganya bernilai $1 miliar (belum termasuk utang yang dimiliki dua pemegang sahamnnya). Dengan harga senilai itu, Liverpool menjadi klub sepakbola keempat yang paling berharga di muka bumi, setelah Manchester United, Real Madrid dan Arsenal.
Trend berinvestasi klub bola sekarang ini menjadi hobby beberapa Emir Arab atau pangeran negeri kerajaan di Timur Tengah. Mereka seperti berlomba-lomba memiliki klub sepakbola. Dulu kita hanya mengenal Putra Khaddafi, penguasa Libya, yang memiliki saham di Lazio. Kini, para raja minyak di Saudi Arabi, Qatar, atau Uni Emirat Arab, berlomba-lomba memiliki klub sepakbola. Belum lekang dari ingatan kita pemindahan kepemilikan Manchester City dari Thaksin Sinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand yang terguling, ke pengusaha kaya-raya Uni Emirat Arab (Syeikh Mansur) yang tergabung dalam Abu Dhabi United Group for Development and Investment (ADUGDI) yang diwakili Sulaiman Al-Fahim. Al Fahim belakangan juga mengambil alih kepemilikan Portsmouth.
Belakangan, seperti bisa dibaca dalam sejumlah pemberitaan, Pangeran Faisal bin Fadh bin Abdullah, juga sudah menjajaki untuk mengambil alih Liverpool dari pemiliknya, Tom Hicks dan George Gillets, yang kini dililit banyak hutang yang mendekati harga klub sepakbola (senilai 245 poundsterling/$390 juta). Tak tanggung-tanggung, Pangeran Faisal dilaporkan sedang menyiapkan sebuah kesepakatan dengan nilai 350 juta poundsterling (sekitar US$560 juta). Jika dirupiahkan sekitar Rp4,9 triliun lebih atau ± setengah dari harga klub sebesar US$1 miliar (sekitar Rp9,4 triliun). Coba gunakan website ini untuk konversi nilai mata uang. Jika kesepakatan itu tercapai, berarti setengah lebih saham dari dua pemilik Liverpool akan menjadi milik Pangeran Arab.
Dalam sejumlah pemberitaan, sang Pangeran sudah memiliki rencana dengan Liverpool tentang pengaturan dan pendidikan akademi sepakbola di Arab Saudi dan Afrika Utara, jika kesepakatan itu tercapai.
Jika jejak sang Pangeran Arab ini diikuti Aceh atau Indonesia, sungguh betapa menyenangkan memiliki sebuah klub bola bergengsi di Luar Negeri. Negeri ini tak henti-hentinya disebut-sebut di luar negeri, minimal tentang pemilik klub; balik di kala sukses maupun saat terutang banyak atau terlibat masalah.
Untuk menghibur, kita hanya bisa berandai-andai, termasuk jika nantinya klub yang dibeli itu memiliki pemain hebat seperti Christiano Ronaldo yang bernilai Rp1,3 triliun, atau Kaka yang lebih kecil sedikit lagi dari harga CR9. Bayangkan saja…jika nanti bisa menjadi juara Liga atau Eropa. Untuk juara Liga Champions musim ini, berhak mendapatkan 9 juta euro atau Rp 129 miliar. Belum lagi dana dari sponsor, hak siar atau merchandise. Yang pasti berinvestasi dengan membeli klub bola merupakan bisnis yang cukup menggiurkan. Jika tak menggiurkan, tak mungkin para pengusaha Arab mau membuang-buang duit dengan membeli klub bola. Bagaimana dengan Indonesia?
*Tulisan ini hasil bergadang sambil menonton film The Sleeping Dictionary. Salam Taufik Al Mubarak
Di hadapan anggota dewan terhormat, Presiden menyebutkan, Departemen Pendidikan Nasional akan memperoleh anggaran (masih direncanakan) sebesar Rp51,8 triliun. Disusul Departemen Pertahanan sebesar Rp40,7 triliun, dan Departemen Umum (Rp34,3 triliun). Selain itu, Departemen Agama juga ketiban rezeki, karena akan mendapatkan Rp26,0 triliun, berikutnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Rp25,8 triliun), Departemen Kesehatan (20,8 triliun) dan Departemen Perhubungan sebesar Rp16,0 triliun.
Saya bukan bermimpi bagaimana uang sejumlah itu masuk ke rekening saya. Apalagi bermimpi bisa menjadi salah satu anggota Kabinet biar bisa mengelola dana sebanyak itu. Sama sekali saya tak punya minat. Saya hanya anak kampung dan belum ‘boleh’ mengurusi hal-hal besar. Tapi saya tak akan mengatakannya di hadapan publik, apalagi di hadapan masyarakat sendiri, bahwa kita belum boleh mengurusi hal-hal besar.
Biarlah itu menjadi haknya sang juru bicara. Dia yang berhak mengatakannya. Hehehe.
Namun, mendengar ada dana yang cukup besar itu, pikiran saya langsung melayang ke Inggris, Spanyol, dan Italia. Apa hubungannya dana itu dengan ketiga negara yang saya sebutkan? Memang sih tak ada hubungan. Tapi coba saja kita hubung-hubungkan, biar terhubung. “Bagaimana jika beberapa Departemen itu berembuk (tentunya dengan persetujuan DPR) untuk menyisihkan beberapa triliun saja dana itu untuk membeli klub Sepakbola, apakah itu di Inggris, Spanyol atau Italia?”
Pasti ada yang bilang, itu hanya terwujud dalam mimpi. Tetapi, memiliki impian sudah lebih dari cukup daripada tidak memiliki sama sekali. Minimal kita sudah punya impian, dan orang-orang akan menilainya, apakah itu hanya akan berlalu sebagai mimpi atau akan ada orang nantinya untuk mewujudkan mimpi itu. Toh, dari buku-buku biografi tokoh-tokoh besar dunia yang bisa kita baca, semua penemuan mereka berangkat dari sebuah impian. Pada akhirnya, mereka menemukan hal-hal besar, yang sebelumnya mungkin hanya dianggap mimpi belaka.
Soal membeli klub sepakbola ini, sebelumnya sudah pernah saya tulis dalam salah satu tulisan saya di buku Aceh Pungo, dengan judul Investasi. Ide membeli klub sepakbola saya usulkan karena banyaknya dana APBA (di tempat lain dikenal APBD) yang tersisa karena minimnya serapan anggaran. Meski dana itu nantinya jadi dana SILPA, lebih bagus juga jika digunakan untuk membali klub sepakbola. Saya sempat membuka Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) dan saya baca berulang-kali. Kesimpulan saya, Pemerintah Aceh bisa membeli klub sepakbola sebagai investasi, termasuk di luar negeri. Alasan saya sederhana saja, misalnya, daripada mengurusi investor yang ‘masih’ berencana menanamkan modalnya di Aceh, lebih baik jika Pemerintah Aceh melakukan ekspansi investasi di luar negeri. Apalagi Aceh bebas melakukan kerjasama ekonomi dan investasi dengan luar negeri, seperti disebutkan dalam UU PA, yaitu “Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” (pasal 165 ayat (1)).
Ide itu semakin masuk akal karena harga klub sepakbola juga tidak begitu mahal seperti harga Manchester City, hanya 200 juta poundsterteling (3,4 triliun). Dengan dana lebih (sisa) yang dimiliki Pemerintah Aceh mampu melakukannya, apalagi untuk ukuran dana Pemerintah Pusat, seperti sudah kita sebutkan di atas. Tentu lebih dari cukup, belum lagi jika dana itu dari hasil sharing beberapa Departemen (dengan fokus bidang hampir sama).
Harga Manchester City tentu saja lebih murah, jika dibandingkan dengan harga klub big four (sebutan untuk klub langganan empat besar seperti Manchester United, Chelsea, Liverpool dan Arsenal). Sebut saja Liverpool, yang menurut laporan Majalah Forbes harganya bernilai $1 miliar (belum termasuk utang yang dimiliki dua pemegang sahamnnya). Dengan harga senilai itu, Liverpool menjadi klub sepakbola keempat yang paling berharga di muka bumi, setelah Manchester United, Real Madrid dan Arsenal.
Trend berinvestasi klub bola sekarang ini menjadi hobby beberapa Emir Arab atau pangeran negeri kerajaan di Timur Tengah. Mereka seperti berlomba-lomba memiliki klub sepakbola. Dulu kita hanya mengenal Putra Khaddafi, penguasa Libya, yang memiliki saham di Lazio. Kini, para raja minyak di Saudi Arabi, Qatar, atau Uni Emirat Arab, berlomba-lomba memiliki klub sepakbola. Belum lekang dari ingatan kita pemindahan kepemilikan Manchester City dari Thaksin Sinawatra, mantan Perdana Menteri Thailand yang terguling, ke pengusaha kaya-raya Uni Emirat Arab (Syeikh Mansur) yang tergabung dalam Abu Dhabi United Group for Development and Investment (ADUGDI) yang diwakili Sulaiman Al-Fahim. Al Fahim belakangan juga mengambil alih kepemilikan Portsmouth.
Belakangan, seperti bisa dibaca dalam sejumlah pemberitaan, Pangeran Faisal bin Fadh bin Abdullah, juga sudah menjajaki untuk mengambil alih Liverpool dari pemiliknya, Tom Hicks dan George Gillets, yang kini dililit banyak hutang yang mendekati harga klub sepakbola (senilai 245 poundsterling/$390 juta). Tak tanggung-tanggung, Pangeran Faisal dilaporkan sedang menyiapkan sebuah kesepakatan dengan nilai 350 juta poundsterling (sekitar US$560 juta). Jika dirupiahkan sekitar Rp4,9 triliun lebih atau ± setengah dari harga klub sebesar US$1 miliar (sekitar Rp9,4 triliun). Coba gunakan website ini untuk konversi nilai mata uang. Jika kesepakatan itu tercapai, berarti setengah lebih saham dari dua pemilik Liverpool akan menjadi milik Pangeran Arab.
Dalam sejumlah pemberitaan, sang Pangeran sudah memiliki rencana dengan Liverpool tentang pengaturan dan pendidikan akademi sepakbola di Arab Saudi dan Afrika Utara, jika kesepakatan itu tercapai.
Jika jejak sang Pangeran Arab ini diikuti Aceh atau Indonesia, sungguh betapa menyenangkan memiliki sebuah klub bola bergengsi di Luar Negeri. Negeri ini tak henti-hentinya disebut-sebut di luar negeri, minimal tentang pemilik klub; balik di kala sukses maupun saat terutang banyak atau terlibat masalah.
Untuk menghibur, kita hanya bisa berandai-andai, termasuk jika nantinya klub yang dibeli itu memiliki pemain hebat seperti Christiano Ronaldo yang bernilai Rp1,3 triliun, atau Kaka yang lebih kecil sedikit lagi dari harga CR9. Bayangkan saja…jika nanti bisa menjadi juara Liga atau Eropa. Untuk juara Liga Champions musim ini, berhak mendapatkan 9 juta euro atau Rp 129 miliar. Belum lagi dana dari sponsor, hak siar atau merchandise. Yang pasti berinvestasi dengan membeli klub bola merupakan bisnis yang cukup menggiurkan. Jika tak menggiurkan, tak mungkin para pengusaha Arab mau membuang-buang duit dengan membeli klub bola. Bagaimana dengan Indonesia?
*Tulisan ini hasil bergadang sambil menonton film The Sleeping Dictionary. Salam Taufik Al Mubarak
Tags:
Artikel