Tak ada lagi polemik bendera bintang buluen di koran. Wartawan juga tak perlu lagi sesibuk dulu memantau informasi di mana kira-kira peringatan Milad digelar. Apalagi sampai harus main kucing-kucingan dengan aparat. Aceh 2009 sangat berbeda dengan Aceh 1999-2002. Aceh dulu masih dibalut konflik, sementara Aceh kini sudah damai. Kedua belah pihak (RI dan GAM) sudah teken kontrak: perdamaian dalam bingkai republiken (NKRI).
Tak perlu saya bercerita bagaimana kondisi Aceh sebelum kontrak diteken. Tak perlu juga saya bercerita betapa sakral sebuah perayaan Milad untuk gerakan yang puluhan tahun berjuang agar tetap eksis. Semua kita sudah mafhum, karena kita hidup dalam lembaran-lembaran sejarah yang tak kering dengan tetesan air mata dan darah. Malam menjelang Milad, semua pihak di Aceh terlihat sangat sibuk: ada yang bersembunyi di rumah dan banyak yang menggelar patroli.
Banyak yang bertanya-tanya, di mana gerangan Milad akan digelar. Sementara aparat menyisir setiap pelosok kampung pedalaman untuk memastikan wilayah itu bersih dari pengaruh bintang buluen. Biasanya, penyisiran itu dilakukan begitu petinggi mengumumkan perintah di koran: tindak setiap gerak-gerik orang yang mencurigakan!
Dulu—sepanjang 1999-2002—para pemburu berita tak henti-henti memantau informasi di internet untuk mendapatkan amanat Wali, biasanya duluan beredar di milis, sebelum perayaan milad digelar. Amanat Wali sangat ditunggu-tunggu, karena bisa menjadi berita eksklusif. Bagi koran lokal, berita tentang pernyataan wali adalah magnit, karena koran laku seperti pisang goreng musim hujan. Cerita itu terhenti sejak 2003-2005, ketika di seluruh Aceh diberlakukan status darurat.
Kini, bisa jadi orang sudah melupakan masa ketar-ketir tersebut. Saya sendiri tersadar saat menyimak berita tentang pengibaran bendera bintang kejora di Papua. Perayaan HUT OPM dilakukan setiap tanggal 1 Desember, dan sangat berdekatan dengan perayaan Milad GAM di Aceh, 4 Desember. Di satu sisi, saya merasa lega, karena orang-orang sudah melupakan dendam masa lalu. Orang-orang tak lagi mengingat-ngingat sesuatu yang jauh. Di sisi lain, saya justru berfikir, apakah bagi mereka sesuatu yang jauh itu tak lagi tampak lebih baik, dan pada akhirnya tak perlu lagi dihargai? Entahlah, saya tak berhak menjawab pertanyaan ini.
Saya hanya ingin bercerita, entah benar atau tidak, saya tak tahu karena tak sempat memverifikasinya. Saya hanya mendengar ceritanya saja. Sebelum damai diteken, ada pembicaraan kecil di kalangan petinggi nun jauh di kota dingin Helsinki. Seorang di antara petinggi angkat bicara, “Saat damai ini diteken, kondisi Aceh akan berubah. Tak ada lagi perang. Kita juga tak lagi membicarakan kemerdekaan karena kita sudah diberikan hak mengurus rumah tangga sendiri dalam bentuk pemerintah sendiri (self government).” Orang-orang yang berkumpul itu, mungkin jumlahnya hanya mampu dihitung dengan jari, diam saja. Mereka terbawa bayang-bayang kemewahan, seperti Hongkong di China, Qeuebec di Kanada atau Skotland di Inggris.
Petinggi melanjutkan, “Saat itu, kita bisa mencalonkan diri jadi Bupati/Walikota dan juga Gubernur. Kita bisa mendirikan partai politik lokal. Artinya, akses ekonomi dan politik dalam kendali kita. Kita bisa menguasai 70 persen dari hasil alam kita. Rakyat kita akan makmur, tak hanya karena bantuan asing melalui sejumlah lembaga donor dalam bentuk rehab-rekon, melainkan juga karena kita mampu melakukan perbaikan ekonomi, sebab pemerintah sudah kita pegang sendiri.” Orang-orang kembali diam. “Nah!” sambung sang petinggi sambil menghela nafas panjang. “Saat kita dan rakyat kita sudah makmur, masihkah ada orang yang akan berfikir berjuang lagi untuk kemerdekaan?” Semua orang yang hadir tertunduk-lesu. Diam. Nyaris tanpa suara. Entah apa yang terpikir oleh mereka.
Saya tak hendak mengatakan, bahwa kekhawatiran petinggi itu sudah mulai tampak belakangan ini. Biarlah itu menjadi bahan instrospeksi masing-masing orang yang pernah ikut dalam pembicaraan tersebut: apakah kondisi hari ini mirip dengan yang pernah diprediksi dulu atau tidak. Tapi bagi saya, Aceh masih jauh untuk disebut sudah makmur. Karena sepanjang pantai timur dan barat-selatan Aceh, masih ada orang yang hidup dalam keterbatasan. Benar memang di Aceh sudah berjalan pemerintahan sendiri. Tapi dalam pengertian terbalik: Pemerintah jalan sendiri, parlemen sendiri dan rakyat juga sendiri.
Lalu, pada 4 Desember tiga hari lagi, Wali akan berbicara apa? Peunutoh apa yang hendak disampaikannya, seperti dulu dalam amanat-amanatnya setiap 4 Desember? Saya tak akan menerka-nerka menjawabnya. Takut salah dan dianggap belum menerima perdamaian Aceh dalam bingkai NKRI. (HA 011209)
Tak perlu saya bercerita bagaimana kondisi Aceh sebelum kontrak diteken. Tak perlu juga saya bercerita betapa sakral sebuah perayaan Milad untuk gerakan yang puluhan tahun berjuang agar tetap eksis. Semua kita sudah mafhum, karena kita hidup dalam lembaran-lembaran sejarah yang tak kering dengan tetesan air mata dan darah. Malam menjelang Milad, semua pihak di Aceh terlihat sangat sibuk: ada yang bersembunyi di rumah dan banyak yang menggelar patroli.
Banyak yang bertanya-tanya, di mana gerangan Milad akan digelar. Sementara aparat menyisir setiap pelosok kampung pedalaman untuk memastikan wilayah itu bersih dari pengaruh bintang buluen. Biasanya, penyisiran itu dilakukan begitu petinggi mengumumkan perintah di koran: tindak setiap gerak-gerik orang yang mencurigakan!
Dulu—sepanjang 1999-2002—para pemburu berita tak henti-henti memantau informasi di internet untuk mendapatkan amanat Wali, biasanya duluan beredar di milis, sebelum perayaan milad digelar. Amanat Wali sangat ditunggu-tunggu, karena bisa menjadi berita eksklusif. Bagi koran lokal, berita tentang pernyataan wali adalah magnit, karena koran laku seperti pisang goreng musim hujan. Cerita itu terhenti sejak 2003-2005, ketika di seluruh Aceh diberlakukan status darurat.
Kini, bisa jadi orang sudah melupakan masa ketar-ketir tersebut. Saya sendiri tersadar saat menyimak berita tentang pengibaran bendera bintang kejora di Papua. Perayaan HUT OPM dilakukan setiap tanggal 1 Desember, dan sangat berdekatan dengan perayaan Milad GAM di Aceh, 4 Desember. Di satu sisi, saya merasa lega, karena orang-orang sudah melupakan dendam masa lalu. Orang-orang tak lagi mengingat-ngingat sesuatu yang jauh. Di sisi lain, saya justru berfikir, apakah bagi mereka sesuatu yang jauh itu tak lagi tampak lebih baik, dan pada akhirnya tak perlu lagi dihargai? Entahlah, saya tak berhak menjawab pertanyaan ini.
Saya hanya ingin bercerita, entah benar atau tidak, saya tak tahu karena tak sempat memverifikasinya. Saya hanya mendengar ceritanya saja. Sebelum damai diteken, ada pembicaraan kecil di kalangan petinggi nun jauh di kota dingin Helsinki. Seorang di antara petinggi angkat bicara, “Saat damai ini diteken, kondisi Aceh akan berubah. Tak ada lagi perang. Kita juga tak lagi membicarakan kemerdekaan karena kita sudah diberikan hak mengurus rumah tangga sendiri dalam bentuk pemerintah sendiri (self government).” Orang-orang yang berkumpul itu, mungkin jumlahnya hanya mampu dihitung dengan jari, diam saja. Mereka terbawa bayang-bayang kemewahan, seperti Hongkong di China, Qeuebec di Kanada atau Skotland di Inggris.
Petinggi melanjutkan, “Saat itu, kita bisa mencalonkan diri jadi Bupati/Walikota dan juga Gubernur. Kita bisa mendirikan partai politik lokal. Artinya, akses ekonomi dan politik dalam kendali kita. Kita bisa menguasai 70 persen dari hasil alam kita. Rakyat kita akan makmur, tak hanya karena bantuan asing melalui sejumlah lembaga donor dalam bentuk rehab-rekon, melainkan juga karena kita mampu melakukan perbaikan ekonomi, sebab pemerintah sudah kita pegang sendiri.” Orang-orang kembali diam. “Nah!” sambung sang petinggi sambil menghela nafas panjang. “Saat kita dan rakyat kita sudah makmur, masihkah ada orang yang akan berfikir berjuang lagi untuk kemerdekaan?” Semua orang yang hadir tertunduk-lesu. Diam. Nyaris tanpa suara. Entah apa yang terpikir oleh mereka.
Saya tak hendak mengatakan, bahwa kekhawatiran petinggi itu sudah mulai tampak belakangan ini. Biarlah itu menjadi bahan instrospeksi masing-masing orang yang pernah ikut dalam pembicaraan tersebut: apakah kondisi hari ini mirip dengan yang pernah diprediksi dulu atau tidak. Tapi bagi saya, Aceh masih jauh untuk disebut sudah makmur. Karena sepanjang pantai timur dan barat-selatan Aceh, masih ada orang yang hidup dalam keterbatasan. Benar memang di Aceh sudah berjalan pemerintahan sendiri. Tapi dalam pengertian terbalik: Pemerintah jalan sendiri, parlemen sendiri dan rakyat juga sendiri.
Lalu, pada 4 Desember tiga hari lagi, Wali akan berbicara apa? Peunutoh apa yang hendak disampaikannya, seperti dulu dalam amanat-amanatnya setiap 4 Desember? Saya tak akan menerka-nerka menjawabnya. Takut salah dan dianggap belum menerima perdamaian Aceh dalam bingkai NKRI. (HA 011209)
Tags:
pojok