Kuceritakan saja biar lebih jelas saat kejadian ini kusaksikan. Seingatku, tahun 2078 lagi musim hujan, meski tak banjir besar seperti sering terjadi di ibukota Negara setiap akhir tahun. Umurku saat ini sekitar 97 tahun, karena aku lahir tahun 1981. Namun, aku masih cukup kuat, meski tak se-energik saat usiaku 30 tahun. Di usia yang setua ini, aku masih tetap senang membaca dan menulis, sesekali bercanda dengan cucu dan cicit yang setia menjenguk setiap akhir pekan. Mereka selalu memaksaku bercerita, tentang masa lalu terutama kondisi saat umurku masih 20 hingga 38 tahun. Aku cukup senang dengan mereka. Kehadiran mereka sudah lebih cukup menjadi hiburan pengisi waktu tua. Cukup menyenangkan.
Setiap hari, aku menulis untuk blog http://jumpueng.blogspot.com yang kini berusia 71 tahun (blog ini aku buat Desember 2007). Kebiasaan menulis untuk blog tersebut di luar tulisan untuk media yang memang selalu memesan tulisan, setiap minggunya. Kebetulan aku diberikan satu rubrik yang aku kelola khusus dengan tulisan-tulisan ringan. Seingatku dulu Goenawan Mohammad (GM) pernah melakukannya melalui kolom ‘catatan pinggir’ setiap terbitan majalah TEMPO yang punya motto: enak dibaca dan perlu. Kolom itu saat aku masih duduk di bangku SMP dan SMA tak pernah berhenti aku lahap melalui pustaka wilayah. Beberapa tulisan yang cukup bagus malah aku sobek untuk aku bawa pulang sebagai dokumen.
Meski tak seserius tulisan Mas GM di TEMPO yang biasanya sering mengutip penulis-penulis terkenal, aku sudah cukup puas mengutip ucapan-ucapan orang tua yang hidup sezaman dan sesudahku. Sebagiannya kini sudah almarhum. Pemikiran mereka layak diberikan apresiasi dan diangkat kembali, untuk menjadi pedoman bagi generasi muda.
Di usiaku yang sudah sangat tua ini, aku merasa tulisan-tulisanku tak lagi menggugah ketika masih berusia muda. Tetapi, aku sudah cukup puas. Yang penting, aku terus menulis dan menulis. Apalagi blog http://jumpueng.blogspot.com yang pertama kali lahir Desember 2007 sudah berisi puluhan ribu tulisan. Dari tulisan yang serius hingga tulisan biasa-biasa saja dan layak disebut sampah. Dari tulisan bertema politik hingga tulisan tentang orang-orang kampung yang berpenghasilan sebulan cuma Rp20 ribu.
Oya, sebelumnya perlu aku ceritakan, terutama untuk generasi sezaman denganku yang masih hidup dan juga untuk generasi sebelum aku. Siapa tahu mereka sama sekali tak mengetahui bahwa dulunya perkembangan dunia tak seperti yang dinikmati sekarang, saat usiaku 97 tahun. Dulu, setiap pagi orang-orang duduk nongkrong di depan rumah ditemani segelas kopi panas, dengan kaki bersandar sambil membaca Koran pagi yang tak pernah absen diantar.
Orang-orang merasa lega jika sudah membaca Koran pagi. Setidaknya mereka sudah memiliki cukup informasi sebagai modal nongkrong di warung kopi. Apalagi, warung kopi saat itu lebih layak disebut sebagai forum pertukaran fitnah, atau tempat untuk update (memperbaharui) fitnah. Jika tak sempat membaca Koran pagi, kita tak akan memiliki cukup bahan untuk berbicara. Rata-rata, saat itu orang-orang membaca Koran sebagai sumber informasi dominan.
Sementara saat ini, saat aku berusia 97 tahun, tak ada lagi orang yang membaca Koran. Tak ada lagi tukang antar Koran yang pagi-pagi sudah siap melempari rumah kita dengan Koran pagi. Malah, kadang-kadang mengganggu tidur kita.
Mengingat itu, saya hanya tersenyum kecil. Saya tak bisa membayangkan bahwa dunia sudah berubah seratus persen. Apa yang dulu pernah diprediksikan Philip Meyer seperti ditulis dalam The Vanishing Newspaper bahwa pada April 2043 hanya ada satu orang kiri yang membaca Koran, sudah jadi kenyataan. Menurut Meyer saat itu, pembaca Koran terakhir akan menghilang pada September 2043 (The last daily reader will disappear in September 2043). Kini, jika untuk membaca atau minimal mengetahui bagaimana bentuk Koran, kita bisa melihatnya di perpustakaan atau di museum. Jika pun kita berniat melihat Koran yang terbit setiap hari, kita harus mengurut dada. Orang-orang saat itu tak tahu lagi bagaimana sebenarnya bentuk Koran. Mereka mulai membuat definisi baru tentang Koran, dan kata ‘koran’ hanya tinggal di kamus-kamus tua.
Saya sendiri cukup lega jika ada cucu atau cicit yang baru pulang dari Amerika membawa The Washington Post, The New York Times atau USA Today. Biasanya, setiap akhir pekan mereka menumpuk Koran itu di rumah saat berkunjung. Itulah yang membuat aku merasa puas menikmati hari tua. Karena aku sudah bisa melihat lagi bentuk utuh Koran. Saat ini, ketika usiaku 97 tahun, hanya Koran itu yang masih cetak, sementara Koran lainnya sudah lama gugur.
Dulu, saat pertama kali membaca tesis Meyer tentang Koran terakhir terbit tahun 2043, aku sendiri menyangsikannya. Apalagi kondisi kampungku masih sangat kolot, terbelakang dan terpencil. Jangankan untuk mengakses internet, kehadiran jaringan listrik, telepon dan TV masih sangat sulit. Hanya ada beberapa rumah orang kaya di ujung desa yang dekat dengan jalan raya yang memilikinya.
Sementara kini, di setiap rumah ada penerangan listrik, telepon, tv dan internet. Malah, ada beberapa rumah yang memiliki dinding-dinding multifungsi, untuk tv dan juga sebagai layar sentuh yang bisa digunakan mengakses informasi. Orang-orang cukup memencet dinding untuk membuka internet atau menonton TV, karena ada remote kontrol untuk mengaktifkan dinding berubah fungsi.
Pokoknya serba canggih. Namun, yang aku sesali, orang-orang menjadi sangat individualis, tak bermasyarakat. Semua orang mengurung diri di kamar. Mereka baru keluar jika ada keperluan. Namun, mereka bukan tidak saling kenal. Hubungan mereka terjalin akrab melalui dunia maya. Mereka cukup sering berkomunikasi dengan Facebook, Twitter atau melalui Yahoo! Messenger dan Gmail Talk. Jika sesekali dibuat perhelatan sejenis pertemuan, mereka juga tak saling menyapa melainkan asyik mengutak-atik Smartphone bermacam-macam mereka. Melalui perangkat tersebut mereka berbicara dan bertegur sapa. Duh, dunia menjadi begitu canggih, dan lalu sangat kejam. Tak ada lagi silaturahmi di dunia nyata.
Aku juga melihat perubahan yang luar biasa dalam hal lapangan kerja. Tak ada lagi orang yang berebutan, lobi sana lobi sini, agar bisa lolos jadi pegawai negeri (PNS). Karena tak ada lagi orang yang mau bekerja di kantor pemerintahan. Kantor pemerintahan kini hanya menjadi gudang penyimpanan arsip kantor yang bersangkutan dan setiap ruangannya selalu dipenuhi Koran. Aku sendiri lupa di mana letak kantor Bupati dan kantor Gubernur. Apalagi jika ditanyakan di mana letak kantor pajak. Sama sekali aku tak tahu lagi. Maklum, di samping sudah tua, juga sudah lama aku tak pernah beurusan lagi ke kantor itu.
Untuk mengurus surat-surat penting, orang-orang hanya cukup mengakses situs pemerintah yang memiliki pelayanan lebih prima dan interaktif. Apalagi, semua masyarakat sudah memiliki account multifungsi yang bisa digunakan untuk semua keperluan, sebagai identitas, dan juga untuk membayar tagihan telepon, internet, asuransi, pajak, atau membayar tagihan makanan. Karena, saat ini, orang-orang memesan makanan ke rumah dengan mengakses situs penyedia makanan. Tak perlu menunggu lama. Karena dalam sekejap pesanan sudah tiba di tempat tujuan. Saya tersenyum-senyum membaca kisah berikut ini yang dikutip Okezone
Lalu, bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup? Masyarakat cukup puas membuat produk-produk canggih dan kemudian dijual bebas di dunia maya. Masing-masing orang memiliki produknya tersendiri, untuk dijual. Dari produk-produk itu mereka menghasilkan uang.
Yang aku ingat saat ini, ketika usiaku 97 tahun, dunia tempat aku diami ini benar-benar dunia yang luar biasa. Apalagi jika aku ingat program pemerintah dulunya tahun 2010 yang menargetkan semua desa tersambung internet. Program itu bisa disebut ketinggalan zaman. Karena di pelosok sekalipun, orang-orang tak perlu memiliki komputer untuk mengakses internet. Semua orang memiliki Handphone canggih untuk mengakses internet; membaca berita dan membagi berita. Semua orang di samping pembaca berita juga pembuat berita. Citizen journalism menemukan habitatnya. Setidaknya begitulah masa depan yang aku lihat dalam dialog imaginer. Lalu, bagaimana masa depan menurut anda?
Note: tulisan ini hanya sebagai hiburan.
Meski tak seserius tulisan Mas GM di TEMPO yang biasanya sering mengutip penulis-penulis terkenal, aku sudah cukup puas mengutip ucapan-ucapan orang tua yang hidup sezaman dan sesudahku. Sebagiannya kini sudah almarhum. Pemikiran mereka layak diberikan apresiasi dan diangkat kembali, untuk menjadi pedoman bagi generasi muda.
Di usiaku yang sudah sangat tua ini, aku merasa tulisan-tulisanku tak lagi menggugah ketika masih berusia muda. Tetapi, aku sudah cukup puas. Yang penting, aku terus menulis dan menulis. Apalagi blog http://jumpueng.blogspot.com yang pertama kali lahir Desember 2007 sudah berisi puluhan ribu tulisan. Dari tulisan yang serius hingga tulisan biasa-biasa saja dan layak disebut sampah. Dari tulisan bertema politik hingga tulisan tentang orang-orang kampung yang berpenghasilan sebulan cuma Rp20 ribu.
Oya, sebelumnya perlu aku ceritakan, terutama untuk generasi sezaman denganku yang masih hidup dan juga untuk generasi sebelum aku. Siapa tahu mereka sama sekali tak mengetahui bahwa dulunya perkembangan dunia tak seperti yang dinikmati sekarang, saat usiaku 97 tahun. Dulu, setiap pagi orang-orang duduk nongkrong di depan rumah ditemani segelas kopi panas, dengan kaki bersandar sambil membaca Koran pagi yang tak pernah absen diantar.
Orang-orang merasa lega jika sudah membaca Koran pagi. Setidaknya mereka sudah memiliki cukup informasi sebagai modal nongkrong di warung kopi. Apalagi, warung kopi saat itu lebih layak disebut sebagai forum pertukaran fitnah, atau tempat untuk update (memperbaharui) fitnah. Jika tak sempat membaca Koran pagi, kita tak akan memiliki cukup bahan untuk berbicara. Rata-rata, saat itu orang-orang membaca Koran sebagai sumber informasi dominan.
Sementara saat ini, saat aku berusia 97 tahun, tak ada lagi orang yang membaca Koran. Tak ada lagi tukang antar Koran yang pagi-pagi sudah siap melempari rumah kita dengan Koran pagi. Malah, kadang-kadang mengganggu tidur kita.
Mengingat itu, saya hanya tersenyum kecil. Saya tak bisa membayangkan bahwa dunia sudah berubah seratus persen. Apa yang dulu pernah diprediksikan Philip Meyer seperti ditulis dalam The Vanishing Newspaper bahwa pada April 2043 hanya ada satu orang kiri yang membaca Koran, sudah jadi kenyataan. Menurut Meyer saat itu, pembaca Koran terakhir akan menghilang pada September 2043 (The last daily reader will disappear in September 2043). Kini, jika untuk membaca atau minimal mengetahui bagaimana bentuk Koran, kita bisa melihatnya di perpustakaan atau di museum. Jika pun kita berniat melihat Koran yang terbit setiap hari, kita harus mengurut dada. Orang-orang saat itu tak tahu lagi bagaimana sebenarnya bentuk Koran. Mereka mulai membuat definisi baru tentang Koran, dan kata ‘koran’ hanya tinggal di kamus-kamus tua.
Saya sendiri cukup lega jika ada cucu atau cicit yang baru pulang dari Amerika membawa The Washington Post, The New York Times atau USA Today. Biasanya, setiap akhir pekan mereka menumpuk Koran itu di rumah saat berkunjung. Itulah yang membuat aku merasa puas menikmati hari tua. Karena aku sudah bisa melihat lagi bentuk utuh Koran. Saat ini, ketika usiaku 97 tahun, hanya Koran itu yang masih cetak, sementara Koran lainnya sudah lama gugur.
Dulu, saat pertama kali membaca tesis Meyer tentang Koran terakhir terbit tahun 2043, aku sendiri menyangsikannya. Apalagi kondisi kampungku masih sangat kolot, terbelakang dan terpencil. Jangankan untuk mengakses internet, kehadiran jaringan listrik, telepon dan TV masih sangat sulit. Hanya ada beberapa rumah orang kaya di ujung desa yang dekat dengan jalan raya yang memilikinya.
Sementara kini, di setiap rumah ada penerangan listrik, telepon, tv dan internet. Malah, ada beberapa rumah yang memiliki dinding-dinding multifungsi, untuk tv dan juga sebagai layar sentuh yang bisa digunakan mengakses informasi. Orang-orang cukup memencet dinding untuk membuka internet atau menonton TV, karena ada remote kontrol untuk mengaktifkan dinding berubah fungsi.
Pokoknya serba canggih. Namun, yang aku sesali, orang-orang menjadi sangat individualis, tak bermasyarakat. Semua orang mengurung diri di kamar. Mereka baru keluar jika ada keperluan. Namun, mereka bukan tidak saling kenal. Hubungan mereka terjalin akrab melalui dunia maya. Mereka cukup sering berkomunikasi dengan Facebook, Twitter atau melalui Yahoo! Messenger dan Gmail Talk. Jika sesekali dibuat perhelatan sejenis pertemuan, mereka juga tak saling menyapa melainkan asyik mengutak-atik Smartphone bermacam-macam mereka. Melalui perangkat tersebut mereka berbicara dan bertegur sapa. Duh, dunia menjadi begitu canggih, dan lalu sangat kejam. Tak ada lagi silaturahmi di dunia nyata.
Aku juga melihat perubahan yang luar biasa dalam hal lapangan kerja. Tak ada lagi orang yang berebutan, lobi sana lobi sini, agar bisa lolos jadi pegawai negeri (PNS). Karena tak ada lagi orang yang mau bekerja di kantor pemerintahan. Kantor pemerintahan kini hanya menjadi gudang penyimpanan arsip kantor yang bersangkutan dan setiap ruangannya selalu dipenuhi Koran. Aku sendiri lupa di mana letak kantor Bupati dan kantor Gubernur. Apalagi jika ditanyakan di mana letak kantor pajak. Sama sekali aku tak tahu lagi. Maklum, di samping sudah tua, juga sudah lama aku tak pernah beurusan lagi ke kantor itu.
Untuk mengurus surat-surat penting, orang-orang hanya cukup mengakses situs pemerintah yang memiliki pelayanan lebih prima dan interaktif. Apalagi, semua masyarakat sudah memiliki account multifungsi yang bisa digunakan untuk semua keperluan, sebagai identitas, dan juga untuk membayar tagihan telepon, internet, asuransi, pajak, atau membayar tagihan makanan. Karena, saat ini, orang-orang memesan makanan ke rumah dengan mengakses situs penyedia makanan. Tak perlu menunggu lama. Karena dalam sekejap pesanan sudah tiba di tempat tujuan. Saya tersenyum-senyum membaca kisah berikut ini yang dikutip Okezone
Kira-kira apa yang terjadi jika sistem teknologi di dunia sudah sangat canggih. Apalagi kalau sistem database sudah mampu mengatur kehidupan manusia. Berikut ini rekaman percakapan telepon pemesanan Pizza pada tahun 2020 antara seorang operator Pizza dengan konsumennya.
Operator: Terima kasih anda telah menghubungi Pizza Hot, Apakah yang bisa saya....
Konsumen : Heloo, saya mau pesan pizza.
Operator : Boleh minta nomor kartu KTP anda pak?
Konsumen : Tunggu, ini nih: 6102049998-45- 54610.
Operator : Ok pak Bejo, anda tinggal di jalan hangtuah no. 16, nomor telepon rumah anda 02177726378, kantor anda
021665872673 Hp anda 081127894022, anda menelpon dari mana?
Konsumen : Dari rumah, eh dari mana kamu tahu semua no telp saya?
Operator : Oh, kami terhubung ke database pusat pak.
Konsumen : Apakah saya bisa memesan Seafood Pizza?
Operator : Itu bukan ide yang bagus pak.
Konsumen : Kenapa?
Operator : Dari medical record bapak, bapak memiliki tekanan darah tinggi dan kolestrol yang sudah berlebihan.
Konsumen : Jadi kamu merekomendasikan apa?
Operator : Mungkin bapak bisa memesan Low Fat Hokkien Mee Pizza.
Konsumen : Dari mana kamu tahu kalo saya bakal suka itu?
Operator : Hmmm minggu lalu bapak baru meminjam buku yang berjudul "Popular Hokkien Dishes" dari perpustakaan nasional.
Konsumen : Ok terserah lah, sekalian saya pesan paket keluarga, berapa semuanya ?
Operator : Tapi paket keluarga kami tidak akan cukup untuk anak anda yang berjumlah 7 orang pak, total keseluruhan adalah Rp. 190.000.
Konsumen : Bisa saya bayar dengan Kartu Kredit?
Operator : Sepertinya bapak harus membayar Cash, kartu kredit anda telah over limit, dan anda punya utang di bank sebesar Rp. 5.350.000 sejak bulan Agustus lalu, itu belum termasuk denda untuk tunggakan kontrak rumah anda dan
kendaraan bermotor.
Konsumen : Ooh ya sudah, nanti saya ke ATM aja untuk narik duit sebelum orang mu datang nganter Pizza.
Operator : Mungkin nggak bisa juga pak, record anda menunjukkan bahwa batas anda menarik uang di ATM telah tercapai.
Konsumen : Busyet.... udah lah anterin aja pizzanya kesini, saya akan bayar cash disini, berapa lama Pizza diantar?
Operator : Sekitar 45 menit pak, tapi kalo bapak tdk bisa menunggu, bapak bisa mengambilnya sendiri dengan motor bebek bapak yang sudah butut.
Konsumen : APA ????
Operator : Menurut catatan kami, anda memiliki motor bebek tahun 2000 dengan no pol B3344CD betul kan pak?
Konsumen : Sialan luh, bangsat, kagak sopan banget seh buka-buka record gue, blom pernah ngerasain di tonjok ya!!
Operator : Hati-hati dengan ucapan bapak, apakah bapak ingat 15 Mei 2010 anda pernah di penjara 3 bulan karena mengucapkan kata kotor kepada seorang polisi??
Konsumen : (Diamm, bingung, pusing 700 keliling)
Operator : Ada yang lain pak?
Konsumen : Tidak ada, eh tapi kalo pesan paket keluarga kan ada gratis coca cola 3 cup kan?
Operator : Betul pak, tapi menurut catatan kami anda juga mengidap DIABETES, jadi kami tidak mau mengambil resiko pak.
Konsumen : Siallaaannnnn. BATALIN AJA SEMUA !!
Operator : Terima kasih atas teleponnya pak, untuk kompalain, saran dan kritik anda bisa mengisi form online pada situs kami, username dan passwordnya tercetak pada bagian bawah kotak pizza yang anda pesan, terima kasih anda telah mengubungi Pizza Hot.
Lalu, bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup? Masyarakat cukup puas membuat produk-produk canggih dan kemudian dijual bebas di dunia maya. Masing-masing orang memiliki produknya tersendiri, untuk dijual. Dari produk-produk itu mereka menghasilkan uang.
Yang aku ingat saat ini, ketika usiaku 97 tahun, dunia tempat aku diami ini benar-benar dunia yang luar biasa. Apalagi jika aku ingat program pemerintah dulunya tahun 2010 yang menargetkan semua desa tersambung internet. Program itu bisa disebut ketinggalan zaman. Karena di pelosok sekalipun, orang-orang tak perlu memiliki komputer untuk mengakses internet. Semua orang memiliki Handphone canggih untuk mengakses internet; membaca berita dan membagi berita. Semua orang di samping pembaca berita juga pembuat berita. Citizen journalism menemukan habitatnya. Setidaknya begitulah masa depan yang aku lihat dalam dialog imaginer. Lalu, bagaimana masa depan menurut anda?
Note: tulisan ini hanya sebagai hiburan.